"Cinta bukan ditakdirkan untuk dirasa dalam logika tapi cinta ditakdirkan untuk di rasa dalam hati"
Satu hari keputusan itu terlewati, aku dan ayah telah bertemu dengan presiden yang ada di sekolahku. Hatiku bagai gelas pecah tak sempurna, kuusahakan air mata ini tak jatuh agar sandiwaraku pagi ini lancar.
Ketika ayah memasuki ruangan seorang tegas itu di sekolahku, aku pun meminta izin kepadanya untuk menemui teman-temannku yang berada di kelas. Langkahan kaki mengiringku ke tempat itu, sebenarnya aku takut harus bertemu Kak Syah namun harus berpamitan kepada teman-temanku karena bukan waktu singkat untuk pergi menghilang dari pandangan mereka.
Kulihat pandangan tajam dari sudut ruangan. Pandangan itu bercerita, isyaratkan kekecewaan tapi rasanya pahit jika tak berpamitan kepadanya. Aku juga ingin memperjelas pesan yang kukirim kemarin.
Tanpa seorang pun yang tahu, aku menghampirinya dengan mencoba tabah di hadapannya.
"Kak, aku ingin cerita berdua dengan kakak", ucapku dengan nada rendah.
"Buat apa ingin berbicara lagi kepadaku jika kamu ingin pergi meninggalkanku. Pergi saja, aku tak membutuhkanmu" , ucapnya dengan tegas.
"Maafkan aku jika harus mengingkarinya tapi sungguh ada yang engkau belum tahu. Aku akan bicara jujur kepada kakak sebelum bayanganku hilang dari pandangan kakak. Aku mencintaimu sejak pertama kali kita bertemu dan hal itu yang membuatku harus pergi. Maafkan aku", ucapku dengan nada penyesalan.
Ucapanku itu pun membuatku tersingkir di sudut kelelahan jiwa. Hatiku berontak karena tak ada yang bisa membuatku tenang yang ada hanya percikan tangis yang mendekapku.
Mendengar ucapan pedih dari sosok istimewa di hidupku. Kerisauan hati, membuatku buta akan segala hal yang telah terjadi dan membawaku dalam dekapan sosok lelaki itu.
"Aku sayang Kakak tapi takdir bukan anugrah buat kita, Kak. Aku harus meninggalkan kakak karena orang tuaku yang melarangku bersama Kakak", linangan deras bagai hujan di wajahku.
"Pergi kamu dari hidupku, aku tak mau lagi bertemu denganmu, sekarang dan untuk selamanya!" Nada yang mulai meninggi dan bergetar terdengar di telingaku.
Hatiku yang luka mengantarku ciptakan jarak dengannya. Tak kusangka orang sebaik dia tak mau memahami kejadian, kukira dia dewasa ternyata dia jauh lebih kekanak-kanakan dariku dan segera aku pergi ke arah ayah untuk mengajaknya cepat menjauh dari tempat penuh lukisan pedih ini.
Air mata, menemaniku dalam perjalanan ke villa, rasa ini membunuhku jauh dalam lautan rasaku. Linangan air mataku pun mengantar tembusi alam sadarku dalam perjalanan yang membutuhkan beberapa jam ini. Lelapku terbawa mimpi hadirkan sosok teristimewa yang kini kutinggalkan memberikan cincin bertulis "I Love You" di mimpi itu, raut wajahku begitu bereporia menyambut cincin itu.
Sesaat ia telah memberi cincin itu, dia pergi dan melarangku untuk ikut kepadanya. Jauh telah terdampar ke dunia mimpi dengan rasa yang berakhir tanda tanya itu. Mimpi indah bercampur banyak pertanyaan itu harus terpotong karena ayah menepuk bahuku dan menyadarkanku untuk ke ruang yang membawa kenangan yang begitu berlimpah dan berkata padaku bahwa kita telah sampai.
Ayah dan supir yang membawakan koperku ke dalam kamar yang telah ia disewakan untukku. Keputusan ini memberiku pengalaman pertama untuk berpisah dari penjagaan ayahku beberapa waktu dan kemanjaan yang selalu diberikan mereka untukku. Nuraniku begitu jujur mengakuinya bahwa rasa kerinduan kelak akan menghampiriku dan akan membawaku dalam tangis dari sebuah kerinduan.
Barangku telah rapi dalam kamar. Ayah menyuruhku duduk di dekatnya, rasanya ingin berteriak keras, aku tidak ingin ayah meninggalkanku sendiri di sini tapi inilah keputusan yang kuambil sendiri dan kutanggung sendiri.