3. Bibit kebencian

21 10 1
                                    

Kimberly kembali menghela napas, ada sesuatu di dalam dirinya yang seakan ingin berteriak kepada Sang Pencipta akan ketidakadilan hidupnya selama ini.

Takdir seakan enggan untuk melihatnya hidup lebih baik, hingga selalu saja merebut kebahagiaan dan menggantinya dengan duka nestapa.

Kimberly selalu mencoba untuk tegar, berharap jika suatu hari semua akan berubah menjadi lebih baik. Tapi dia juga hanya manusia biasa, hanya seorang gadis yang berada pada masa transisi emosi remaja-dewasa.

Terkadang dia merasa lelah, dan ingin menyerah. Tapi, bagaimana dengan ibunya. Anita pun tentu tidak ingin jalan hidup mereka seperti ini, hanya berisikan perjuangan dan air mata.

Karena hidup yang dijalani di awal pernikahan ibu dan ayahnya tidak mudah, membuat Anita harus berjuang siang dan malam demi keberhasilan suaminya.

Karena sering melupakan dirinya sendiri, kesehatan Anita mulai menurun. Bahkan, rahimnya tidak akan lagi bisa berfungsi dengan normal karena terlalu lemah.

Anita yang sudah memiliki Kimberly tidak terlalu bersusah hati, bagi dia semua sudah ada jalannya sendiri. Tidak mungkin tertukar.

Berkat doa, kerja keras dan keikhlasannya. Akhirnya usaha mereka membuahkan hasil.

Proyek-proyek mulai datang silih berganti, yang secara perlahan mulai mengisi pundi-pundi rupiah mereka.

Dari rumah ukuran 4×4, kini mereka mulai bisa membangun istana mereka sendiri tidak jauh dari rumah lama.

Mereka tidak merobohkannya, tetapi tetap menyimpannya sebagai bukti perjuangan mereka.

Namun, sebelum Anita bisa menikmati jerih payah mereka. Badai sudah terlebih dahulu datang menyapa.

Kenyataan pahit terpaksa harus ditelannya, membuat tubuhnya yang sudah lemah semakin lemah. Hingga Anita berada pada kondisinya saat ini.

Seandainya ayahnya tidak mengacuhkan kesehatan ibunya, tentu tubuhnya tidak akan seperti sekarang.

Terkadang Kimberly merasa jika ibunya sangat bodoh, menyerahkan semuanya hanya karena tidak ingin bermasalah dengan sang ayah. Hingga lebih memilih hidup seperti sekarang.

Dengan tajam, Kimberly menatap jauh ke arah rumah besar tersebut. Sebuah tekad mulai meretas dari dalam hatinya .

“Tunggu dan lihat saja,” bisik Kimberly.

Kedua tangannya mengepal erat, meremas kertas hasil diagnosis dokter tadi sore.

****************************

“Kim, ada satu pesanan yang khusus meminta kamu untuk mengerjakannya. Coba lihat daftar yang di inginkan pelanggan, kalau kamu sanggup tolong segera kerjakan,” tanya Pak Adrian.

“Coba saya lihat dulu, Pak,” jawab Kimberly. Dia mengulurkan tangannya untuk melihat apa saja yang di inginkan oleh si pembeli. 

Kimberly membaca kertas dengan cepat. Begitu selesai membaca, kedua bolanya bersinar dengan penuh antusias.

“Baik, Pak. Saya bisa mengerjakan ini semua,” jawab Kimberly.

“Oke, lakukan dengan baik,” ucap Pak Adrian.

Sepeninggal Pak Adrian, Kimberly langsung membawa kertas ke sudut. Tangannya mengambil pensil dari atas telinganya, kemudian dia membuat sketsa kasar tentang ide yang ada di dalam kepalanya.

Desain tersebut sangat sederhana, namun sarat akan kehangatan. Sebuah set meja makan yang sebenarnya sudah ingin dia buatkan untuk ibunya.

Setelah selesai menggambar, Kimberly membawanya kepada Pak Adrian.

Namun, langkahnya terhenti begitu melihat beliau sedang menyambut tamu. Tidak ingin mengganggu, Kimberly kembali berjalan ke tempatnya bekerja. Dia berencana untuk memilih bahan baku.

“Kamu sudah selesai mengerjakan meja pesananmu?” tanya Mang Daman.

“Sudah, Mang. Tinggal menunggu catnya kering, lalu kacanya sudah bisa dipasang,” jawab Kimberly ramah. Meski begitu, tangannya tidak berhenti memilah berbagai jenis kayu.

“Bagus—bagus, kerja kamu memang tidak kalah dengan kami yang sudah lama bekerja di sini. Mamang, tidak menyesal merekomendasikan kamu,” puji Mang Daman bangga.

“Iya, Mang. Kim sangat berterima kasih, karena Mamang sudah memberikan Kim kesempatan yang berharga seperti ini.”

“Sudah—jangan berbicara seperti itu lagi. Kalau bukan karena bakat kamu, bagai mana kamu tetap bisa bekerja di sini. Yang harusnya berterima kasih itu mamang, berkat kamu. Sekarang nilai mata pelajaran Sekar menjadi lebih baik. Kamu memang anak yang cerdas,” ucap Mang Daman bangga.

“Sama-sama, Mang.”

“Ya sudah, sekarang lanjutkan pekerjaanmu,” ucap Mang Daman.

Kimberly hanya mengacungkan kedua jempolnya sebagai jawaban.

Tidak butuh waktu lama untuknya memilih bahan baku. Setelah selesai, dia membawa semua bahan sedikit demi sedikit.

“Kamu mau membawa ini ke meja kerja kamu?” tanya Mang Udin.

“Iya, Mang,” jawab Kimberly.

“Sudah, kamu duluan saja. Nanti papan ini biar mamang yang bawakan.”

“Terima kasih, Mang.”

“Kamu itu ya tetap anak perempuan, kalau butuh bantuan kan bisa memanggil kami. Kalau hanya membawakan bahan baku kan tidak lama.”

“Iya, Mang.”

Lalu keduanya meninggalkan gudang bahan baku dan menuju meja tempat Kimberly bekerja.

“Mamang taruh di sini ya,” ucap Mang Udin.

“Iya, Mang. Terima kasih banyak,” jawab Kimberly.

“Sama-sama, kalau begitu mamang balik ke tempat mamang dulu ya. Lain kali kalau butuh bantuan, panggil saja salah satu dari kami.” Kemudian Mang Udin meninggalkan Kimberly sendirian.

Kimberly sangat bersyukur dengan kebaikan sederhana yang telah di lakukan oleh semua pekerja di tempat ini.

Meski pun anak baru, mereka tidak menganggap Kimberly saingan mereka. Mereka tidak iri dengan pesanan pembeli yang hanya ingin di kerjakan olehnya, semua orang bekerja dengan penuh kekerabatan.

Mereka pun tidak segan, jika Kimberly membutuhkan bantuan. Semua orang akan membantunya, tidak peduli sesibuk apa mereka bekerja.

Karena itu, Kimberly sangat senang bisa bekerja di sini. Selain bisa terus belajar, dia pun mendapat gaji dan komisi yang bisa dia simpan dan pergunakan untuk kehidupan dia dan ibunya.

Setelah perbaikan gizi selama 3 bulan ini, kesehatan ibunya mulai sedikit membaik. Dia pun rutin membawa Anita berobat ke rumah sakit.

Meski pun, setiap kali berobat harus di awali dengan keberatan dan sanggahan-sanggahan sang ibu.

“Bagai mana, kamu sudah dapat ide?” tanya Pak Adrian.

“Iya, Pak. Silakan dilihat.” Kimberly menyodorkan sketsa kasarnya.

“Hum, bagus. Lanjutkan,” saran Pak Adrian.

“Iya, Pak,” jawab Kimberly.

Pak Adrian tidak ingin mengganggu pekerjaan Kimberly, jadi dia hanya melihat dari kejauhan bagai mana semua orang bekerja dengan antusias.

Sebagai seorang manajer, dia merasa puas dengan kinerja anak buahnya.
🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣🐣






The Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang