HeeB : Semua Wanita Sama Saja?

31.6K 1.5K 10
                                    

Hari ini sekolah terasa begitu singkat. Aku rasa baru beberapa lalu bel masuk berbunyi. Sekarang bel pulang sudah berdering membuat ku mau tidak mau harus bersiap untuk beranjak dari bangunan tersebut.

Sepanjang menelusuri lorong bersama Jake aku tidak memasang telinga dengan benar. Aku tenggelam dengan kesibukan memikirkan pilihan mana yang harus dipilih.

Ibu atau Ayah?

Teman atau Kazuha?

Hingga tak sadar Jake sudah tidak ada disampingku. Ia izin kepada ku untuk pergi beberapa saat lalu, namun aku tidak mendengar kemana dirinya akan pergi.

Ponselku bergetar dan tertera ada nama Ibuku di sana. Segera kuangkat dan mengatakan sapaan pada beliau.

"Sudah pulang sekolah?"

"Hu'um."

"Makan malam lah dengan Ibu."

"Tidak bisa, Ayah akan memarahiku," tolak ku dengan alasan yang pasti Ibuku pahami. Namun, ia malah memaksaku.

"Supirmu akan mengantar ke tempat yang sudah Ibu tentukan. Masalah Ayahmu, dia masih sibuk dengan kasus pembunuhan berumus itu."

Aku jadi teringat jika supirku diberikan amanah untuk menjaga dan melaporkan segalanya tentangku kepada Ibu. Sepertinya informasi tentang Ayahku yang sibuk juga sudah dikonfirmasi langsung oleh supir itu.

"Baiklah," jawabku mengakhiri percakapan.

Hanya makan malam biasa yang aku bayangkan. Beberapa percakapan ringan juga akan timbul. Ibuku hanya ingin terus menyakinkan diriku untuk memilihnya dipersidangan besok.

Namun, sesampainya di restoran bergaya Victoria. Aku tercekat sejenak melihat meja dimana Ibuku berada bersama pasangan barunya dan seorang remaja pria yang sepertinya adalah

"Ini anak dari pacar Ibu, akan menjadi saudaramu sebentar lagi," ucap Ibuku mengelus pundak remaja tersebut yang lebih tua dariku. Sekitar kuliah semester dua atau tiga.

"Ibu tidak bilang jika akan ada mereka berdua," protes ku. Tentu saja aku tidak bisa makan dengan tenang jika ada dua orang asing yang berpotensi menganggu kenyamanan ku.

"Ah, maaf," Ibu merangkulku lembut dan menarik ku untuk segera duduk. "Apakah kamu terkejut? Ini adalah kejutan."

"Kejutan mu berhasil," benar mengejutkan, namun ini adalah kejutan yang aku terima dengan tidak senang.

Selama makan malam Ibuku bercerita tentang anak dari pacarnya yang adalah mahasiswa kedokteran. Beberapa kali juga ia menyuruhku untuk menjadikannya panutan. Membuat makanan yang sudah tertelan ingin aku keluarkan lagi.

Pria yang sebagai pacar Ibu tidak banyak bicara, ia hanya menatapku dengan tatapan fifty-fifty. Setengah senang, setengah kesal.

Menghabiskan dua jam makan malam dengan berbincang mengenai mereka saja. Aku tidak berniat berbagi cerita kepada orang asing.

Sebelum diriku sepenuhnya memasuki mobil, Ibu memelukku. Meminta ku untuk memikirkan baik-baik keputusan hak asuhnya. Tidak lupa menyelipkan jika Ibuku akan mendukung apapun keputusan ku, termasuk mendukung les musik dan les melukis.

Aku tahu jika itu hanya janji manis yang Ibu ucapkan. Namun, secuil harapan berhasil mengganjal logika ku.

Diriku terkejut ketika melihat Ayah ku yang sudah menunggu di ruang tamu. Bukankah kata Ibu dia sibuk dengan kasus? Kenapa sekarang ia melihatku dengan marah.

"Darimana?"

Ia bertanya meski tahu jawabannya. Aku paham ia hanya ingin tahu sejauh mana diriku bisa berbohong. "Dinner sama Ibu."

Kekesalan makin bertambah saat aku berkata jujur seperti tidak takut dengan akibatnya. Ayah ku meraup wajahnya dan mengambil sembarang barang untuk dia banting.

"Kau tahu?! Ibu mu selingkuh!"

Aku tahu itu. "Tapi, bukankah Ayah harus mengintropeksi diri? Pikirkanlah! Apa yang pasangan Ibu punya sekarang tidak ada pada Ayah!"

Beliau kembali membanting barang setelah mendengar diriku melawan tanpa takut.

"Memang apa yang diriku tidak punya?" Ayah bertanya sambil menahan untuk tidak membunuhku.

"Kemanusiaan," tegas ku sebelum beranjak menaiki tangga.

"Ingat ini, Heeseung!" Langkah ku terhenti. "Selingkuh itu adalah penyakit. Sekali selingkuh ia akan terus selingkuh di masa depan. Kau pikir selingkuh itu hanya antar pasangan? Kau bahkan bisa diselingkuhi ibumu sendiri. Bukankah pacar ibumu punya seorang anak?"

Mendengar tersebut membuat seluruh urat ku kaku. Sebuah tamparan yang berhasil mengacak-acak lagi logika ku. Kini keadaan otak ku benar-benar tidak bisa terkontrol.

Aku sulit memutuskan mana yang seharusnya aku pilih. Jika aku memilih Ayah maka sama saja aku membakar semua impian ku tentang musik dan seni. Namun, jika memilih Ibu. Aku takut beliau lebih memperhatikan anak sang pacar daripada diriku.

Sepanjang malam aku hanya duduk di meja belajar sambil mengigit jari. Menggetarkan kaki tanda jika kegelisahan melanda.

Aku tidak bisa belajar bahkan tidur saat ini. Otak ku kacau. Pikiran ku kemana-mana tanpa arah. Jantung ku... Berdetak sangat cepat. Tanpa sadar aku menangis.

Perasaan malam itu sangat acak. Aku gelisah tetapi menangis.

tbc...

Heebreath ๑ HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang