11

192 3 0
                                    

"Saat penjagaan ayah akan terganti dengan penjagaan seorang suami namun takdirku tanpa sampai dalam titik rasa senangku menjadi sosok istri soleha seperti ibu"

Tubuhku terlalu lemah harus berhadapan dengannya. Kutinggalkan semua orang dari tempat itu. Aku berlari untuk menjauh dari mereka. Tak sanggup harus menerima kenyataan bahwa orang yang telah kusayang hingga beberapa tahun ini masih mengisi relung hatiku merubah keyakinannya. Aku tak bisa menerima kenyataan bahwa cinta pertamaku harus berakhir tragis seperti ini.

Tibalah waktu yang akan menjadi hari terindah buatku. Hari di mana hanya satu nama laki-laki yang ada di hatiku ialah suamiku, muhrimku nanti.

Aku belum sanggup melupakan tentang kejadian dua minggu yang lalu, kuharap dia hadir di pernikahan ini. Ia ikhlas melepasku bersanding dengan orang lain tapi di sisi lain, aku jua kepikiran ibu yang tak melihatku dan mendampingi menjadi pengantin.

Ibu pasti sangat bahagia melihat anak satu-satunya akan menjadi istri orang lain dan menjadi pengantin cantik di hari ini. Hanya ikhlaslah yang mengantarku ada dalam posisi ini, begitu bahagianya paras ayah dan mama melihatku beberapa menit lagi akan bersanding dengan lelaki pilihan ayah. Rasanya begitu berat ketika esok aku tak lagi ada dalam penjagaan ayah dan menjadi istri dari sosok lelaki yang berada di sampingku.

"Aku terima nikahnya Sutra Afniawati binti Kusmo Zaenal dengan seperangkat", ucapnya dengan begitu lancar namun harus terpotong karena teriak lelaki yang baru saja kukenang karena pertemuan terakhirku yang berakhir sedih.

"Ute, kembalilah padaku. Aku masih mencintaimu dan aku telah melakukan apa yang kamu inginku untuk aku kembali ke jalan Allah", ucapnya dengan berlutut dihadapanku.

"Kak, aku telah memutuskan semua ini dan kakak harus mengikhlaskan aku dengan dia", ucapku dengan linangan air mata di pipiku.

"Ternyata kamu wanita bejat, kamu tidak punya hati. Kamu pergi meninggalkanku tanpa sedikit memikirkan perasaanku", bentaknya tetap di hadapan wajahku.

Jantungku melemah mendengar bentakan keras itu tepat di hadapan wajahku karena aku adalah seorang penderita jantung kronis yang telah menunggu akhir dari hidupku namun tak ada tanda-tanda bahwa aku berada pada kedudukan yang lemah seperti ini karena aku juga adalah seorang dokter spesialis jantung yang begitu cerdas mencari cara agar terlihat sehat di hadapan mereka.

"Maafkan aku Ayah, Dafa, Mama dan Kak Syah", ucapku diiringi salawat dengan terbatah-batah dengan hela nafas yang panjang.

Setelah berkata seperti itu jantung semakin terangsang dengan berdetak lebih kencang mendengar bentakan Kak Syah. Dadaku mulai berdetak tak stabil. Nafasku tak lagi dapat terkontrol dengan baik dan penglihatanku tak jelas lagi. Nadiku semakin lambat berdenyut dan sampailah pada akhir kenangan ini, Ibu pun telah menjemputku untuk ikut bersamanya di alam sana sebelum aku sah menjadi istri seorang lelaki yang baik hati.

Semua kenangan hidupku telah berakhir ketika aku telah menutup mata dan kupahami jauh dari lubuk hatiku bahwa takdir bukan anugrah buatku.

*****

END

TakdirWhere stories live. Discover now