"Hati seorang perempuan dengan mudah akan terluka ketika seseorang menciptakan hal yang tak diinginkannya. Sikap wanita tak berlebihan hanya ketika ia merasa memaafkan tak harus menjalin komunikasi lagi"
Aku pun berusaha abai dengan semua yang terjadi. Pertemuan dengan Kak Syah harusnya penuh canda tawa bukan kecanggungan seperti ini.
Ekspresiku tak rautkan wajah bahagia. Begitu tersudutkannya aku ketika kumengajaknya untuk segera menaiki pesawat. Ia mengacuhkan segala kata-kataku. Tak tahu harus berbuat apalagi. Aku memang mencintainya tetapi sifatnya jauh berubah. Tanpa befikir, kuteguhkan hatiku untuk memaafkan segalanya tanpa harus menjalin komunikasi dengannya. Kurasa hal ini wajah, hati perempuan selembut sutra. Jika telah terluka akan seperti debu tiada arti.
Kutekadkan pada diriku agar sebuah gerak nurani ini tetap lancar terlaksana tanpa bongkahan pedih cinta antara aku dan Kak Syah.
Beberapa jam berlalu, tibalah aku di negeri orang. Jauh dari sebuah keluarga darahku untuk menolong saudaraku. Tak tega rasanya, melihat begitu derasnya peperangan yang terjadi hingga anak-anak kecil terlantar tanpa buaian orang tuanya. Ia meringis, ia sakit, ia terjebak dengan permainan busuk penjajah tak berunurani itu.
Penjajah yang tak punya hati kecil, ia mementingkan egonya karena kekuasaan, mereka oleng dengan ketaatannya kepada yang kuasa. Tak pikir di otakku, begitu bejatnya mereka, memisahkan anak-anak kecil dari benih kasih orang tuanya.
Pertanyaanku pada mereka, apakah mereka tak terlahir dari rahim seorang ibu? Apakah mereka tak punya keluarga? Apakah mereka tak punya buah hati? Apakah mereka telah terkuras hati nuraninya? Tanya-tanya itu hanya abai di telinga mereka. Gendang telinga mereka tak terketuk karena nikmatnya hawa buaian kekuasaan.
Wajahku menjelma lautan air mata. Anak-anak kecil begitu kuatnya melawan cobaan Tuhan ini tak seperti denganku yang mendapat secuik cobaan kecil sudah ingin pergi dari nyata sakit karena menghadapinya. Situasi-situasi berdarah ini memberikanku banyak belajar tentang sebuah hidup.
Kudengar getaran tangis seorang bidadari, hatiku sentak meringis melihat ibu itu. Segera kupergi menghampirinya, aku tak ingin melihatnya jauh lebih sakit karena jauh dibenakku terbayang penderitaan ibu yang membawanya pergi meninggalkanku dengan ayah.
Suasana ini betul-betul menyadarkanku dari sebuah kemanjaan yang berakar di tubuhku selama kumulai membuka lembar hidupku di dunia.
Tak terasa, seminggu telah berlalu. Keberadaanku di tanah perang ini telah berakhir. Aku pun beranjak dari ranjang hotel yang kutempati untuk segera membereskan pakaian-pakainan kotorku. Sebentar lagi, helikopter Indonesia akan mendarat untuk menjemput kami semua untuk kembali ke tanah air tercinta. Walaupun perang belum usai, kami kembali tanpa berhenti berdoa untuk mereka.
Beberapa jam berlalu, di atas tekanan udara yang mempersetimbangkan helikopter yang kutumpangi, telah kulihat sosok istimewa di hidupku, mereka adalah ayah dan bibi yang akan menjadi ibu baruku beberapa hari lagi.
Ban helikopter telah berdesakan dengan tanah, itu artinya semua penumpang akan turun dari helikopter ini. Aku langsung berlari ke arah ayah dan berlabu dalam peluk hangatnya.
"Ayah sangat rindu padamu, Nak", kata ayah dengan begitu erat memelukku.
"Iya, bibi juga kangen denganmu, Non", ucap bibi dengan sunggingan kecil di pipinya.
"Ehem.. ehem. Bibi nggak boleh lagi panggil aku Non dan harus memanggil aku dengan namaku. Mulai sekarang, aku akan memanggil bibi dengan panggilan mama", ucapku centil menggoda bibi.