Chapter 3

1.3K 127 15
                                    

Lelah, hanya itu yang bisa aku ucapkan dan terukir pada wajahku kini. Tak ada yang lainnya lagi, hari sudah menjelang malam, baru bisa kurebahkan tubuh letih ini. Detakan jam dinding itu terasa membawa kesunyian pada hariku yang suram.

Tatapanku lagi-lagi terarah pada benda persegi yang tergeletak manis di sampingku. Tenang, tidak ada gangguan sama sekali. Entah mengapa itu justru membuat diriku merasa buruk.

Pernahkah kalian menunggu seseorang yang tak mungkin sadar jikalau ia kita tunggu?

Rasanya seperti menggantungkan hidup dengan berjalan pada tali tipis nan rapuh, benda yang bisa putus kapan saja dan membuatmu jatuh. Itu yang aku alami, tak tahu dari kapan yang pasti ini sudah cukup lama. Mencintai dalam kesendirian, mengamati seseorang dari kejauhan dan memastikan ia baik-baik saja. Helaan napas berat meluncur begitu saja dari sudut bibirku.

Tidak ada satupun notifikasi darinya, seseorang yang aku tunggu. Entah itu sekadar basa-basi untuk menanyakan kabar atau lainnya. Aku sedikit kecewa.

Mungkin terkesan bodoh, bisa saja aku yang mengiriminya pesan terlebih dulu menanyakan kabarnya, hanya saja aku merasa sedikit takut, tidakkah aku mengganggu harinya? Seseorang yang tampak baik tanpaku. Seseorang yang tawanya lebih lebar tanpa kehadiranku di sisinya? Fakta itu membuat hariku semakin memburuk, tetapi tak ada yang bisa di lakukan kecuali diam.

Akhirnya aku memutuskan untuk menonton televisi, meskipun mungkin memang benar ada maksud lain dibaliknya. Fokusku hanya satu, pada sosok pria yang menghiasi layar televisi dengan senyuman manisnya, ia duduk di dalam ruangan dan tengah memainkan gitar sembari melantunkan sebuah lagu romansa. Aku tahu, bahkan sangat tahu jika Krist punya banyak bakat dalam bidang itu. Ia berbeda denganku.

Kedua sudut bibirku tak ayal selalu tertarik ke atas, melihat bagaimana piawainya ia memainkan perannya dengan baik, meskipun dengan seorang wanita. Mereka terlihat cocok dan sangat serasi bersama. Ya. Itu kebenaran yang tidak bisa di buang begitu saja, akan tetapi mengapa aku merasa sakit mengatakan kenyataan barusan?

Aku memiliki rasa, perasan yang salah. Sesuatu yang harusnya tak dimiliki oleh seorang pria pada laki-laki lainnya. Hingga akhirnya yang bisa aku lakukan hanya memendam, karena perasaanku berbeda, cinta dan sayang ini salah, aku pun tak ingin ada yang berubah antara diriku dan dirinya.

Terlihat sedikit bodoh. Namun, ini lah faktanya. Aku hanya pria biasa, yang lebih takut kehilangan daripada memperjelas keadaan yang ada.

Diamku bukan berarti aku tidak peduli, bukan berarti aku tak mengacuhkannya sama sekali. Diamku artinya melindungi, melindungi pertemanan kami yang sampai kapan aku tidak ingin segalanya berakhir karena perasaan bodoh ini. Cinta bodoh yang membuatku terjerat para hal yang salah.

Ketukan pintu itu menginterupsi apa yang tengah aku lakukan, hingga akhirnya kulangkahkan kedua kakiku untuk melihat siapa yang datang mengganggu hariku yang menyedihkan ini?

Sewaktu pintuku terbuka, ada sesosok makhluk aneh, tidak-tidak. Bukan makhluk melainkan seorang pria berpakaian tertutup sangat tertutup sampai aku tak mengenali siapa yang datang. Sosok tadi mengarahkan tangan yang menenteng banyak makanan ke arahku, sebelum menyeretku masuk ke dalam kondoku tanpa permisi seolah ia tuan rumahnya disini.

"Ada ada dengan pakaianmu itu, Kit?"

"Oh, Phi Sing. Kau mengenali aku? Aku bosan, jadi aku kesini, jangan usir aku."

Jangan bertanya bagaimana bisa aku tahu itu dia. Bahkan dari jarak yang sangat jauh pun meskipun Krist memakai pakaian aneh ini, aku yakin masih bisa mengenalinya.

