"Cinta bukan di tulis dengan tinta pulpen atau pensil yang bisa dihapus dengan mudah tapi cinta adalah ukiran Tuhan yang dititipkan agar insan dapat menghargai rasa bahagia karena rasa cinta"
Bunyi nyaring bel terdengar olehku, sisa satu menit gerbang sekolahku di tutup. Kakiku melangkah lebih cepat. Rasanya ada yang berbeda dengan suasana pagi di sekolah ini ataukah hanya firasatku saja karena setelah satu bulan meminta libur, aku kembali ke sekolah.
Rasanya kangen dengan suasana di sekolah, tebaran sunggingan kecil pun kudapat dari sudut pandanganku hingga tersusun rapi semangat hidup yang jadikan tombak panggung hidupku hari ini dan hari-hari selanjutnya.
Kulewati lorong persegi panjang dengan kayu persegi panjang kecil di atasnya ukirkan "XII Fisika 1". Suasana kebersamaan kurasa saat susunan kalimat sederhana begitu indah terpantul di gendang telingaku.
"Selamat pagi, Ute", suara serentak teman-teman kelasku.
Walaupun tak ada teman dekatku di kelasku, bukan berarti mereka tak menyayangiku. Mereka mengetahui betapa ketatnya penjagaan ayahku ditambah dengan pengawal ayah yang mereka lihat tiap hari membuatnya mengerti dengan keadaanku.
Dag dig dug, debaran itu semakin mencekamku. Tampilan beda menjelma di pelosok tatapanku. Belum jauh aku merasakan kebahagiaan karena surprise dari teman-temanku. Fokus lensa mataku memperbesar bayangan yang masuk di retinaku dan memanggil rasaku untuk menerjemahkan bayangan berpasangan itu.
Waktu 30 hari cukup untuk melupakan kenangan di taman sekolah. Genggaman paras cantik bidadarinya begitu erat bersamanya. Beriring langkah yang berirama, siratkan kebahagiaan karena anugrah cinta mereka.
Aku tersenyum kecil saat melihat mereka beriring langkah, namun tak ada kemunafikan di nuraniku. Wajah bisa bahagia tapi hati, siapa yang tahu? Aku pun kini mengerti, janji orang tuaku harus tetap menjadi janji walaupun harus goyah karena tiang janji yang tak terlalu kuat.
Terlalu banyak sandiwara yang dilakonkan orang-orang hingga kepercayaanku bahwa mereka berdua ada di antara rasa cinta yang mereka rasa. Siapa yang bisa percaya? Melupakan orang yang ia kejar-kejar hingga mengambil keputusan untuk jauh dari orang tua untuk berpindah sekolah.
Banyak kisah-kisah yang kupahami dengan rasa. Terukir jua di penggalan lagu band ternama di negara tercinta "Satu jam saja kutelah bisa cintai kamu kamu kamu di hatiku. Namun bagiku melupakanmu butuh waktuku seumur hidup." Rasa cinta bukan di tulis dengan tinta pulpen atau pensil yang bisa dihapus dengan mudah tapi cinta adalah ukiran Tuhan yang dititipkan agar insan dapat menghargai rasa bahagia karena rasa cinta.
Walaupun begitu banyak tanda tanya di hatiku, tetapi aku harus menghargai segala tindakannya. Aku pun mengabaikan dengan acuhku, rasakan gejolak yang mengoles luka hatiku.
Ketentraman diciptakan seorang teman untukku, agar abaiku dengan sepasang objek yang telah mencuri pandanganku tadi. Mereka tak ingin aku terluka, tapi di antara beberapa temanku, ada yang terdiam sendiri seakan memahami yang terjadi namun aku tak ingin mengelupas ini jauh lebih dalam.
Guru yang mengisi pelajaran hari ini telah datang, kami semua bersiap untuk fokus satu aktivitas yaitu belajar. Inilah kewajiban seorang anak untuk meraih pendidikannya setinggi mungkin darin kerja keras sepasang pahlawan kehidupan.
Sudah cukup aku menitihkan air mata dan kini waktunya aku bangkit dari kegelapan yang terus menghantuiku. Kugoreskan pena di setiap lembar putih. Ukirkan ilmu untuk raih sang masa depan. Tak ingin tergoyah lagi, inginku bahagiakan pahlawanku dengan hasil-hasil kerja kerasku.
Bel kembali berdering dan memberi tanda bahwa jam pelajaran telah usai. Pengawal yang disiapkan ayahku telah datang sebelum jam pulang. Segera aku pulang namun aku memohon kepada pengawal tegas itu untuk mengantarku membeli kado di toko kado yang ada di sepanjang perjalanan pulang ke rumah. Kebaikan hati sang supir mengantarku ke toko itu. Aku membelikan ibu sepasang anting yang kutahu itu menjadi koleksinya.
