"Bu, aku akan pergi ke Kuwait." Hinata menghampiri Kurenai yang sedang berdiri didepan westafel dapur sambil mencuci piring.
"Apa?" Kurenai menghentikan kegiatan mencucinya, dan menatap Hinata yang berdiri disampingnya.
"A-aku ada urusan." Hinata rasa Kurenai menjadi cukup sensitif setelah kejadian kemarin pagi dimana Toneri datang dan hampir menyeretnya.
"Urusan apa, katakan pada ibu." Ujar Kurenai, ia menuntut jawaban.
Hinata menarik napas dalam "aku ingin menemui Naruto bu." Hinata menatap mata Kurenai saat mengatakannya.
Kurenai bertolak pinggang, apa-apaan ini. Kenapa Hinata mau menghampiri seorang pria di negara antah berantah yang sangat jauh itu. "Tidak perlu kau jauh-jauh menghampirinya kesana."
Hinata sudah menduga ini akan terjadi, ia tidak mungkin mengatakan yang sesungguhnya. Hal ini sangat rumit, bahkan untuk dirinya sendiri. "Bu, aku harus bertemu dengannya."
"Kau bisa bicara lewat telepon saja dengannya, ini bukan zaman batu Hinata." Kurenai kembali melanjutkan kegiatan mencuci piringnya.
"Tapi ini masalah serius bu." Hinata mencoba meyakinkan Kurenai, tak mungkin ia asal pergi tanpa izin apapun dari Kurenai. Empat bulan ia tinggal disini, dan pergi setelah tinggal selama empat bulan juga bukan hal yang mudah.
"Apa yang serius, kau hamil anaknya?" Kurenai menatap mata Hinata dalam, bukankah itu hal mustahil, Hinata tinggal disini selama empat bulan, dan menghabiskan waktu mengurus panti bersamanya.
Hinata tersentak mendengarnya "Tidak bu, bukan begitu. A-aku....." Hinata tidak bisa melanjutakan kalimatnya. Tapi, demi tuhan dirinya tidak hamil. Ia dan Naruto bahkan tidak saling bertemu selama empat bulan terakhir.
Kurenai menghela napas berat, sebenarnya ia juga tidak tega, saat ditengah malam ia sering kali mendapati Hinata sedang menangis terisak sendirian. Entah apa yang sedang dipikirkannya, ia tidak ingin terlalu jauh bertanya. Biar Hinata menceritakannya, namun Hinata tidak pernah mengatakan apapun sampai saat ini "Hinata, sebenarnya ada apa?"
"Aku melakukan kesalahan bu, aku ingin minta maaf padanya." Hinata menundukan pandangannya, rasa sedih itu kembali berkecamuk di benaknya, bahkan sejak kemarin dirinya belum tidur sama sekali karena terus memikirkan itu.
"Hinata..." Kurenai menggapai tangan Hinata lembut dan menatap wajah cantik itu.
"Aku harus menemuinya bu." Air matanya kembali menetes. Saat Sasuke bilang Naruto sedang kalut, ia tidak bisa berhenti khawatir. Ia takut, Naruto melakukan hal-hal diluar batas. Bahkan Naruto meneleponnya dalam keadaan mabuk berat kemarin.
Kurenai cukup terkejut melihat Hinata meneteskan air matanya. Ia diam sejenak dan berpikir, bahwa ia tidak bisa benar-benar melarang Hinata. Lagipula, dari yang Hinata ceritakan, pemuda itu mungkin adalah orang yang baik.
"Baiklah, setelah urusanmu selesai, kembalilah ke Jepang secepatnya." Ujar Kurenai sambil mengusap air mata Hinata
"Terima kasih bu." Hinata memeluk Kurenai, ia bersyukur bahwa Kurenai bisa mengerti.
"Ibu harap dia pria yang baik dan bertanggung jawab Hinata. Jangan sampai melakukan kesalahan yang sama seperti saat bersama Toneri dulu." Kurenai mengusap punggung Hinata lembut, ia sadar bahwa Hinata memiliki kehidupannya sendiri diluar sana dan ia tak bisa menahan Hinata selamanya disini.
.
.
Naruto kembali berjalan ke tambang. Yang ia dengar dari Kiba, ada beberapa tikus kecil yang mengambil minyak mentah dari tambangnya. Sebenarnya itu tidak bisa dibilang sedikit, karena ia juga sempat melihat empat mobil tangki pengangkut minyak terparkir di dekat tambang. Namun ia pikir itu mobil tangki milik perusahaannya, tapi ternyata itu bukan mobil tangki perusahan. Sial, masih ada saja tikus yang berani bermain-main dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny
RomanceSEKUEL REGRET Kesalahannya dimasa lalu harus dibayar dengan penantian panjang. Meski begitu, Naruto menerimanya. Tiap malam Hinata datang kemimpinya, membuat Naruto makin tersiksa, namun disaat yang bersamaan, itu dapat sedikit mengobati rindunya wa...