"Kau tidak ada pekerjaan besok?"

"Aku free. Bagaimana denganmu?"

"Aku ada pengambilan gambar besok sore."

"Tapi paginya kau tidak kemana-mana, 'kan?"

"Memang aku mau kemana? Lebih baik aku tidur sampai puas."

"Dan dengan baik hati, aku akan menemanimu."

"Terserah padamu saja, kau tidak menghubungi Phi Yui siapa tahu dia mencarimu nanti."

"Oh, aku sudah memberitahu Mae jika aku akan menghabiskan malam di sini. Kau tidak lihat adikmu ini sangat kurus sekarang?"

"Bukankah kau sengaja melakukannya?"

Dengan ekspresi lucu Krist menggelengkan kepalanya, "Ini tuntutan, aku justru ingin makan sepuasnya. Kadang aku iri padamu yang selalu makan banyak tapi tubuhmu tetap saja seperti itu."

"Kau sedang menyindir atau memujiku?"

Krist hanya tersenyum bodoh dan membuka apa yang ia bawa, tangganya dengan lihai mengeluarkan makanan yang dirinya bawa satu persatu. Pria itu mengarahkan satu cup kopi padaku.

"Kesukaanmu. Aku ini baik, sangat baik jadi tidak lupa apa yang kau sukai."

Tangannya menyodorkan dua kotak pizza padaku, sementara dirinya sibuk dengan ayam kesukaannya. Biar kutebak Krist ingin menyuapku agar mengijinkan dia untuk menginap. Pria itu memang terkadang menginap di sini atau justru aku yang menginap di tempatnya. Tanpa orang lain tahu.

"Aku pinjam pakaianmu ya? Aku tidak membawa baju ganti."

"Orang akan heran kita mengenakan pakaian yang sama, apalagi kau tidak pernah mengembalikannya padaku lagi."

"Pelitnya, aku selalu meminjamkan bajuku padamu dan aku tak pernah memintanya kembali."

Kata-katanya mampu membuat bibirku bungkam. Mengingatkan pada beberapa pakaian Krist yang sengaja aku simpan dan pakai ketika merindukan sosok itu. Terlihat kekanak-kanakan, tetapi aku hanya manusia biasa yang memiliki rasa tak biasa pada orang lain. Seseorang yang ingin sekali mendekap pria di hadapannya ini, meskipun itu takkan mungkin.

Walaupun aku mencoba untuk mengumpulkan keberanian, segalanya menguar begitu saja. Bagaikan angan semu yang takkan pernah kuraih di malam kelabu ini. Krist harapan paling mustahil yang pernah singgah di dalam benakku.

•••••••

Gelap. Tak ada yang tersisa mulai dari suara bahkan cahaya. Dengan tak tenang diriku berbalik ke belakang, tidak tahu mengapa tanpa sadar hatiku gusar. Bukan karena aku takut kegelapan, bukan karena  aku lupa melupakan sesuatu atau ada beban yang kini bertumpu pada bajuku. Nyatanya ini hanya karena sosok yang berbaring tepat di sampingku.

Ketika rindu menyapa, aku selalu berharap agar ia ada, akan tetapi saat rindu menjawab harapanku, yang aku inginkan justru sebaliknya. Menginginkan pria itu pergi, menginginkan Krist tak bersamaku. Agar tidak ada harapan untukku yang tersisa.

Punggung yang menjadi objek fantasiku itupun berbalik, ada kedua manik redup yang menatapku dalam diam. Krist belum memejamkan matanya, tetapi kenapa sosok yang biasanya tidak bisa diam menjadi layaknya patung kini.

"Phi Sing, besok mau tidak menemaniku pergi?"

"Kemana?"

"Hanya sebentar, aku ingin membeli barang untuk seseorang."

"Seseorang? Ada seseorang yang dekat denganmu?"

Wajah pria itu sedikit bersemu khas seseorang yang tengah kasmaran lengkap dengan anggukan pelannya yang memperjelas keadaan. Seketika jantungku tertusuk sesuatu, benda kasat mata yang tak meninggalkan bekas luka, hanya rasa sakit, rasa sakit yang tersisa.

"Baiklah."

Hanya itu yang bisa terucap, ketika semua kata tersangkut pada ujung lidahku yang keluh, seolah tak rela untuk mengucapkan penyemangat indah untuk sosok di sebelahku. Seperti inilah aku, si pria menyedihkan yang hanya bisa memendam rasa tanpa mampu mengatakan 'aku menyukaimu'



Tentang RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang