Apa Kita Pernah Bertemu?

16 2 0
                                    



Takdir kita terikat
Benang merah membentang indah
Suka ataupun tidak
Kita akan bersanding jua

Ke mana pun kaki melangkah
Itu akan berhenti depan rumah
Seperti kita yang selalu pergi entah ke mana
Pada akhirnya akan pulang jua

_goresan resah_

***********

Entah kenapa, beberapa hari ini Kimberly merasa tidak. Sebuah perasaan, yang telah hampir dia lupakan saat ini.
Ada sedikit ketakutan dan kekhawatiran yang tidak bisa dia hempas keluar dari pikiran.
Berbagai cara telah dia lakukan, agar otaknya tidak memikirkan hal tersebut. Tapi, semua itu tidak berguna.

Kimberly yang merasa lelah, akhirnya memutuskan untuk mengistirahatkan tubuhnya sejenak. Berharap, hal tersebut akan sedikit membantunya.

......

Adrian menatap putra semata wayangnya dengan rasa bersalah. Rasanya, dia sudah terlalu mengacuhkan Rafa. Meskipun dia tidak menyukai Nicole, tapi Rafa adalah darah dagingnya sendiri.

Anaknya tidak memiliki kesalahan apa pun, malah sebaliknya. Dia—sebagai seorang ayah, mempunyai banyak kesalahan yang tidak bisa di hitung oleh jari tangan.
Rafa meringis, dia merasakan sakit di sekujur tubuh kecilnya. Terutama, dia merasa jika kepalanya akan meledak.

“Sayang—kamu akhirnya sadar?” Adrian mengelus kepala Rafa yang kini berbalut kain kasa.

“Mami  mana?”

Hati Adrian sedikit sakit mendengar pertanyaan Rafa. Ternyata, anaknya tidak hanya kekurangan perhatian dari dirinya. Tapi juga dari maminya—Nicole.

“Mami sedang keluar, nanti sebentar lagi juga datang,” hibur Adrian, “sekarang, papi mau panggil dokter dulu ya.”

Rafa menatap Adrian yang meninggalkan ruangan, mata kecilnya menatap kosong sosok Ayah yang selama ini selalu mengacuhkannya.

Selama ini, berbagai cara telah dia lakukan untuk menarik perhatian orang tuanya. Tapi tidak satu pun yang berhasil.

Bahkan, ketika dia meregang nyawa antara hidup dan mati seperti sekarang. Sosok ibu tidak sedikit pun berada di sampingnya.

Rafa yakin, semua perkataan Adrian barusan adalah bohong. Jika Nicole benar-benar ada, tentu dia tidak akan mengacuhkan dirinya ketika terluka.

Maminya lebih memilih pergi, meninggalkan dia sendirian dalam ke putus asaan.

“Silakan, Dok!” Adrian mempersilakan dokter untuk memeriksa Rafa.

Dengan sigap, dokter dan asistennya mengobservasi tanda-tanda vital yang ada di tubuh Rafa.

Rafa hanya diam, dia tidak peduli dengan semua yang mereka lakukan.

“Sepertinya, putra Anda telah melewati masa kritis.”

“Alhamdulillah, Ya Allah.”

Adrian menangkup tangannya penuh syukur.

“Jaga emosinya, nanti saya akan meresepkan obat baru. Sekarang saya permisi.”

“Iya, tentu. Terima kasih.” Adrian mengantar dokter sampai ke depan pintu.

“Katakan, kenapa kamu bisa jatuh dari atas tangga?” Adrian bertanya dengan lembut. Dia terus menggenggam tangan kecil Rafa.

“Rafa ke peleset!”

“Lain kali hati-hati.”

“Papi enggak perlu berlagak peduli sama Rafa.” Rafa menepis tangan Adrian.

“Kamu---“ Adrian tidak tahu harus berkata apa.

Ini semua memang adalah kesalahannya. Jadi wajar saja, jika Rafa menolak kasih sayangnya.

“Maafkan papi, papi janji. Setelah kamu pulang, papi akan berubah.”

Rafa menatap wajah Adrian yang penuh penyesalan.

“Tidak perlu, tetaplah seperti biasanya. Rafa sudah biasa.”

“Maaf—maaf ....” Adrian memeluk tubuh putranya. Dia tidak peduli jika Rafa menolak pelukannya.

Rafa yang merasakan pelukan Adrian untuk pertama kalinya, hanya bisa menangis.

Jiwa kecilnya tidak bisa dibohongi. Jauh di sudut hatinya, dia sangat menginginkan pelukan ini.

“Rasanya hangat,” ucap Rafa di tengah isak tangisnya.

Adrian yang mendengar pernyataan putranya, semakin menggeratkan pelukannya. Keduanya larut dalam tangis yang mengharu biru.

Sebuah ketukan membuyarkan momen tersebut. Membuat Adrian melepas tubuh Rafa.

“Iya?” tanya Adrian.

“Maaf, Pak. Saya membawakan bubur dan obat.”

“Bawa masuk!”

Suster membawa nampan ke dalam kamar.

“Saya simpan di sini ya, Pak. Sekarang saya permisi.”

“Iya, terima kasih.”

“Kamu harus makan, lalu minum obat. Biar cepat sembuh, kalau sudah keluar dari sini. Nanti papi bawa kamu jalan-jalan,” ucap Adrian.

Rafa mengangguk dengan antusias. Kini dia tidak jual mahal atau emosi lagi. Iming-iming kata jalan-jalan ibarat mantra yang membuat hatinya luluh.

Adrian menyuapi Rafa dengan telaten. Hingga hampir ½ porsi bubur tersebut habis. Setelah itu, Adrian juga menyuapi Rafa obat.

“Papi pergilah cari makan, Rafa enggak mau papi sakit seperti Rafa.”
“Oke, papi pergi cari makanan dulu. Kamu istirahat ya, kalau ada apa-apa pencet tombol dan panggil suster.”

“Oke. Pergilah,” jawab Rafa.

“Papi ke luar dulu ya.” Adrian mengelus kepala Rafa sebelum ke luar.

Dia melangkahkan kakinya dengan cepat, tidak mau membuat Rafa menunggu lama. Hingga dia dengan tidak sengaja menabrak wanita di depannya.

“Sorry ...,” ucap Adrian.

“ It’s ok.”

Adrian menyerahkan ponsel milik wanita itu. Tapi, dia sedikit terkejut melihat wajah di depannya.

“Apa kita pernah bertemu?” tanya Adrian. Ada satu perasaan yang akrab ketika melihat wajah itu.

“Anda salah, ini adalah pertama kalinya kita bertemu. Jika tidak ada apa-apa lagi. Saya permisi.” Kimberly mengambil ponselnya, lalu segera pergi meninggalkan Adrian dalam segudang pertanyaannya.

“Kenapa aku selalu mengingat kamu? Tidak cukupkah semua rasa bersalah ini menggelayuti hatiku.” Monolog Adrian.

Kimberly yang mendengar pernyataan tidak sadar mantan bosnya hanya bisa meremas tangannya. Tanpa sedikit pun menghentikan langkahnya.

“Semua telah berakhir.” Kimberly mengingatkan dirinya sendiri. Dia lalu masuk ke dalam lift dengan pasti. Meninggalkan Adrian dalam lamunannya seorang diri.

.......

Tbc ....


The Sweetest RevengeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang