Aku menghela napasku pelan, beberapa hari ini aku sedikit banyak pikiran. Lebih tepatnya setelah kejadian aku memergoki Farel selingkuh, aku tidak berani bercerita dengan keluargaku. Bisa-bisa nyawa Farel tewas dibuat Varol dan Ayah. Apalagi kalau sampai Om Titan turun tangan, bisa-bisa mati kena tembak si Farel itu.
Jadi, hari minggu kemarin aku hanya bisa pasrah saja diledekin oleh Om Putra soal pacar keseratusku. Bahkan aku balik menggoda Om Putra bahwa aku akan melangkahinya menikah duluan, padahal hati ini cukup teriris saat mengatakannya. Mau melangkahi bagaimana? Calon saja tidak ada, yang ada masih patah hati.
"Makan siang dimana Vir?" Inggrit berdiri di depan pintu ruangannya. Tangannya masih terkait di handle pintu.
Aku mengerjap beberapa kali dan kemudian tersadar bahwa Inggrit menunggu jawabanku. "Di cafetaria mungkin Bu," sahutku.
"Ikut saya makan di luar yuk. Saya ada dua voucher makan gratis," ajak Inggrit yang kemudian memperlihatkanku dua lembar voucher berwarna hijau muda. "Sayang kalau saya pergi sendiri, mubazir nanti," lanjut Inggrit.
"Boleh deh Bu," setujuku akhirnya.
Lagi pula, aku sedang malas makan di cafetaria kantor yang pasti ramai. Belum lagi aku harus bertemu dengan Afra yang belakangan ini suka dengan sengaja duduk semeja denganku. Inginnya sih aku mengusir Afra, tapi males buat keributan. Akhirnya aku akan mengalah dan mencari meja kosong lain.
Aku dan Inggrit berjalan berdampingan, aku sadar kehadiran kami berdua seperti ini akan sangat mencolok mata. Jujur saja, untuk selera busana aku dan Inggrit cukup mirip. Warna yang dipilih merupakan warna-warna gelap yang justru mengeluarkan aura yang berbeda untuk kami.
Benar saja, saat kami berdiri menunggu pintu lift terbuka, beberapa karyawan melirik ke arah kami sembari berbisik-bisik pelan. Senyum tipisku terbit begitu saja, mencoba cuek dan memperhatikan sosok Inggrit dari pantulan pintu lift. Dia juga tersenyum tipis, seolah-olah memintaku untuk tidak ambil pusing dengan omongan yang ada.
"Satu mobil saja Bu. Pakai mobil saya bagaimana?" tawarku pada Inggrit saat kami melintasi lobi.
Bukannya aku terlalu kegeeran, tapi memang mata beberapa pria terlihat kagum dan memuja ke arahku dan Inggrit. Biasanya aku akan mendapat tatapan seperti ini sesekali saja, tidak kali ini, seolah-olah ada pancaran aura yang berbeda diberikan oleh Inggrit.
"Kalau kamu nggak keberatan," sahut Inggrit.
Aku dan Inggrit berjalan menuju mobil BMW milik Om Putra yang sedang aku pakai, kebetulan tadi pagi aku mendapat parkir di dekat lobi. "Mobil baru?" tanya Inggrit dengan nada santai.
Aku tertawa pelan saat masuk ke dalam mobil, aku duduk di balik kemudi. "Mobil Om saya bu. Dia bilang mau meluluhkan hati mertua, jadi pinjam mobil saya dulu," jelasku saat Bu Inggrit duduk di sebelahku.
"Kalau dilihat dari mobilnya, ini pasti Om kamu Putra Mahesa ya?" tebak Inggrit. Sebagai jawaban aku hanya tertawa pelan dan mulai menghidupkan mesin mobil. "Tempatnya nggak jauh kok, di pertigaan yang depan sana itu loh Vir," jelas Inggrit.
"Bu Inggrit biasa makan siang di sana? Soalnya saya nggak pernah lihat Ibu makan di cafetaria," tanyaku sembari mengemudi dengan aman.
"Iya. Kebetulan punya teman dan saya cocok saja dengan masakannya," jawab Inggrit santai.
Nada bicara Inggrit sangat jelas terdengar berbeda dari di saat jam kantor. "Saya kira Bu Inggrit nggak bisa ramah begini," kelakarku sedikit bercanda.
Yang tidak disangka-sangka, Inggrit justru tertawa pelan. "Sepertinya kita cukup cocok untuk berteman Vir," timpal Inggrit yang aku setujui dengan acungan jempol.
∞∞∞
Setelah mengantar Inggrit kembali ke kantor, aku langsung izin untuk pergi bertemu dengan Laksa. Tentunya tadi saat makan siang aku sudah menceritakan mengenai proses kerja sama dengan Mahesa Group. Inggrit sendiri memintaku untuk menanganinya sebisaku, jika aku benar-benar sudah mentok aku bisa meminta bantuannya.
Dua hari yang lalu aku memang bertemu dengan Laksa secara tidak sengaja. Di sana aku mengatakan bahwa aku kembali membutuhkan bantuannya. Meskipun aku harus menambah dosa karena mengatai Laksa di dalam hatiku. Jika saja bukan demi kerja sama penting ini, aku tidak akan sudi kembali berhubungan dengan Laksa begini.
Padahal, aku sudah mencoba berbagai macam cara untuk meluluhkan hati Om Putra. Aku memberikan banyak nomor model-model cantik kenalanku. Bahkan aku sempat mengatur kencan buta antara Om Putra dan salah satu model baru yang cukup cantik.
"Mas Adam," sapaku pada manager Laksa.
Kami janjian bertemu di salah satu restoran yang letaknya tidak begitu jauh dari kantor management Laksa. Aku kira, kami akan bertemu bertiga dengan Laksa, sayangnya aku hanya menemukan Mas Adam seorang yang menungguku.
"Vira Saladin ya?" Mas Adam bertanya memastikan, sepertinya dia lupa denganku.
Aku mengangguk mengiyakan dan duduk di kursi tanpa disuruh oleh Mas Adam. "Ini kita hanya bahas kontraknya berdua saja Mas?" tanyaku sedikit tidak yakin.
Mas Adam menggaruk leher belakangnya. "Laksa nanti nyusul kok. Dia sedang ada sedikit urusan pribadi," jelas Mas Adam.
Aku bergumam paham. "Kira-kira Laksa mau terima tawaran kerja sama ini nggak Mas?" tanyaku sedikit penasaran, takut juga jika Laksa menolak. Maka, tamatlah riwayatku di perusahaan Ayah.
Mas Adam tersenyum tipis, sangat mistrius dan membuatku tambah panas dingin. "Saya sendiri juga tidak tahu Vir. Tapi, kalau Laksa menghubungi saya untuk bertanya ulang mengenai kontrak ini seharusnya kamu masih punya harapan," jelas Mas Adam membuatku sedikit berharap.
Aku dan Mas Adam saling diam, mataku sibuk memandang ke penjuru restoran yang tidak begitu ramai karena sudah lewat jam makan siang. Tidak beberapa lama, pelayan datang mengantarkan pesananku dan sepertinya pesanan Laksa yang dipilihkan oleh Mas Adam.
"Kalian sudah kenal berapa lama?" suara berat Mas Adam bertanya.
Dari raut wajah Mas Adam, aku tahu dia penasaran dengan hubungan apa yang aku miliki dengan Laksa. Sejujurnya, ini wajar, mungkin Mas Adam sebagai manager takut jika aku pacar rahasia Laksa.
"Tenang saja Mas. Saya bukan pacar rahasianya Laksa kok," sahutku dengan nada bercanda membuat Mas Adam tergelak pelan. "Saya teman taekwondo Laksa sejak SMA," lanjutku lagi.
"Pantas saya tidak pernah tahu soal kamu. Rupanya teman semasa remaja," komentar Mas Adam.
"Kami satu kampus juga Mas." Tiba-tiba sebuah suara serak menyela.
Aku melihat sosok Laksa yang memakai hoodie hijau stabilo duduk di sebelahku. Refleks aku menggeser pelan kursiku, menimbulkan bunyi yang cukup berisik. Membuat Mas Adam menatapku, mungkin dia aneh ada orang yang sepertiku. Tidak mau berdekatan dengan seorang Laksa yang merupakan bintang papan atas Indonesia.
"Lo nggak pernah cerita apa-apa sama gue soal Vira," protes Mas Adam.
Aku melirik Laksa sekilas. "Nggak penting juga sih Mas tahu soal saya, memangnya saya ini artis?" kataku berusaha mencairkan suasana sebelum memulai pembicaraan ke intinya.
Berkali-kali aku berdoa di dalam hati agar semua berjalan sesuai kemauanku. Jika tidak sekarang, aku pasti bisa mati muda jika harus bertemu Laksa terus. Tidak terbayang jika aku harus bertemu dan memohon pada Laksa satu kali lagi di masa mendatang.
KAMU SEDANG MEMBACA
End Up With Him (Selesai)
ChickLitVira dan Laksa sudah saling mengenal sejak lama, keduanya harus menikah karena sebuah insiden. Pekerjaan Laksa yang seorang artis membuat keduanya harus menyembunyikan pernikahan mereka. *** Vira Saladin sangat membenci Laksamana Hadi Aji yang merup...
Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi