Wattpad Original
Ini bab cerita gratis terakhir

Tujuh - Vira Saladin

118K 8.1K 424
                                    

Aku terbangun dengan kepala yang terasa sangat berat, aku membuka mataku pelan dan mendapati langit kamarku sedikit berputar. Mulutku terasa sangat kering, mataku masih mengerjap beberapa kali menyesuaikan pandangan.

Saat itu aku merasa seseorang sedang memelukku. Aku menoleh ke belakang dan melihat wajah Laksa tertidur dengan pulas. Seketika itu aku terbangun dan berteriak.

"Apa yang lo lakuin Laksa!" Pekikku histris.

Air mataku jatuh bertubi-tubi saat mengingat sepotong kejadian semalam. Bagaimana aku diseret oleh Joana, temanku yang merupakan seorang model ke pesta ulang tahun artis yang bernama Jibran. Di sana aku bertemu dengan Farel yang membuatku naik darah dan ingin menghajarnya.

Aku ingat Farel memaksaku untuk berbicara, dia menyerahkan kepadaku segelas minuman yang aku terima. Joana mengomporiku untuk minum dengan gaya one shot. Saat itu beberapa orang di sana berseru senang membuatku tak enak hati untuk menolak.

Saat aku selesai meneguk minuman dari Farel itu, sebuah tangan mencekalku. Laksa menarikku dengan paksa keluar dari club malam. Hingga beberapa menit kemudian aku merasakan reaksi yang tidak biasa pada tubuhku. Setelahnya aku tidak ingat, ingatanku berhenti di depan pintu apartemenku saat Laksa mengantarku pulang.

"Tenang Vir. Gue janji gue bakal tanggung jawab," sahut Laksa santai membuyarkan lamunanku. Kepalaku terasa berputar-putar dan siap meledak.

Aku memandang Laksa dengan perasaan kalut luar biasa, tanganku dengan spontan bergerak menampar pipi Laksa. Enak sekali dia bilang akan tanggung jawab dengan wajah yang santai itu.

"Brengsek! Bajingan! Anjing lo!" teriakku dengan suara tinggi dan terdengar serak.

Sedangkan Laksa, dia hanya diam dan menyeka ujung bibirnya. Sedikit sobek dan berdarah, menandakan tamparanku sangat kuat.

"Kenapa lo marah sekarang. Semalam aja lo yang merem melek keenakan," cibir Laksa yang bangun dari ranjang.

Aku merasa sangat jijik pada diriku sendiri, badanku bergetar dan aku menangis karena terlalu takut. Tidak pernah aku membayangkan kejadian seperti ini. Apa Laksa bilang? Dia akan tanggung jawab? Aku tidak sudi menghabiskan seluruh hidupku bersama dengan Laksa.

"Pergi lo!" pekikku mengusir Laksa yang kini sudah berpakaian lengkap.

Bukannya pergi, Laksa justru duduk di ujung ranjang. Aku dengan ganas memukul Laksa dengan bantal. Entah kenapa semua teknik taekwondo yang aku pelajari langsung lenyap, aku tidak bisa mempraktekkannya pada Laksa.

"Vir tenangin diri lo dulu," ujar Laksa yang kini menahan bantalku.

Aku menatap Laksa dengan air mata yang mengucur deras, aku terisak hebat. Penampilanku yang polos dan hanya berbalut selimut menandakan bahwa aku sudah melakukan sesuatu yang tidak pantas bersama Laksa. Hatiku mencelos, sebebas-bebasnya diriku, aku tidak pernah ingin berakhir seperti ini.

"Lo tenangin diri lo dulu Vir. Gue ada syuting, Mas Adam sudah telepon gue dari tadi. Gue janji bakal langsung ke sini setelah syuting. Kita akan bicarakan semuanya dengan kepala dingin," jelas Laksa memegang tanganku.

Mata kami bertatapan dan entah kenapa aku merasa sedikit tenang. Seolah-olah Laksa menghipnotisku dan meyakinkanku bahwa dia akan benar-benar membantuku menyelesaikan masalah ini.

∞∞∞

Sepeninggal Laksa, aku langsung mencari kaos panjang selutut yang selalu aku kenakan saat di apartemen. Aku mencuci wajahku dan kembali menangis saat menatap kaca, berkali-kali aku meyakinkan diriku bahwa aku pasti akan baik-baik saja.

Tiba-tiba aku mendengar suara ribut-ribut dari luar kamar, saat aku keluar betapa kagetnya aku melihat Om Putra berdiri bersama Laksa. Om Putra mendorong Laksa dengan kasar dan berteriak, "Apa yang kalian lakukan?!" nada suara Om Putra sangat tinggi.

