Gumbalan asap putih tipis dari cangkir putih segelas americano coffe mengalihkan fokusku saat ini dari lembaran-lembaran ujung kertas berwarna putih tulang yang kini tengah kupegang. Helaan napas berat tiba-tiba meluncur begitu saja dari sudut bibir ini. Dengan hati-hati aku letakan buku yang sedari tadi ku pegang setelah menutupnya.
Ruang luas di angkasa kini mulai mengeluarkan cahaya oranye, menggantikan matahari terik yang tengah mengistirahatkannya dirinya atau mungkin tengah berkelana, melanjutkan tugas untuk menyinari dunia, melompat ke sana kemari tak tentu arah, hingga nanti kembali ke sini. Tempat di mana aku berpijak, menemani seseorang yang terlihat menyedihkan--mungkin lebih tepatnya kesepian.
Kehangatan serta kepahitan itu adalah hal yang pertama kali mendera indraku. Ketika kusesap kopi itu. Rasanya tetap sama, tak ada yang berubah. Tidak berkurang cita rasanya, tidak ada tambahan rasa manis yang aku dapatkan sejak bertahun-tahun lalu aku mulai menikmatinya.
Secangkir kopi hangat di temani dengan kue manis lengkap dengan novel romansa. Terlihat menakjubkan. Namun, tanpa orang lain sadari ada batin yang menjerit pada setiap detiknya, menjerit untuk mengingatkan'berhentilah sampai di sini sebelum kau melukai dirimu sendiri' tetapi aku masih pria bodoh itu, yang membiarkan diriku terluka. Lebih memilih rasa sakit daripada mencoba, jadi menurutku ini tidak ada apa-apanya.
Cahaya kecil terpancar dari sudut meja, di mana ada benda persegi yang terus menyala, tubuh ramping dan tipisnya bergerak serta bergetar untuk mencari perhatian, tetapi sayang sekali aku tak berniat untuk menggubrisnya.
Aku hanya menginginkan kedamaian, waktu untuk diriku sendiri, yang selalu saja sangat sulit untuk didapatkan. Tidak dengan ingar bingar yang selalu mengganggu setiap pagi hingga malam, jepretan kamera yang membuatku lelah, memasang topeng baik-baik saja, padahal ada yang retak disini, ada beberapa potongan kecil yang tak bisa di satukan lagi. Itu hatiku.
Ini bukan salahnya, ini pula bukan salahku. Salahkan perasaan aneh yang datang tanpa permisi di saat yang tidak tepat. Salahkan pikiranku yang terlalu pengecut dan salahkan waktu yang teramat kejam untuk kami.
Ada rasa sesak yang menghimpit rongga dadaku, karena di antara aku dan dia, tidak pernah ada kata kami. Kata yang sering terlontar akan tetapi itu hanya angan semu belaka, angan semu yang menjerumuskan dua orang pria dalam pilihan rumit.
Hingga akhirnya ingatanku pun berputar pada masa itu, saat dulu aku bisa mengucapkan dengan gamblang kata 'Aku merindukanmu'

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rindu
Fanfiction[ COMPLETED ] ~Jarak itu sebenarnya tidak ada. Pertemuan bahkan perpisahan itu dilahirkan oleh perasaan.~