Kedua sudut bibirku mengembang dengan sempurna, sembari bersenandung kecil melangkahkan kaki pada lorong menuju tempat phi Singto tinggal, tak lupa menenteng makan siang untuk kami berdua. Sudah aku katakan tadi pagi agar pria itu beristirahat hanya saja ia keras kepala, lebih mementingkan perasaan orang lain daripada kondisinya sendiri itulah phi Singto.
Kedua kakiku berhenti berjalan ketika melihat pintu kondonya terbuka. Apa pria itu lupa untuk menutup pintu? Tidak biasanya, phi Singto teledor seperti ini. Pria itu sedang sakit untuk apa membuka pintu atau di dalam sana ada phi Jane?
Saat aku ingin mendorong pintu itu untuk masuk, suara samar-samar seseorang tertangkap oleh pendengaranku. Suara yang cukup familiar itu membuat tubuhku mematung apalagi begitu kata-kata yang menurutku adalah mimpi buruk tersampaikan pada indraku tanpa aku mau.
"Phi Sing, sepertinya aku menyukaimu."
"Apa aku tidak salah mendengar apapun Rune?"
"Aku menyukaimu, aku pikir kau juga memiliki perasaan yang sama, apa aku salah?"
Haruskah aku masuk ke sana atau tetap di sini? Berdiri seperti orang bodoh yang menantikan detik-detik hatiku meremuk secara perlahan? Tidak. Aku tidak memilih keduanya, hingga meletakan makanan yang sempat aku bawa di depan pintu, lalu memilih untuk pergi.
Aku si pengecut yang bahkan tidak mampu untuk mendengarkan apapun lagi. Segalanya menjadi buram, kupandang mentari yang kini menjadi sendu tanpa permisi, mengisyaratkan ia mengerti apa yang tengah aku rasakan. Baru tadi aku tersenyum dan sekarang rasanya aku ingin menangis, tetapi aku bukan pria lemah yang menangis hanya karena hal seperti ini.
Kenapa rasanya masih amat sakit, padahal aku sudah tahu jika akan berakhir seperti ini. Tidak ada kata 'selamanya' untuk aku dan dia. Phi Singto bukan milikku meskipun aku selalu mencoba menegaskannya.
Pria itu layaknya sebuah angin, yang tak mungkin aku raih meskipun sangat dekat, meskipun selalu berada di sisiku, rasanya seperti jiwa ini terlempar jauh. Seolah ada yang menamparku dan mengatakan dengan jelas di mana posisiku sebenarnya, harusnya aku tak berharap, nyatanya harapan itu tak pernah ada di antara kami, tidak pernah ada di antara aku dan dia. Masa-masa itu sudah berakhir.
••••••••
Guncangan pelan dapat aku rasakan, ketika ada seseorang yang menatapku dengan menggelengkan kepala, mungkin untuk kesekian kalinya wanita itu ingin mengatakan jika hari sudah siang, matahari sudah meninggi maka aku harus bangun karena ada acara yang harus aku datangi, masalahnya ini tak semudah yang terdengar, aku harus bekerja dengan Phi Singto sosok yang bahkan seluruh panggilan telepon serta pesannya aku abaikan belakangan ini. Bahkan tak pernah mau untuk bertatap muka dengannya.
"Bisakah membatalkannya? Bilang aku sakit."
"Tidak semudah itu, Kit."
"Mae...."
"Cepat, kau tidak punya waktu banyak."
"Aku tidak ingin pergi ke acara apapun dimana phi Sing ada di sana."
"Kenapa kau jadi kekanak-kanakan? Ada masalah apa sebenarnya di antara kalian?"
"Tidak ada, hanya saja aku merasa jarak itu perlu."
"Kau yakin?"
"Jangan menatapku seperti itu, aku merasa ini pilihan tepat untuk kami."
"Jika kau memiliki masalah, selesaikan. Jangan bersembunyi seperti ini. Itu tidak akan memperbaiki keadaan."
Tetapi, apakah aku mampu untuk menghadapi dan memperbaikinya?
Dikala hatiku yang rapuh ini mengatakan jika apapun tak mudah untuk membuat sakit yang tengah diriku dera ini mereda? Disaat aku belum siap untuk memasang senyum penuh kebohongan dan mengatakan kata aku baik-baik saja padahal nyatanya aku lebih dari kata hancur.
Namun, jika aku tidak menghadapinya kapan segalanya akan berubah? Kapan aku menjadi berani? Setidaknya aku bisa mengucapkan kata selamat walau mungkin akan ada rasa sakit lebih yang aku rasakan lagi atau setidaknya bisa menampilkan senyuman penyemangat untuknya walau mungkin hatiku menangis ketika melakukannya.
•••••••
Sorak Sorai barisan penonton yang berjejer pada pinggiran panggung menantiku dan dia, hatiku menjadi tak menentu, haruskah ada rasa senang yang terselip pada kesedihanku sekarang?
Bisa aku lihat sosok itu tengah menghapalkan lirik lagu yang akan kami nyanyikan nanti di akhir acara, pria itu tetap sama, ia lupa pada sesuatu yang penting dan sekarang ketakutan akan menghancurkan acara. Namun, aku tak berniat menghampirinya ataupun memberikan pelukan penyemangat seperti biasanya. Kali ini aku mengabaikannya, tak memperdulikan pandangan darinya. Sungguh aku tidak mengindahkannya sama sekali. Bersikap seperti phi Singto tak ada di sekitarku.
Acara berlangsung seperti biasanya, kami duduk bersama dan ada jarak cukup jelas kali ini, suasana canggung. Aku hanya bisa menampilkan senyuman terpaksaku sembari menjawab apapun yang pembawa acara utarakan pada kami berdua. Tak sekalipun aku menatap ke arah phi Singto.
Sampai di akhir acara di mana kami harus menyanyikan sebuah lagu, aku tahu bagaimana cemasnya dia. Sungguh aku tahu bagaimana Phi Singto, akan tetapi tak ada niat sedikit pun terbesit untuk menyapanya atau menenangkannya dan benar saja ia melakukan sedikit kesalahan, raut wajah pria itu tampak panik.
Akhirnya benteng kokoh yang coba ku bangun tadi langsung runtuh, bagaimanapun aku tak pernah mau ada sesuatu yang melukainya walau hanya sedikit. Tanganku meraih tangan pria itu, mencoba untuk menenangkannya. Ketika pandangan kami bertemu senyumku merekah tanpa sengaja, mengisyaratkan padanya tidak akan ada yang terjadi selama aku di sisinya.
Ini hal yang terlihat ringan untuk orang lain, tetapi bagi kami ini sangat penting. Sama seperti aku yang tak pernah takut apapun ketika pria itu bersamaku, begitupun ia yang tak pernah mengkhawatirkan apapun ketika aku ada tepat disisinya, kami saling melengkapi satu sama lain. Mengisi ruang kosong dan menjadikan segalanya lebih dari kata sempurna.
"Kit...." Panggilnya pelan.
Aku hanya bisa menyahuti seadanya, aku takut pria itu akan menceritakan kejadian kemarin, maka hatiku belum siap untuk menerima kenyataan.
Kenyataan jika sosok di hadapanku itu bukan milikku sepenuhnya, seseorang yang takkan pernah menjadi milik seorang Krist.
Harapku tinggi, ingin bersama dengannya hingga nanti, sampai batas yang tak bisa kami tentukan, terus mengandeng tangan satu sama lain, menyapa hari tua dengan senyuman. Namun, rasanya impian konyol itu membuatnya semakin terpuruk.
"Kit, ada apa denganmu?"
"Memang aku kenapa?"
"Kau tak terlihat baik-baik saja? Aku merasa kau menjauhiku."
Itu yang phi Singto katakan, sewaktu aku bersiap-siap akan pulang. Hal yang ia ucapkan memang penuh kebenaran akan tetapi aku tak mampu untuk mengatakan segalanya.
Jika aku cemburu, jika aku merasa sakit, hatiku hancur ketika kau terpaksa tertarik jauh dari rengkuhanku. Setelah bertahun-tahun aku menyakini kalau kau miliku. Aku menyakini kalau kau punya rasa yang sama sepertiku. Menyakini kita akan selamanya bersama. Tetapi takdir jahat ini terus mempermainkan segalanya.
"Aku hanya ingin sendiri, Phi."
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"Bukan. Kau tidak pernah melakukan kesalahan apapun, aku yang salah ... Karena terlalu berharap."
Saat aku melangkahkan kaki untuk pergi, lenganku di cekal olehnya. Seolah ingin menghalangi langkahku yang ingin menjauh. Kali ini dengan berat hati aku lepaskan tangan itu, sesuatu yang sebenarnya ingin aku genggam dan memilih untuk pergi. Ini mungkin yang terbaik bagiku dan Singto. Aku berharap demikian.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rindu
Hayran Kurgu[ COMPLETED ] ~Jarak itu sebenarnya tidak ada. Pertemuan bahkan perpisahan itu dilahirkan oleh perasaan.~