Sekali lagi, aku rapuh dan jatuh terduduk begitu saja. Menangis tersedu-sedu karena terlalu tidak berdaya. Tidak tahu harus berbuat apalagi. Seolah paham dengan kejadian yang menimpaku, Om Putra menarik kerah baju Laksa. Dia memberikan tinju yang sangat kuat di wajah Laksa.

Sontak saja aku terpekik kaget melihat ujung bibir Laksa sobek dan tersungkur di lantai apartemen. "Om jangan," pintaku dengan suara pelan.

Biar bagaimana pun, ini bukan hanya kesalahan Laksa seorang. Aku turut salah dalam kejadian ini. Tidak adil jika hanya Laksa yang dipukuli, apalagi Om Putra terlihat tidak bisa mengatur emosinya. Laksa bisa mati di tangan Om Putra dan ini akan bertambah rumit nantinya.

Akhirnya Om Putra mulai tenang, dia memintaku dan Laksa duduk di sofa, berhadapan dengan Om Putra yang menatap kami tajam. "Om akan telepon orang tua kamu Vira," ujar Om Putra yang mengeluarkan ponselnya dari saku celana.

Aku hanya bisa pasrah memperhatikan gerak-gerik Om Putra yang menelepon Ayah dan Varol bergantian. Perasaanku menjadi tidak enak, aku melirik Laksa yang duduk dengan gelisah di sampingku. Berkali-kali Laksa mematikan me-reject panggilan di ponselnya.

Sekitar tiga puluh menit Om Putra menatapku dan Laksa dengan tajam. Dia bahkan berkali-kali menendang kaki coffee table karena sangat kesal. "Kalian benar-benar sudah melampaui batas. Insting saya benar bahwa kalian bukan hanya sekedar teman saja," kata Om Putra datar.

Aku menggeleng pelan. "Ini nggak seperti yang Om pikirkan. Vira dan Laksa murni hanya rekan bisnis," jelasku hampir putus asa.

"Rekan bisnis? Tapi tidur berdua?" sindir Om Putra.

Aku ingin menjelaskan semuanya saat pintu apartemenku terbuka. Muncul sosok Varol diikuti Ayah dan Maya. Aku sudah sangat pusing dan tidak bisa berpikir lagi, hanya bisa menangis dan memekik saat Laksa kembali mendapat tinju dari Om Putra, Ayah dan Varol.

Maya bahkan sampai harus berteriak dan mengancam akan melapor pada polisi jika mereka tidak berhenti. Aku mendekat pada Laksa yang terduduk tidak berdaya, dia pasrah menerima semua pukulan ketiga pria kalap ini. Aku dan Maya membantu Laksa berdiri, membantunya duduk di atas sofa.

"Hubungi orang tuamu sekarang," perintah Ayah dengan nada suaranya yang sangat dingin.

Laksa mengangguk mengerti, dia mengeluarkan ponselnya dan mulai menghubungi kedua orang tuanya. Laksa meringis saat dia harus berbicara di telepon, meminta kedua orang tuanya untuk segera kembali ke Jakarta. Dia hanya berkata ada hal urgent yang ingin Laksa sampaikan.

Setelah kepergian Om Putra, menyusul Bunda yang datang. "Anak kurang ajar!" teriak Bunda yang langsung menamparku. "Siapa yang mengajarkanmu untuk pergi mabuk-mabukan?! Bunda tidak pernah mendidik kamu untuk jadi seperti ini!" Air mata Bunda bercucuran deras.

Aku sepontan berlutut di bawah kaki Bunda, memohon ampun di kaki beliau. Menangis terisak sembari mengucapkan kata maaf berkali-kali. Bahkan aku memeluk kaki Bunda saat kini Bunda menampar Laksa.

"Kenapa Anda rusak anakku?! Tidak puas dengan apa yang sudah Anda lakukan padanya dulu?!" pekik Bunda pada Laksa yang kini ikut berlutut di sebelahku.

"Maafkan saya," gumam Laksa pelan dan sangat jelas.

"Maafkan saya," gumam Laksa pelan dan sangat jelas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
icon lock

Tunjukkan dukunganmu kepada Azizahazeha, dan lanjutkan membaca cerita ini

oleh Azizahazeha
@azizahazeha
Vira dan Laksa sudah saling mengenal sejak lama, keduanya harus menik...
Beli bab baru cerita atau seluruh cerita. Yang mana pun itu, Koinmu untuk cerita yang kamu sukai dapat mendukung penulis secara finansial.

Cerita ini memiliki 37 bab yang tersisa

Lihat bagaimana Koin mendukung penulis favoritmu seperti @azizahazeha.
End Up With Him (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang