Ending: Singto

2K 109 28
                                    

Semua sama. Segalanya tampak sama tak ada yang berbeda, hanya lalu lalang sesak menghampiriku hilir mudik tanpa henti pada pinggiran jalan yang kini tengah aku singgahi. Tidak ada hal mencolok yang membuat segalanya berbeda. Meskipun kota ini tampak lebih maju dari sebelumnya, bahkan bangunan-bangunan pencakar langit itu lebih tinggi daripada terakhir kali aku lihat. Tempat ini menjadi lebih ramai dan padat.

Bosan adalah hal pertama yang kupikirkan, setelah berpisah dengan Ayahku beberapa jam lalu dan memutuskan untuk berkeliling, tetapi justru segalanya mengingatkanku pada seseorang.

Pria yang tak kutahu pasti di luar sana tengah melakukan apa. Ini hampir 3 tahun dan dengan tak tahu malunya aku masih menyimpan rasa. Masih memantau apapun yang ia lakukan lewat berita-berita yang bisa kutemui pada sosial media, aku bersyukur ia baik-baik saja. Krist bahagia tanpa pria pengecut sepertiku di sampingnya, seseorang yang hanya akan melukai, jika terus memaksakan diri bersama.

Tidak pernah sedetikpun aku melupakannya. Canda tawanya, wajah riang serta marah, bahkan ketika pria itu bertingkah menggelikan sekalipun. Bagiku ia sama, masih seperti dulu. Tidak ada yang berubah.

Kemana aku selama ini pergi?

Hanya mencoba menenangkan diri, mencoba untuk memaafkan diri sendiri, yang walau kucoba berulang kali masih belum ada hasil baiknya, karena itu aku kembali, di kala rindu ini sudah tidak bisa dibendung lagi.

Setidaknya hanya melihatnya dari kejauhan atau mungkin mengamatinya dalam diam.

Jangan bertanya mengapa dan kenapa?

Terkadang cinta itu memang rumit, banyak hal yang tak harus di ungkapkan dengan kata. Bahkan dua hati kokoh saja terkadang tak mampu untuk menghadapi, sama sepertiku dan dia. Ini bukan bualan atau sesuatu tipuan, ini nyata tidak hanya sekadar ilusi semata.

Cinta itu hal yang paling menakutkan, bisa membuat orang lain menjadi gila dan kehilangan akal sehatnya. Bahkan tak jarang memilih untuk bodoh bersama. Ini kenyataan tak bisa di hilangkan dengan mudahnya.

Pergi merupakan pilihan yang tepat kala itu, daripada harus bertemu dan memaksakan diri, menambah luka dan perih hati yang Krist rasakan padaku.

Setiap perbuatan selalu ada konsekuensi di dalamnya dan aku tengah menanggung semua itu. Berjauhan dengan seseorang yang ingin sekali kutemui, tetapi sorot mata Krist pada malam itu tak bisa kulupakan dengan mudah. Ia sangat terluka, jadi bagaimana bisa menemuinya?

Bahkan setelah kejadian itu kami sempat bertemu, Krist tak mau menatapku barang sekali saja, selalu menyibukkan diri dengan orang lain. Seolah mengisyaratkan jika kami tak pernah seperti dulu. Itu yang membuatku memilih jalan ini. Meninggalkannya. Berharap luka yang ia dera sembuh, karena aku tak bisa menyembuhkannya.

Udara sejuk perlahan menerpa wajahku silih berganti, beberapa waktu lalu baru saja turun hujan. Hingga jalanan sangat basah dan udara menjadi lembab.

Rasanya ada kekosongan yang kurasakan, ketika melangkah pada keramaian seperti ini. Sesuatu yang tak tahu harus aku lengkapi dengan apa, segalanya tampak membosankan. Tak ada yang bisa mengambil alih fokusku.

Pepohonan bergerak perlahan tertiup kencangnya angin yang menggoyangkanya. Dulu aku sering melewati jalan ini, beberapa waktu selalu menghabiskan waktu untuk duduk bersantai di sebuah kafe. Memanjakan diri dari kesibukanku.

Hanya membaca dan menyesap kopi kesukaanku, itu sudah cukup menyenangkan. Tak ada orang yang tahu jika alasanku kesana sebenarnya bukan untuk bersantai. Aku hanya ingin menghabiskan waktu lama bersama Krist, dengan mengamati ekspresi lucu pria itu ketika aku mengabaikannya.

Kami selalu berjalan bersisian ketika pulang dan aku dengan senang hati mendengarkan semua gerutuannya ketika merasa terabaikan.

Sekarang aku di sini, mengulang memoriku bersamanya, meskipun hanya ada aku sendiri. Mengenang sosok yang aku kagumi dan tersimpan dalam hatiku beberapa tahun belakangan.

Mataku mengerjap sempurna ketika tak sengaja melihat siluet sosok yang sedari tadi ada di dalam benakku. Ia masih sama, bahkan aku masih bisa mengenalinya. Itu Krist. Ia membuang wajahnya ke arah lain seolah tahu jika kami melewati jalanan yang sama.

Ada rasa sesak yang menghantam hatiku, tetapi tetap aku langkahkan kakiku perlahan melewatinya. Kami saling melewati satu sama lain. Tanpa menatap. Tanpa senyuman atau pun tegur sapa. Mirip kedua orang asing yang tak pernah saling mengenal sebelumnya.

Baru beberapa langkah aku menghentikan kakiku yang terasa berat, kepalaku refleks menatap ke belakang dan aku melihat punggung ringkih itu terdiam di tempatnya sejenak, sebelum melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda tadi.

Aku hanya tersenyum dalam diam dan menatap kepergiannya tanpa mampu melakukan apapun.

Meskipun aku sangat ingin merengkuhnya, mendekap erat tubuhnya sembari mengatakan betapa aku menyesal, betapa aku merindukannya. Akan tetapi tidak ada keberanian untuk mengatakan segalanya.

Hidupnya sudah lebih bahagia tanpaku, jadi aku tak mau merusaknya. Krist, pria itu layak mendapatkan seseorang yang terbaik dan sayangnya itu bukan aku.

Bukan pria bodoh yang melukai perasaan dan merendahkanya, walau aku tak pernah bermaksud melakukannya. Bukan pria yang lebih memilih pergi daripada harus memperjuangkannya. Bukan pria yang tak bisa mampu mengatakan kata aku mencintaimu dan aku merindukanmu dengan tegas.

Setidaknya menatapnya dari kejauhan membuatku lega, hanya satu kalimat ini yang aku ingin katakan padanya, bukan kalimat yang sempat aku pikirkan di atas. Bukan pernyataan cinta atau apapun, tetapi kalimat...

Terimakasih sudah bertahan dan menjaga dirimu dengan baik.

Itu yang sangat ingin aku katakan padanya, tetapi aku tak mampu untuk itu, hingga akhirnya akhir seperti ini yang aku pilih. Tidak merubah keadaan ataupun berdiam diri. Aku memilih untuk menjauh darinya.

Kelak jika dia memang seseorang yang di takdirkan untukku, sejauh apapun langkah kakiku melangkah pergi, seberapa keras pun kami saling berjauhan maka pada akhirnya akan di pertemukan kembali. Entah kapan.

•••••••••

Cinta itu seperti rindu, datang tanpa permisi, menciptakan ilusi pada titik semu yang jika tidak terpenuhi hanya akan menggores hati.

*THE END*

Tentang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang