3

192 4 0
                                    

"Ketika hujan mengalahkan pelangi, maka sesi itulah kukubur sebuah harapan dan memaksaku untuk kembali sendiri"

Kubiarkan terlewati pagi dengan kehampaan hati. Rindukan sosok si penyemangat hidup namun saat kuberkhayal dalam imajinasi, tak sengaja terlintas kata-kata ayah di pantai kemarin.

Kembali aku memikirkan hal yang dua hari telah kulupakan dan belum lagi, memikirkan perubahan sikap ibuku yang seakan tahu sesuatu tentang orang yang pertama kali membuat logika tak aktif.

Kubiarkan saja hal yang menjanggal itu dalam hatiku dengan jalani hidup dengan sandiwara hebat.

Karena esok, aku harus menghadapi kertas berbaris dengan tinta berwarna di atas meja dan bertemu dengan penantang sekaligus saudara dalam pendidikan yang kujalani sekarang namun sayangnya belum ada yang mampu menjadi sahabatku karena begitu ketatnya seput ayah padaku hingga dua sosok tegas selalu menjagaku.

Aku tak pernah pulang terlambat karena anak buah ayah yang tak pernah memakan gaji buta, anak buah ayah yang tepat waktu selalu menjemputku.

Tak terasa waktu keterlambatan akan menyapa, semua siswa pun berlari memasuki gerbang berwarna putih dengan label SMAN 83 Jogjakarta dan bel berbunyi tandakan memasuki ruangan. Aku pun melangkah memasuki ruangan namun sebelum belajar, aku menyempatkan diri untuk mengingat Allah dan memohon bantuan agar segala ilmu yang kuraih hari ini akan menjadi pedoman dan penerang lintasi lorong-lorong kesuksesan.

Kepalaku sejajar dengan tanah, tak hiraukan waktu yang terus mengancam. Asyiknya cerita kepada Sang Sempurna hingga lupa, ternyata guru yang akan memasuki ruanganku, guru yang terkenal killer.

Aku pun berlari menuju ruangan tempatku menimba ilmu dan aku telat beberapa menit hingga harus mendapatkan hukumannya yaitu berdiri dengan mengangkat kaki sambil memegang telinga di dekat papan tulis sampai seperdua jam mengajarnya.

Aku tak hentinya mendengar nada ejekan dari teman-temanku tapi aku abaikan saja. Aku memfokuskan lensa mataku ke objek yang akan memasuki ruangan tempatku berdiri dengan siksanya. Aku tak pernah mengatup mataku hingga tak sadar, teman-temanku telah mengejekku kembali karena terpesona dengan objek yang tak hentinya mencuri pandanganku.

Objek itu, orang yang kurindukan selama beberapa hari yang lalu hingga menyungging pipiku. Sesaat setelah memandangnya tanpa kedipan. Ia pun memperkenalkan diri karena dia merupakan siswa baru di kelas ini dan ia ditempatkan satu kelas denganku.

Mendengar itu, tak ada yang mampu menandingi rasa senang ini karena akhirnya dapat melihat bayangannya tiap melintas di depanku.

"Hay.. perkenalkan nama aku Ulil Amri Syah yang biasa dipanggil Ulil, Amri atau Syah dan aku pindahan dari SMAN 3 Surabaya." Katanya dengan keringat yang bercucuran jatuh dari pipi yang begitu mempesonaku.

"Pak, bisa nggak aku tanya kesukaan lelaki ganteng ini?" katanya Rina dengan nada centil.

Rina memang terkenal sangat centil di sekolah , tak ada yang tidak mengenalnya karena ia terkenal kaya dan semua cowok yang pernah pacaran dengannya yaitu cowok-cowok yang terkenal rupawan di sekolahku sehingga tidak ada satu pun yang tidak tertarik kepadanya namun ia sangat cuek dengan tugas-tugasnya di kelas. Mungkin di otaknya, uang orang tuanya bisa membeli semua keinginannya termasuk nilai.

Nilai begitu mudah ia siasati karena ayahnya adalah salah seorang pemegang saham di sekolah bergengsi dan penuh penghargaan ini, sekolahku.

"Kamu mau bertanya apa, Rin?" Ucap Pak Subatri sambil menggenggam spidol dijemarinya.

"Aku ingin bertanya ke anak murid baru itu, Pak." Ucapnya dengan gaya yang sangat ekspresif.

"Pasti Rina mau modus lagi tuh, Pak. Haha" ucap salah seorang temanku dengan nada mengejek.

TakdirWhere stories live. Discover now