6

93 3 0
                                    

"Nadiku berhenti berdenyut beberapa menit ketika tersentak mendengar hal yang tak kuinginkan, ketika semua janji terkalahkan dengan sudut kelelahan jiwa"

Susunan huruf terlontar dari lubang rahasia ibu, aku jauh terdampar dari sudut kepahitan. Rasaku tak lagi ingin kukenali. Ini bukan hal terindah untuk hidupku tetapi hal yang jauh menusukku.

Lewati jalan mewah dengan gemerlap bidadari-bidadari tanpa kenal situasi, aku berlari meninggalkan pesta ini tanpa peduli dengan tanggapan orang lain. Hujan memang menyapa malam ini, kuhiraukan saja. Ia memang bidadariku, aku memang pernah berjanji. Tapi bukankah janji lebih mudah roboh jika disandingkan dengan luka hati.

Tak kusadari, aku berlari dengan sepatu kaca berhak di jalan yang licin iringi tangis yang beririma sama dengan hujan malam ini. Kupasrahkan semua kepada Tuhan, ialah segala pembuat skenario hidupku. Lelap dalam mata si cina. Tak kurasa kakiku tergilir hingga aku jatuh.

Sakit yang kurasa saat jatuh tak sebanding dengan rasa sakit yang kurasakan dalam hatiku. Ibu mengejarku dan rasanya ingin berdiri untuk menjauh dari mereka. Kulihat setangkai kayu kuat yang bergeletak di sampingku, segera kuraih tuk menopangku hilang dari pandangan ibu.

Bukan rasa kedurhakaan yang mengantarku pergi tapi rasa sendiri yang ingin kuraih dalam buramnya kisah romanku ini. Kesendirianlah yang mungkin berharap dapat menyelimuti segala rasa duka ini agar sebuah ketenangan kuraih. Kutahu di sekitar istana makan ini terhampar satu taman yang indah.

Setangkai kayu menopangku tuk dekati taman itu, namun tangis kian mencekamku. Rasanya tak kenal lagi kata cancel untuk air mataku hari ini. Marah kepada ibu karena terlambat memberitahuku tetapi seorang ibu memiliki niat baik disetiap tindakannya. Itulah yang selalu jadi tongkak hatiku.

Rasanya kaki ini sakit dan tak bisa lagi melanjutkan perjalanan namun keteguhan hati seorang gadis sepertiku mengantarku hingga kegenggam pegangan kursi putih taman itu.

Terdiam sendiri pahami situasi malam ini, kutatap bulan, rasanya ingin menyalahkan takdir ini, rasanya Tuhan begitu tak adil denganku. Saatku terdiam menatap si bentuk bersegi lima, kusadari hal yang lalu bahwa waktu satu bulan yang kuminta kepada ibu dan ayah memang sia-sia karena perasaan itu tetapi ada jauh terukir di lubuk hatiku.

"Tuhan? Apa ini? Peraturanmu? Buatku tak bisa bersatu dengannya. Pangeran hatiku. Sungguh sesal dalam kedalaman laut hatiku", ucapku dalam hati.

Hujan pun semakin malam, semakin deras hingga buatku terus terdiam di taman itu sendiri. Aku tak tahu arah kembali ke istanaku, tak tahu harus ke mana?? Jalan ke restoran itu pun hilang dari memoriku. Tubuhku menggigil karena kedinginan karena gaun yang kupakai malam ini tak cukup untuk menyelimuti tubuhku di bawah derasnya hujan.

Tak kurasa ternyata aku telah tersungkur lelap di kursi taman hingga sinar pagi ini menyapa pagiku dengan kesembabpan mata karena semalaman menangis karena hal yang tak pernah kusangka dalam hidupku.

Tak ada seorang pun mencari keberadaanku, aku pun tak tahu harus memilih arah yang mana. Kupasrahkan jalanku pagi ini karena takut sendiri di sini, di taman ini tanpa seorang pun yang kutahu. Untung saja pagi yang menyapaku adalah pagi di mana semua orang rasakan bebas dari segala aktivitasnya dan menghabiskan waktunya bersama keluarga.

Ketika kakiku telah akan meninggalkan taman ini, sepasang muda-mudi pun mencuri pandanganku. Mereka adalah orang yang kulihat ketika hari pertama aku kembali ke sekolah. Hatiku sentak terluka, baru saja tadi malam aku harus mendengat kata-kata dari mulut ibu dan pagi yang masih membawa sinar semangat jauh hilang dari segenap ragaku.

TakdirWhere stories live. Discover now