Aku menelpon ayah untuk merencanakan surprise ibu agar ulang tahun ibu yang ke-37 berharga. Aku ingin memberikan bukti sayangku untuk ibu. Setelah pulang dari toko kado, segera aku ke kantor ayah untuk menceritakan pesta ibu besok karena ayah tidak bisa meninggalkan kantornya karena banyak kerjaannya yang menumpuk.
Ayah memang sibuk dengan kerjaannya tapi jika ada keperluan keluarga, dengan ancaman apapun iya pasti lebih mementingkan keluarga. Itulah sisi ayah yang begitu kupuji walau telah begitu tegas mendidikku.
"Ayah........" teriakku di depan kantor ayah.
"Iya, Nak. Duduk dulu di sana karena ayah harus kerjain tugas ini tapi jangan takut karena ini tinggal sedikit", kata ayah tetap di hadapan laptop di mejanya.
"Iya-iya Ayah. Aku pasti betah di sini karena banyak makanan. Hehe", ucapku dengan mulut yang telah penuh dengan makanan.
"Kamu itu. Ayah suruh sekretaris ayah untuk siapkan cemilan kecil untuk kamu supaya nggak bosan menunggu ayah", ucap ayah dengan wibawa pahlawan.
"Oke, Ayah."
Selama menunggu ayah selesai mengerjakan tugasnya, aku hanya membuat puisi sederhana untuk kubacakan di pesta ibu esok dengan makanan yang penuh di mulutku. Aku memang sangat gemar mencemil hingga di kamarku tak pernah kosong dengan cemilan. Maklumlah, tubuh aku bukan seperti si putri lenggak-lenggok di panggung mewah pamerkan busana rancangan para desainer terkenal.
30 menit aku menunggu ayah hingga semua kerjaannya selesai. Ayah membawaku ke restoran terkenal yang sering digunakan ibu untuk arisan dengan teman-temannya. Di restoran itulah ayah berencana untuk mengadakan acara ibu, akhirnya ia menyewa restoran itu untuk malam esok. Besok, mungkin aku tak masuk sekolah karena harus mendekor restoran itu dengan cantik hanya bersama ayah. Ayah melakukan ini karena agar esok lebih istimewa.
Dalam hidup, kemewahan dapat membuat sunggingan kecil tetapi kesederhanaan mengukir kebahagiaan yang utuh dan kan tetap kekal sepanjang hidup seseorang yang merasakan kebahagiaan tersebut.
Tak berakhir dari restoran, ayah membawaku ke butik untuk mengambil baju yang telah dipesannya terlebih dahulu tanpa kuketahui sebelumnya di desainer langganan ayah yaitu Om Darko. Kemudian, ke arah toko cincin. Sungguh roman esok acara ibu. Begitu besar rasa cinta ayah kepada ibu mungkin karena ibu adalah sosok bidadai cantik dan pengertian ditambah kesolehan ibu.
Dunia semakin gelap, tak ada lagi cahaya yang menerangi alam ini yang ada hanya bintang yang indah di langit sana. Seadainya aku terlahir jadi bidadari, mungkin aku sudah ada di langit ke tujuh dan tak akan merasakan hal pahit seperti kemarin. Tapi tak apalah, mungkin sakit yang kurasa sekarang tak setara dengan rasa kebahagiaan yang akan kurasakan nanti.
Pagi hadir dari perputaran malam hingga terbit dengan rembulan sang sinar namun pagi ini aku tak bangun seperti biasanya karena hari ini harus alpa ke sekolah untuk memberikan kejutan untuk bidadari keluarga kecilku.
Jarum di jamku telah menujukkan pukul 10.00 hingga kubangun dari desakan badan dan kasurku. Aku pun ke kamar ayah, ketika membuka pintu kamarku ternyata ayah telah menungguku dan telah rapi. Sedangkan aku masih berantakan tanpa olesan bedak yang tak pernah alpa di wajahku.
Setelah semua siap, aku pun bersama ayah pergi ke restoran itu. Aku tahu, ayah begitu bahagia hari ini karena setiap hari ulang tahun ibu pasti diperingati hari ulang tahun pernikahan mereka. Aku melihat ayah begitu berseri walau kelelahan hampiri kita berdua.
Semua sudah siap, ayah pergi menjemput ibu di rumah yang sedang berdandan.
Satu dua tiga... haru tercipta dalam suasana itu, ibu begitu terharu melihat kejutan pesta ini.
Ayah pun memberikan kadonya kepada ibu dan aku pun juga memberikannya. Ibu sangat bahagia walau anaknya hanya satu.
Di luar dugaanku, ibu berkata jujur kepadaku tentang alasannya melarangku jatuh cinta kepada Kak Syah yaitu aku dan Kak Syah adalah sepersusuan. Kak Syah adalah anak teman ibu yang dititipkan kepada ibu untuk menyusuinya, ibu melakukan ini semua karena keuangan ayah dahulu belum menentu.