HeeB : Daddy Issues (WARN⚠️)

27.6K 1.2K 8
                                    

Aku mulai lelah karena telah menusuri jalan sepanjang malam ini. Diri ku masih takut untuk pulang ke rumah. Jam pada ponsel menunjukan angka 10.12.

Semalam ini, namun tak ada tanda-tanda jika Ibuku mencari. Log panggilan ku masih kosong. Dada ku tiba-tiba sakit.

Ini kah yang aku ingin kan? Sebuah kebebasan? Namun, kenapa aku malah merasa sakit hati karena tidak mendapat perhatian?

Langkah ku terhenti saat melihat sebuah badan dengan seragam abu-abu berdiri tepat di depan ku. Aku malas berurusan dengan orang, jadi aku segera menyingkir tanpa menegur orang tersebut yang menghalangi jalan.

"Heeseung!"

Suara itu... Bukan Jake. Melainkan...

"Ayah?" Kepala ku yabg tadinya terus menunduk sekarang tegak menatap orang yang tadi menghalangi jalanku.

Sebuah kebetulan yang tampak seperti takdir. Kini aku berada di dalam mobil. Aku duduk di kursi depan, bersama Ayahku yang menyetir. Kami berada dalam lautan kebisuan dengan waktu yang cukup lama. Hingga akhirnya aku membuka mulut, karena paham jika Ayahku tak akan terlebih dahulu memulai percakapan.

"Ayah berbuat apa hingga pacar Ibu dipecat?"

"Itukah pertanyaan pertama saat bertemu dengan Ayahmu setelah beberapa lama? Kesopan mu sepenuhnya hilang ya," dia tetap Ayah ku dengan sikap yang masih sama.

"Apa definisi sopan bagi Ayah? Apakah memerintah orang lain untuk memecat seenaknya adalah kesopanan?"

Mobil tiba-tiba dihentikan. Meskipun sudah malam, tetapi ini adalah kota besar. Saat Ayah ku berhenti secara mendadak masih ada saja yang membunyikan klakson untuk dia.

Dia menatap diriku usai berhasil menepi. "Bagaimana kabar mu?"

Aku terkejut ketika Ayah ku menanyakan hal tersebut. Hingga lupa cara menjawab pertanyaan seperti itu.

"Apakah kau menemukan jika Ibu mu selingkuh juga dari dirimu?"

Tetap orang yang sama. Ia tidak sepenuhnya menanyakan kabar ku. Pandangan ku berpaling ke depan, tidak mau menjawab apa yang Ayah ku tanyakan.

"Selingkuh bukan sebuah solusi untuk setiap masalah. Ibumu memilih kabur dan mencari lelaki yang dapat menaruh perhatian lebih untuk nya. Namun, Ibumu lupa jika finansial adalah yang terpenting untuk sebuah rumah tangga."

Sebagian dari perkataannya mengganjal hatiku. Aku merasa jika dia berkata sebuah kebenaran. "Ayah juga lupa jika perhatian juga penting."

"Tidak cukup jelas? Perhatian Ayah ada pada uang dan kesetiaan. Ayah bukan tipe yang menghamburkan uang untuk wanita, jika Ayah mau. Ayah bisa mendapatkan banyak wanita murah di club malam. Namun, Ayah tidak melakukannya. Lalu... Kenapa Ibu mu yang tidak punya apa-apa malah bertingkah? Apakah dia hanya tidak sanggup mengurus dirimu seorang?"

Telinga ku dengan jelas mendengar semua perkataan tertua. Ocehan dari Ayah membuat ku ikut berfikir. Masalah utama di sini adalah diriku?

Ayah kembali melajukan mobilnya usai tak mendapat respon dariku. Aku pun tidak tahu harus bagaimana menanggapi masalah ini. Satu yang aku tangkap adalah diriku biang kerok nya.

Jika dari awal aku bisa mencapai nilai sempurna. Ibuku tidak akan dituntut untuk lebih berusaha merawat otakku dan mengawasi pergerakan ku saat Ayah sedang bekerja.

Jika diriku tidak membolos saat bimbingan. Ibuku tidak pernah mendapat pandangan 'tak becus' dari Ayah ku.

Sesampainya di rumah usai Ayah ku yang mengantar. Suasana kediaman tersebut sudah sepi. Saat aku masuk ruang makan sudah begitu kacau. Dada ku mulai sesak melihat ini sebagai sebuah dejavu.

Aku memasuki kamar dan beberapa buku ku berserakan. Nafas ku hampir tidak bisa dihembuskan saat melihat lukisan ku yang terakhir kali aku letakan di holder nya menghilang.

Segera ku rogoh saku untuk mencari ponsel. Menekan kontak Ibuku untuk aku hubungi. Dua kali panggil masih tak ada jawaban. Hingga ketiga kalinya dia mengangkat.

"Ibu?"

"Oh, ya Heeseung?"

"Di mana lukisan ku?" Aku langsung pada intinya.

"Maaf... Ayah mu membawanya pergi."

"Ayah yang mana?"

"Ayah yang baru."

Aku memutuskan sambungan saat melihat Ayah tiri ku memasuki rumah. Ia sempoyongan dan matanya hampir tidak bisa terjaga. Bau alkohol menyengat jelas dari tubuhnya.

"Di mana lukisan ku?" Tubuh ku mencegah jalannya. Ia mendorong ku dari hadapannya. Namun, aku kembali menghadangnya. "KAU BAWA KEMANA LUKISAN KU?!"

Mata nya yang sayu menatap ku kosong. "Apa mau mu?"

"Lukisan ku!"

Dia berjalan kearah kulkas dan meminum sebotol kecil air dingin. "Aku menjualnya."

"Bagaimana bisa?!" Teriak ku kesal. Tak peduli jika tetangga akan mendengar atau bahkan menelfon polisi.

Suara pecah an gelas terdengar keras. Aku gemetar karena Ayah tiri ku melempar sebuah barang berbahan kaca tersebut ke arah ku. Namun, meleset dan akhirnya pecah terkena tembok. Serpihannya ada yang mengenai pipi ku dan menyebabkan segaris luka berwarna merah.

"Coba bentak lagi!" Dia menantang sambil meraih sebuah piring dan berjalan mendekat. "Ayo! Kau bahkan bukan siapa-siapa di sini! Aku menjual lukisan mu karena biaya les mu menghabiskan seluruh uang ku! Apa? Ingin menyalah kan diriku? Kau seharusnya menyalahkan dirimu sendiri!"

Aku mendorong dirinya menjauh. Dada ku semakin sesak jika terus bertahan. Diriku berlari memasuki kamar. Tepat saat pintu tertutup. Suara benda pecah menghantam pintu kamar terdengar. Sepertinya Ayah tiri ku baru saja melemparkan piring.

Tubuh ku merosot ke bawah. Jemari meremas rambut dengan kencang untuk melampiaskan kekesalan ku. Aku kembali terisak. Ternyata menangis dalam kediaman sesesak ini.

Remasan pada surai semakin menguat karena diriku bertambah kesal. Aku menahan semua amarah ini. Hingga akhirnya aku mengambil satu strip obat penurun panas yang sejak dulu selalu ada di laci ku.

Seluruh tablet nya aku buka dari wadahnya. Sekitar ada delapan tablet. Tanpa air aku menelan semuanya. Sambil terus mengeluarkan air mata, aku tumbang lagi ke tepi ranjang. Masih berusaha untuk menelan delapan tablet obat yang susah ditelan tanpa air.

Mulut ku sudah penuh dengan rasa pahit. Aku berhasil menelan satu tablet. Namun, diriku memuntahkan tujuh tablet lainnya.

Terus terisak tanpa suara karena aku juga takut akan kematian. Meski dada begitu sesak seakan ingin melepaskan semuanya dengan mengakhiri diri. Aku masih tidak sanggup melakukannya.

Hingga keputusan akhir aku hanya menggores lengan ku lagi dengan cutter. Ini sedikit meredakan rasa sesakku. Juga membuat ku lebih cepat untuk tidur. Dalam situasi seperti ini, tidur adalah solusi untuk melupakan sejenak segala rasa sakit.

tbc...

Heebreath ๑ HeeseungTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang