"Aku tidak melakukan apa-apa kepadanya karena aku menghargai kodratnya sebagai perempuan. Aku menghargainya karena aku menghormati ibuku"
-Lelaki Sejati-
Rumah itu bertambah mewah dengan isi rumah yang begitu elegant, aku terdiam takjub melihat desain rumah ini namun di tengah ketakjubanku, terlintas bayangan lelaki itu di lensa mataku hingga rasa takut terus mengekoriku.
Ketakjuban itu berakhir dengan pikiran kosong dan tanpa sadar, orang-orang telah meninggalkanku masuk ke dalam kamar tempat ayah beristirahat dan hanya Kak Syah yang ada di dekatku untuk menyadariku.
"Hey..." kata Syah sambil menepuk bahuku.
"Haah,, apa-apa? Mana ibu dan ayahku?" kataku dengan elokan mata yang berlari ke sana-sini.
"Ayahmu ada di kamar tamu tapi mengapa kamu menghayal seperti kejadian tadi siang?"
"Oh iya, tidak apa-apa kok. Aku hanya takjub melihat desain rumahmu. Kalau begitu, boleh aku meminta tolong sama Kak Syah untuk membawaku ke kamar ayah?" kataku sambil tersenyum kepada sosok lelaki yang menggetarkan hatiku.
"Bisa, sini aku bawa. Ayo!" katanya sambil tersenyum jua.
Saat ia membawaku ke kamar ayah, hatiku tak berhenti berdetak jalan beriring dengannya tapi dalam perjalanan itu, aku hanya menunuduk malu agar aku tidak terlalu meresap rasa sukaku ini.
Setelah bertemu dengan ayah dan ibu di kamar, bersegera ibu menyuruhku untuk pergi Salat Maghrib dan ternyata Kak Syah juga belum menyelesaikan kewajiban ini sehingga mama Kak Syah menyuruh kami untuk salat berduaan di Mushallah yang berada di rumahnya itu.
Aku hanya terdiam rasakan bahagia atau takut yang sedang berkecamuk di dalam hatiku karena tak ingin rasa suka ini terlalu meresap jauh di lubuk hatiku tapi di lain sisi, aku begitu senang karena untuk pertama kalinya aku mendirikan tiang agamaku bersama seseorang lelaki saleh yang kuharapkan kelak akan menjadi imamku yang sebenarnya.
Waktu terus berjalan tanpa ada yang bisa menghentikannya sehingga ia memanggilku untuk secepatnya menjalankan kewajibanku ini.
Aku yang sama sekali tak membawa persiapan untuk bermalam tak membawa mukena jadi ia mencarikanku mukena di kamar ibunya. Aku hanya kaget melihat sosok yang begitu saleh menopangku dalam ibadah.
"Ini alat salat ibuku..." katanya sambil memberiku sepasang mukena berwarna putih.
"Terima kasih yah J." Kataku sambil tersenyum.
"Ayo kita salat aja, karena tak lama lagi maghrib akan meninggalkan kita untuk hari ini." Katanya sambil menuju tempat salat kita.
"Oke deh J." Katanya sambil tersenyum.
Dalam setiap lafadz doa yang terucap dalam hatiku begitu bermakna karena mendapat sujud dalam waktu yang sama. Doa-doa begitu fasih kubaca dengan kekhusyuan tetapi ditentukan Allah swt.
Setelah salat, aku meminta agar kita secepatnya pulang karena ingin melihat perkembangan kondisi tubuh ayah yang mulai membaik.
Di perjalanan menuju kamar tempat ayah beristirahat, Kak Syah pun tak hentinya bertanya-tanya tentang kepribadianku bahkan orang yang pertama aku cintai di hidupku selain ayah dan ibuku. Akibat pertanyaan itu, aku hanya terdiam tanpa tahu apa yang harus kujawabkan, hanya terdiam dalam bisu mulutku dengan gendang telinga yang tak mampu terketuk.
"Maaf kak, aku tidak bisa menjawab pertanyaan terakhir kakak karena aku tidak menyukai orang yang ingin terlalu banyak tahu tentang isi hatiku dan apa yang terjadi pada hidupku." Kataku sambil tersenyum kepadanya.