sebelum saya up di wattpad saya ngetik dulu di wort, kalau suda baru di up.
"Aku hanya bersandiwara di hadapanmu ketika aku menyuruhmu menerima perjodohan yang sebenarnya tak kuinginkan jua tetapi aku harus bak aktor mempernontongkan hal yang tak real terjadi padamu"
Tak mungkin aku melanggar keinginan ayah karena tak ingin ada penyesalan ketika melanggar keinginan ibu.
Tahun demi tahun terlewati tanpa kasih sayang ibu, tanpa makanan ala ibu, tanpa cemohan ibu. Hanya ada pahlawan berjasa yang selalu memangkuku jalani hidup ini.
Hingga aku memakai toga di tempat wisuda dengan prestasi-prestasi di perguruan tinggi yang memberiku gelar seorang dokter spesialis kanker. Aku memilih jurusan ini karena ibuku meninggal karena penyakit kanker hingga inginku membantu orang-orang yang mengidap penyakit yang sama dengan almarhuma ibuku agar tak ada yang merasakan kehilangan sepertiku.
Aku telah menjadi dokter di rumah sakit terkenal di kotaku. Hidupku telah mandiri dan ayahku menjodohkanku dengan anak temannya yang seumuran denganku. Tiba-tiba aku kembali kepikiran Kak Syah. Jauh di lubuk hatiku masih terukir nama Kak Syah. Aku memang tipe orang yang mudah menutup semua rasaku dengan orang yang pertama kali mencuri hatiku.
Tak tahu tindakan apa lagi ketika pertama kali mendengar keinginan ayah. Ayah memang tak begitu memaksaku tapi ayah berkata kepadaku bahwa inilah cita-cita ibuku ketika aku masih kecil, orang yang dijodohkanku bernama Arga.
Kata ayah, sewaktu kecil aku dan Agra adalah sahabat tetapi kami harus berpisah karena Agra harus ikut ke luar negeri bersama ayah dan ibunya.
Rasanya ingin mengabulkan cita-cita ibu yang terakhir ini tetapi apakah ibu bahagia ketika aku mengabulkan permintaanya untuk menikah dengan Agra tanpa adanya rasa cinta dihatiku? Apakah ibu bahagia ketika aku merasa terpaksa mencintai? Apakah ibu mampu bahagia melihatku bersandiwara?
Agra memang anak yang baik dan tak sombong tetapi rasa tak bisa dipaksa. Sekian lama, aku menyuruh Agra untuk menunggu jawaban dariku tapi Agra harus menelan dalam-dalam perasaannya karena hukum cinta berlaku di titik situasi ini bahwa cinta Agra terhadapaku tak harus memiliki.
Tak ada respon yang berlebih yang dilakukan Agra, ia menerima segala keputusan ini. Dia orang yang beriman sehingga tak terlalu memaksakan kehendaknya. Kecewa pasti ada di lubuk hatinya tetapi ia hanya berkata padaku "Kejarlah Orang Yang Kamu Sayangi". Dengan tabahnya ia mengatakan seperti itu kepadaku. Aku memang terpanah dengan sikap yang kuanggap istimewa itu tapi tak berarti aku mencintainya.
Memang sih Agra menerima keputusanku ini tetapi tak seperti ayah. Ayah memaksaku untuk menerimanya tetapi aku tak ingin. Aku kembali mengenang ibu, seandainya ibu ada mungkin nasibku tidak akan kelam seperti ini. Mungkin dia menerima alasanku walaupun ini adalah keinginannya. Ibu tak begitu egois tak memikirkan perasaan anaknya apalagi aku sangat dekat dengannya. Pasti ada yang mampu menggenggamku untuk bersama menghadapi keinginan ayah ini.
Ayah tak pernah memikirkan sedikit pun perasaanku, ia hanya memikirkan kebahagiaan ragaku tapi bukan jiwaku juga.
"Apa ayah pikir menikah dengan orang yang tak disayangi akan berakhir bahagia? Tidak yah. Ayah sama saja menyuruhku masuk ke lubang keburukan karena rasa bahagia tidak akan bersamaku", kataku dalam hati dengan berbaring memeluk foto ibu.
