9

70 1 0
                                    

"Hanya satu yang dapat membuatku kuat yaitu IKHLAS"

"Tuhan beriku jawaban yang mampu kujadikan ibadah dalam diriku. Jawaban yang mampu beriku ketenangan yang terbaik untuk hidup duniawi dan akhiratku."

Hanya susunan-susunan kata-kata yang kupanjatkan kepada-Nya. Dengan jalan ini, semoga rasa ikhlas dan bersyukur akan selalu menjadi pedomanku dalam setiap langkah hidupanku.

Telah kudapat jawaban atas segala doaku. Kurenungi semuanya dan mungkin inilah tanda untuk aku menjadi lebih baik. Inilah keputusan yang Insya Allah akan mengantarku ke tempat yang lebih indah di alam sana ketika tubuh aku terbelengku lemah dan tak mampu lagi tersenyum. Ketika aku kembali ke tempat di mana aku diciptakan yaitu tanah.

Rasanya memang sangat berat saat harus memilih keputusan ini. Antara ayah atau orang yang kita cintai. Pilihan ini bukanlah pilihan yang tak penting hadir di setiap pikirku. Hanya berharap agar semua langkah ini beriring ridha dari Allah swt.

Kutemui ayah di sudut ruangan yang banyak mengisahkan kenangan-kenangan kebersamaan. Ayah memang marah kepadaku karena telah menolak perjodohan ini tapi aku tidak bermaksud untuk membuatnya marah.

"Ayah." Ucapku sambil menepuk bahu pahlawanku.

"Iya, kamu kenapa? Kamu mau menolak perjodohan ini. Ayah tidak apa-apa kalau memang kamu sudah tidak mau mendengar ayah dan tak menghargai ibumu yang telah meninggalkan kita", ucap ayah dari sudut kekecewaan di raut wajahnya.

"Tidak, Yah. Aku bersedia menikah dengan Agra. Aku telah mendapat petunjuk dari Allah", ucapku dengan sunggingan kecil menatap ayah.

"Kamu betul, Nak", Ucap ayah sambil mendekapku.

"Iya, Yah. Aku serius", ucapku dengan sunggingan dalam kepasrahan.

"Ayah sayang denganmu, Nak", ucap ayah sambil mengecup keningku.

Ayah begitu bahagia mendengar keputusan ini tanpa ayah ketahui perasaanku. Tak ada yang bisa kulakukan. Aku telah berucap sedia, itu artinya segala konsikuennya harus kuterima. Ini hal yang bisa aku lakukan untuk melihat sunggingan kecil ayah.

Tak ada lagi yang bisa kuperjuangkan? Ia telah melupakanku dan sekian lama ini berpura-pura di hadapanku. Rasanya sendiri hadapi ini semua.

Hanya bahu bibi yang bisa kupinjam untuk bersandar dari segala kesulitan ini. Bibi seperi ibu yang tak pernah bosan mendengar keluh kesahku. Hanya dia mampu menenangkan hatiku yang gundah ini.

Ayah begitu sibuk mengatur semuanya. Dari persiapan akad nikah hingga resepsi. Ayah memang begitu excited dengan pernikahaan ini. Maklumlah, aku adalah harta satu-satu ayah yang ia miliki di dunia ini.

Pernikahan ini memang terpaksa aku lakukan dan hanya berharap mendapat rida Allah. Hal yang juga membuatku risih adalah ayah begitu menghambur-hamburkan uang untuk resepsi ini. Rasanya lebih baik jika uang itu disumbangkan ke orang yang lebih membutuhkan. Namun dibalik itu, aku berusaha memahami karena begitu besarnya rasa sayang ayah kepadaku hingga rasa sayang yang ia miliki membutakan hatinya sehingga tak memandang perasaanku menerima perjodohan ini.

Hari-hari kulewati dengan siksa nuraniku. Semua seperti gelap tak ada harapan. Aku hanya bersujud di atas sajadah setiap hatiku gundah. Harusnya, hari itu adalah hari yang paling bahgia buatku tapi apa daya, aku harus bersanding dengan orang yang tak pernah cintai.

Harusnya ada ibu yang memberiku perhatian untuk menjadi ratu kelak nanti. Tapi apa? Ibu telah pergi jauh di sana, di alam sana. Sedih, gundah, tangis semua mendekapku dalam pedih.

TakdirWhere stories live. Discover now