"Kau baik-baik saja?" Naruto mengeratkan pelukannya pada pinggang Hinata yang duduk diatas kuda bersamanya.
"Hm." Hinata mengangguk dan menyentuh punggung tangan Naruto di depan tubuhnya.
Naruto menyadari, bahwa tubuh Hinata mulai gemetar karena kedinginan. Namun, ia tidak ingin menunda lagi untuk membawa Hinata ke kuil dan menikahinya. Banyak hal yang harus ia lakukan setelah pernikahan ini, lagipula ia ingin buru-buru mengikat Hinata menjadi istrinya.
Saat Hinata menyentuh tangannya, ia menyadari bahwa tangan itu sudah terasa sedingin es. Meski dirinya juga menggigil karena kedinginan, ia masih bisa menahannya.
"Pakai ini." Naruto melepaskan jubah yang ia pakai dan memakaikannya pada Hinata. Sebenarnya Hinata juga sudah menggunakan jubah namun sepertinya kekasihnya itu tidak tahan dengan cuaca dingin.
Hinata hanya diam, seluruh tubuhnya menggigil bahkan jari-jarinya sudah terasa kaku. Kepingan salju menempel ditubuh dan surainya, sungguh ia merasa sepertinya tubuhnya akan membeku sebentar lagi.
"Naruto-kun, pakai jubahmu. Kau akan kedinginan." Hinata menarik jubah yang Naruto sampirkan dibahunya, namun Naruto menahannya.
"Aku sudah biasa berkuda seperti ini." Naruto menahan tangan Hinata yang akan melepaskan jubah itu dan mengeratkan pelukannya ditubuh Hinata. Meski ia sedikit berbohong, karena kakinya juga sudah mulai mati rasa karena kedinginan.
Hinata menoleh dan menatap Naruto yang sedang memeluknya dari belakang. Pelukan itu membuatnya sedikit lebih baik.
"Maaf, jika aku terburu-buru. Aku hanya ingin segera menikahi mu." Naruto mengecup bibir kekasihnya singkat.
"Tidak apa-apa, aku mengerti." Ucap Hinata lembut.
"Pegang talinya, sebentar lagi kita sampai." Naruto meletakan tali kekang kudanya ke genggaman Hinata, kemudian ia menggenggam punggung tangan putih itu dan menggosoknya pelan, berusaha memberikan sedikit kehangatan untuk kekasihnya.
.
.
Hinata membuka mata dan bernafas berat, ia bangkit duduk dan menoleh ke sekeliling ruangan. Ia mengusap wajahnya, dan menghela napas dalam. Mimpi-mimpi yang menghantuinya itu kembali lagi, sudah seminggu ini ia selalu bermimpi dan berakhir tidak bisa tidur hingga pagi.Sesaat setelah mengusap wajahnya ia melihat tanda lahir ditangannya semakin memudar dan hanya menyisakan titik kecil ditelapak tangannya, itu aneh. Bagaimana bisa tanda lahir seseorang menghilang. Apa mungkin ini bukan tanda lahir.
Hinata bangkit berdiri dari ranjangnya dan memakai cardigan panjangnya. Berjalan keluar kamar dan duduk di meja makan besar panti itu. Saat ini masih pukul dua pagi, dan ia hanya duduk diam di kursi meja makan besar itu.
"Apa ini hanya perasaanku saja?" Hinata berbisik lirih, ia merasa bahwa pria dimimpinya itu sangat mirip dengan Naruto. Suara baritone itu ia sangat mengenalnya, namun apa arti mimpi-mimpi itu?
Apa mungkin Hinata hanya terlalu merindukan pria itu hingga bisa berpikiran begitu, ia mengambil ponsel disaku dan meletakannya diatas meja. Sudah hampir empat bulan, sejak ia pergi dari mansion Naruto malam itu. Dan sejak saat itu mereka tidak pernah bertemu lagi.
Pagi itu adalah terakhir kali Hinata mendengar suaranya di telepon, dan Hinata mulai merasakan sesak di dadanya kala mengingat pria itu beserta semua kenangan singkat yang pernah mereka lalui bersama. Jujur Hinata akui, ia merindukannya.
DRRT DRRT
Hinata membelalakan matanya saat melihat ponselnya bergetar, dan menampakkan nama Naruto dilayar.
.
.
Naruto menenggak sebotol bir di tangannya, ia sudah mabuk berat saat ini. Kepalanya pening, pekerjaan di Kuwait semakin padat tiap harinya. Sejak sampai di Kuwait, Naruto mulai menyibukan diri dan mengalihkan rasa sakit di hatinya dengan bekerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
RomanceSEKUEL REGRET Kesalahannya dimasa lalu harus dibayar dengan penantian panjang. Meski begitu, Naruto menerimanya. Tiap malam Hinata datang kemimpinya, membuat Naruto makin tersiksa, namun disaat yang bersamaan, itu dapat sedikit mengobati rindunya wa...