ugh

19K 1.5K 98
                                    

Tidak ada yang bisa Jiyeon lakukan selain pasrah dalam kungkungan Jungkook. Takluk akan kenikmatan yang lelaki itu berikan bertubi-tubi menyerang sekujur tubuhnya. Pun kala gelombang itu datang menyerang tepat pada titik lemah si gadis, Jiyeon tak punya pilihan lain selain daripada menerima dan membalas. Seakan ia kehilangan akal sehat. Berontak pun tak kuasa, sebab Jungkook sudah terlampau menguasai seluruh permainan.

Cahaya bulan yang tidak terlalu begitu terang sebagai satu-satunya penerangan kegiatan mereka. Menambah kesan sensual bagi Jungkook. Meningkatkan gairahnya untuk segera dilepaskan. Sudah lebih dari lima belas menit yang lalu Jungkook tidak berhenti mencumbu bibir si gadis. Seakan candu, bahkan bibir itu lebih nikmat dibandingkan alkohol sang teman setia disaat gusar melanda.

Deru nafas mereka memburu, memecah keheningan. Pengisi satu-satunya ruangan.

Melepaskan tautan dengan nafas terengah-engah, Jungkook menatap lekat paras istrinya. Keringat, mata terpejam, wajah merona, dan nafas tersenggal. Lekas maniknya turun, meneliti figur sempurna Jiyeon. Bagaimana bentuk tubuhnya, lekuk itu yang dipersembahkan untuknya.

Jungkook tidak dapat menahan lagi.

Segera tangan kekarnya bergerak melucuti pakaian yang ia kenakan, begitu tergesa-gesa. Jungkook tidak melepaskan titik fokusnya pada Jiyeon di bawah sana sembari kegiatan itu berlangsung. Seakan tidak ada pemandangan menarik selain tubuh telanjang Jiyeon lantaran Jungkook sudah dikuasai oleh nafsu.

Lagi, setelah kegiatannya usai, Jungkook mencumbu habis-habisan. Menyerang dengan brutal dan liar sebab irisnya telah berkabut. Menahan kedua tangan si gadis agar tidak berontak, dan mengajarkan Jiyeon untuk segera menyambutnya—menerimanya dengan sepenuh hati.

Geliat tidak nyaman Jiyeon mengundang perhatian Jungkook. Jungkook menjeda kecupannya pada leher Jiyeon. Mengusap peluh si gadis dan memberi ketenangan.

"Ssh, calm down, everything will be fine," Jungkook menjeda seraya melumat lagi material lembut bibir Jiyeon. Bunyi decapan tidak dapat dihindari. "Aku akan membantumu, oke?"

Nafas Jiyeon mulai berhembus teratur tepat saat Jungkook mengakhiri penuturannya. Seakan diberi kekuatan, Jiyeon mengangguk. Matanya berair, tersiksa begitu hebatnya. Dan ia terisak lagi.

Pun Jungkook membubuhkan kecupan-kecupan kecil pada permukaan wajah Jiyeon sebelum ia benar-benar melakukannya. Sempat ragu, namun Jungkook tidak mungkin berhenti pada pertengahan gejolak nikmat ini. Kendati Jiyeon yang meminta, Jungkook akan tetap melakukannya. Sebab ini benar-benar sudah terlampau nikmat.

Tubuhnya mulai bersiap, tangan Jungkook bergerak untuk melebarkan kaki sang gadis. Kemerahan yang terlihat disana membuat Jungkook mengangkat sudut bibirnya sedikit. Pertanda Jiyeon sudah siap menerimanya. Mata Jungkook beralih lagi menatap wajah Jiyeon yang memejam tak berdaya. Tersenyum lagi, lekas Jungkook bergerak maju. Tidak apatis.

"Ugh!" Wajahnya mendeskripsikan rasa sakit yang tengah ditahan. Jiyeon menggigit bibir bawahnya kuat begitu sesuatu yang besar mencoba menerobos di bawah sana.

"Tenang, tenang, Jiyeon." Nafas Jungkook memberat—tercekat. Ia berungkap lagi, "Jangan tegang, rileks dan sambut aku."

Menggeleng cepat, Jiyeon berungkap tertahan, "Sakit. Argh, jangan! Lepaskan."

Gemeletuk gigi Jungkook pertanda bahwa ia tidak setuju dengan frasa barusan. Maka, satu sentakan kuat ia berikan. Mengundang pekikan si gadis dengan hebat. Pun Jungkook membungkam melalui lumatan lembut di bibir.

Hangat dan mendebarkan.

Sebelah tangan Jungkook terselip pada celah punggung Jiyeon lantaran ingin memberi ketenangan lebih melalui usapan di sana. Refleks tubuh Jiyeon melengkung, merasakan kelembutan usapan Jungkook pada punggung telanjangnya. Pun gairah Jungkook semakin memuncak dikala tubuh mereka menyatu dengan panasnya, bagaimana kulit tanpa busana itu saling bersentuhan satu sama lain.

Ciuman akhir Jungkook berikan bergantian pada kelopak mata Jiyeon yang merekah layaknya bunga sakura.

Mematri senyum tipis, Jungkook berujar penuh kepastian melalui sorot matanya, "Aku akan menunjukkan jalan menuju ke surga untukmu."

Maka, desahan dan erangan lah yang menjadi melodi malam hari kegiatan mereka.

...

Adapun kelopak mata Jiyeon mulai terbuka secara perlahan, cukup menyilaukan manakala sinar mentari pagi mulai naik memasuki celah jendela kamar. Membuat matanya menyipit dan mengerjap sejenak sebelum benar-benar terbuka lebar.

Lantas menarik nafas pelan, meregangkan badan lantaran lelah mendera. Disaat akan duduk, rasa nyeri dan ngilu bersamaan menyerang membuat erangannya mengudara. Jiyeon merebahkan diri lagi, merintih kecil.

"Huh?" Merasa heran dengan keadaannya sendiri, lantas dengan kasar Jiyeon menyingkap selimut yang membaluti tubuhnya. Lekas terbelalak tidak percaya.

Sepasang iris itu bergetar tanpa melepaskan pandangan pada titik fokus awal. Bercak kemerahan hampir memenuhi sekujur epidermis Jiyeon. Pun rasa pegal dan berat menyerang sepasang pundaknya. Tak habis akal, Jiyeon lantas mengurutnya sembari mengingat-ingat lagi reka adegan kenapa ia bisa berakhir seperti sekarang.

Memejam, mencoba mengusir sakit kepala yang datang tiba-tiba. Sesekali mengurutnya dengan kening yang mengerut.

Decit pintu kamar mandi yang terbuka mengalihkan atensi Jiyeon. Matanya lekas terbelalak saat melihat entitas yang hadir, pun ingatan semalam kembali hadir memenuhi sudut relung kepalanya.

Merasa diperhatikan, Jungkook menoleh. Mengangkat sudut alisnya bertanya, "Apa yang kau lihat?"

Lantas Jiyeon tersadar dengan cepat. Mengalihkan pandangan dengan rona kemerahan di pipi saat menyadari bahwa ia cukup lama memerhatikan tubuh naked Jungkook.

No. Not naked. It's just that the ABS is really disturbing.

"Apa yang terjadi?" Cukup lama jeda keheningan sebelumnya terjadi diantara mereka sebelum Jiyeon bersuara rendah. Tanpa melihat, ia bertanya lagi, "Apa yang kau lakukan padaku?"

"Apa lagi? Bukankah kau semalam terangsang. Jadi, aku mencoba membantumu," berujar santai, Jungkook mengusap rambutnya yang basah tanpa bertatap langsung dengan Jiyeon.

Menarik nafas, Jiyeon mengulas senyum pahit. "Kenapa?"

Sontak kegiatan Jungkook terhenti saat mengancingkan kemeja yang ia kenakan. Lantas menoleh dengan raut wajah dingin seperti biasa.

"Kenapa?" Ia mendengus tidak percaya. "Setidaknya kau harus berterima kasih karena aku sudah membantu. Kau benar-benar tersiksa, dan itu sungguh menyusahkan. Aku bahkan menunda pertemuanku dengan Jinah. Tidakkah kau merasa bersalah?"

Teramat menohok. Jiyeon lantas mencoba menahan genangan air matanya yang hampir saja luruh saat mendengar tamparan kalimat Jungkook. Jemarinya meremat seprei dengan kuat sebagai pelampiasan. Pun bibir itu bergetar.

"Cukup lupakan saja kejadian semalam. Anggap tidak ada yang terjadi setelah malam itu," dengan santainya Jungkook berkata. Mengambil ponselnya di atas nakas, ia menghentikan langkah saat Jiyeon bungkam. Mengulas seringai tipis, "Cih!" Tepat setelah ia berdecih hanya untuk merendahkan, Jungkook angkat kaki dari sana.

Meninggalkan Jiyeon seorang diri yang mulai terisak. Takut. Tidak. Jiyeon tidak takut sepenuhnya.

Ada rasa senang dan bangga yang terselip di hatinya, Jiyeon tidak dapat membantah itu. Pun rasa ketakutan lebih besar hadir. Mencoba menutupi rasa senang itu. Kegelapan lebih menguasai.

Senang saat Jiyeon berhasil menjadi yang pertama untuk sang suami sebab cintanya tak pernah pudar. Dan takut. Takut jika Jungkook tidak akan bertanggung jawab setelah apa yang ia lakukan. Takut jika Jiyeon memikul semuanya sendiri. Sebab, pun perasaan Jungkook tetap sama. Hanya untuk Jinah.

Bukan untuknya. Bukan untuk Jiyeon.

seagulltii
24 Februari 2020

Gak panas, ya? Emang sengaja aku. Hahah. Semoga kalian suka dan ga kecewa, ya>.<

Limerence [M] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang