Jaga dirimu baik-baik.
Kata-kata itu terniang dalam ingatanku ketika aku mencoba untuk melupakannya. Semakin aku mengenyahkannya dari pikiranku justru sosok itu semakin menguasainya.
Phi Singto menguasai sebagian besar isi pikiranku, mendominasi keadaan. Ia memperlakukan aku seolah diriku ini pria paling jahat di dunia ini. Tidak ada pilihan di antara kami, antara terus bertahan atau melangkah pergi.
Perasaan gila ini memperumit keadaan, aku menginginkan keadaan kembali normal, saat aku bisa bersenda gurau dengannya tanpa beban, saat aku bisa bercerita dengannya tanpa memikirkan apapun. Bukan seperti ini, setiap kami bersama ada rasa bersalah yang menyeruak keluar, rasa bersalah karena aku mencintainya, menjadikannya objek cintaku yang buruk.
Aku ingin ia bahagia, aku ingin ia mendapatkan hidup normal seperti pria pada umumnya, tetapi hati bodohku ini terus menjerit karena tak mampu untuk melihatnya.
Mungkin pikiran dan bibirku bisa mengatakan aku ingin hal yang terbaik untuknya, akan tetapi ada satu sisi diriku yang takkan pernah rela melihatnya bersama orang lain.
Kedua sisi itu setiap detiknya mulai berdebat untuk menentukan siapa pemenang di sini, sisi egois atau sisi baikku. Namun, bukankah phi Singto berhak bahagia? Satu yang ku tahu pasti, kebahagiaannya bukan bersama orang sepertiku.
Ingar bingar musik yang di putar sangat kencang itu memekakkan telingaku, meskipun seperti itu aku masih tidak bisa melupakan masalah tidak masuk akal yang membelit pikiran ini, seperti belenggu hitam yang akan tetap menjerat leher, semakin lama justru semakin mengencang dan tak pernah terlepas begitu saja. Mencekik dan membunuh secara perlahan tanpa tanda-tanda apapun.
Jemariku mengetuk-ngetuk meja bartender, sebelum menyesap segelas vodka dalam diam, tak tahu sudah berapa gelas yang aku minum. Namun, bayang-bayang pria itu masih belum bisa hilang dari ingatanku.
Aku ingin mengenyahkannya, ingin mendorong sosok itu menjauh dari hidupku, tidak tahan dengan segalanya lagi. Haruskah aku terus berpura-pura tidak terjadi apapun antara kami?
Tanganku menopang dagu, mencoba untuk memijit kepalaku yang terasa pusing, ada sesuatu yang berdenyut-denyut, rasanya menyakitkan hingga kepala ini ingin meledak.
"Kenapa kau ada di sini?"
Suara itu....
Saat aku menengokkan kepalaku kebelakang, ada seseorang yang sangat familiar untukku. Ia menarik dengan paksa dan membawaku untuk keluar dari sana.
"Ini bukan urusanmu."
Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali itu, pandanganku sedikit mengabur ketika melangkahkan kaki untuk meninggalkannya.
"Kau mau kemana?"
Aku tak menanggapinya.
"Kit, berhenti seperti ini."
Lagi-lagi aku mengganggapnya tidak ada, sampai tangan seseorang menyentak lenganku dengan kasar.
"Berhenti melangkah!"
"Kenapa? Apa kau marah? Kau muak melihatku seperti ini? Kau kesal padaku? Aku memang seperti ini, jadi jika kau tidak suka, enyahlah dari hadapanku."
Meskipun bibirku mengucapkan demikian, akan tetapi sesungguhnya tak ada keseriusan atau pun penekanan pada setiap kata yang aku lontarkan.
"Enyah?"
Ada nada terluka dari ucapannya, pria itu bukannya melepaskanku tetapi menyeretku ikut bersamanya, tak mau aku membuat keributan di tengah keramaian apalagi kami seorang publik figur yang setiap gerakannya di pantau oleh khalayak ramai untuk di perbincangkan tak banyak itu adalah hal-hal buruk.

KAMU SEDANG MEMBACA
Tentang Rindu
Fanfiction[ COMPLETED ] ~Jarak itu sebenarnya tidak ada. Pertemuan bahkan perpisahan itu dilahirkan oleh perasaan.~