Tak mungkin aku akan berkata seperti itu kepada ayah. Ialah harta satu-satunya yang kumiliki, tak ingin jua aku menyesal seperti dulu waktu dimana aku meninggikan suaraku ketika berbincang-bincang kepada ibu.
Tak bisa menerima kenyataan seperti ini, aku pun terbawa ke arah pemakaman ibu. Rasanya tak kuat untuk bertemu ibu dengan alam yang berbeda tapi jauh di hati nuraniku, aku yakin ibu mendengar segala keluh kesah yang kucurahkan di atas pemakamannya.
Dipemakaman itu, aku melihat sosok laki-laki yang pernah kukenal dengan paras yang jauh lebih rupawan. Lelaki yang sejak lama telah meninggalkan rumahku, lelaki yang kutemui dan pertama kali mencuri pandanganku.
Tak ada pengawal ayah yang mengikuti langkahku. Aku pun menghampirinya dan langsung memeluknya, rasa rindulah yang membuatku begitu lepas berada dalam peluknya. Ia pun menenangkanku dan menyuruhku untuk menerima permintaan ayah.
"Terimalah permintaan ayahmu, Dik. Aku tidak akan marah kepadamu walau kita tahu kenyataan bahwa kita tak bersaudara seperti yang dulu kita ketahui." Kata Kak Syah sambil mengusap helai-helai rambutku.
"Aku masih menyayangi kakak hingga aku telah menjadi seorang dokter seperti ini. Hatiku belum berpaling karena begitu besarnya rasa sayangku untukmu." Kataku dengan tetes-tetes air mata.
"Aku pun juga seperti itu tapi buat apa kita bersatu dalam satu hubungan jika tak mendapat restu dari orang tuamu. Orang tuaku dulu." Katanya dengan menatap mataku.
"Tapi, Kak." Kataku melepas pelukan eratku tadi.
"Tapi apa lagi, Dik. Aku tidak ingin orang tuamu membenciku karena kubiarkan kamu menolak permintaannnya. Mungkin kita tak jodoh. Tuhan tidak mentakdirkan untuk kita bersatu." Kata Kak Syah sambil menggenggam jemariku.
"Hah, apa? Bilang aja kalau kakak udah tidak sayang denganku. Kakak pasti sudah punya kekasih lain sedangkan aku selama ini memperjuangkan rasa sayang ini. Kakak egois", kataku dengan nada yang meninggi dengan wajah yang memerah.
"Te, denger aku dulu. Aku sayang kamu tapi aku tak ingin kamu durhaka dengan orang tuamu. Aku peduli karena aku sayang kamu. Apa kamu tidak tahu bagaimana perasaanku saat harus berkata seperti ini kepadamu? Aku terluka namun aku bersandiwara di hadapanmu karena tak ingin memberimu beban yang lebih berat", teriak Kak Syah, kuabaikan saja.
Orang yang kuharap bisa bersamaku lewati badai ini hanya khayal semata. Dia juga egois tak beda dengan ayah. Aku betul-betul kecewa.
Sesampainya di rumah, aku pun langsung mengambil wudhu untuk melaksanakan Salat Duhur. Mungkin dengan cara ini, aku lebih mampu menenangkan hatiku. Hanya Allah-lah penolongku saat ini.
Hatiku memang tenang tapi kebimbangan masih menjadi musuhku. Rasanya ingin keluar dari istana yang penuh kecaman ini. Tak sanggup rasanya menghadapi rasa ego ayah yang sangat besar tetapi aku bukanlah orang yang berpikir pendek.
Tengahmalam membangunkanku untuk Salat Istikharah agar kutemukan jawaban. Menerimaperjodohan ini dengan hati yang dipaksa atau menolak perjodohan ini denganmenjadi anak yang durhaka.
UDAH NGK BISA MIKIR, MANA SUDA MAU USBN, UNBK DAN UTB
MAAF KALAU GARING