eleventh.

250 24 1
                                    


"Can, kau belum pulang?, sudah jam Empat sore. Nanti Tee bisa menangis mencarimu!." Ucap ibu Can mengaggetkan Can yang tengah melamun. Entahlah dia suka sekali melamun akhir-akhir ini, entah apa yang sebenarnya ada di fikirannya. Hanya saja beberapa hari belakangan dia merasa gelisah seperti ada sesuatu yang sedang dia khawatirkan, tapi dia tak tahu apa itu. Karena itu pula dia memutuskan untuk pergi bertemu ibunya hari ini. Tapi, sayangnya dia bukanlah Can yang dulu lagi, yang bisa bermanja ria dengan ibunya, atau tidur dengan ibunya sesuka hati.

Kini dia hanyalah seorang istri dan ibu. Dia harus mengurus suami dan anaknya. Dia bukan lagi anak ibunya yang manja. Bahkan untuk menginap di rumah ibunya pun dia sulit. Jika pekerjaan rumah, yah mungkin bukan dia yang melakukan, tapi mengurus suami dan anaknya haruslah dia. Jadi dia baru bisa bersantai setelah kedua orang itu pergi, dan itupun dia akan kembali sibuk setelah tiga jam kemudian, menjemput anaknya dan membawanya belajar mungkin atau mengurusi kebutuhan anaknya.

Kehidupannya sebagai seorang istri tidaklah mudah. Bahkan untuk bertemu atau menelpon teman-temannya saja sulit.

"Oh, sudah sore. Baiklah aku akan pulang bu. Maaf tidak menginap, tapi lain kali jika ada waktu aku akan menginap. Oke?!." Ibu Can hanya tersenyum melihat tingkah anaknya, lalu mencubit hidungnya pelan.
"Auu, buu.. Jangan mencubit hidungku.!." Keluh Can, pasalnya dia bukan lah lagi anak kecil.

"Kenapa. Apa karena kau sudah menikah, lalu ibu tak boleh bermain denganmu?." Can mengatupkan mulutnya, Ibunya menatapnya sambil tersenyum. Bagaimana dia bisa menahan air matanya ketika melihat pancaran kasih sayang di mata ibunya. Dia seakan menyesali perbuatannya, dia adalah anak satu-satunya untuk ayah dan ibunya, ibunya bahkan menginginkannya menjadi seorang dokter. Tapi dengan bodohnya dirinya menghancurkan harapan ibunya. Lalu sekarang dia merasa bersalah dan tak berguna untuk ibunya.

"Bagaimana pun juga, kau tetaplah anak ibu. Walaupun kau sudah menikah, bagi ibu Can tetaplah anak ibu yang manja dan keras kepala. Tetaplah anak ibu yang lucu. Ingat nak, sudah cukup kau kehilangan keceriaanmu, tolong tumbuhkan keceriaan itu kembali untuk ibu. Ibu hanya ingin kau seperti dulu, selalu ceria dan cerewet!." Can menundukkan kepalanya dalam-dalam. Dia tak bisa menahan air matanya yang sudah tertampung sejak tadi. Ibunya benar, dia telah menghancurkan masa depannya sendiri dan harapan ibunya.  Dia bahkan tak lagi ceria seperti dulu.

"Maafkan hikks.. Can. Can sudah hiks.. Menghancurkan masa depan Can, hiks. Juga menghancurkan hikss harapan ibu. Can sangat menyesal hikss.." suara Can bergetar dan serak. Dia tak lagi bisa menahan perih di dadanya, penyesalan yang teramat sangat selalu melekat dalam dirinya seakan menyatu pada tubuhnya. Rasa bersalah yang terus menghantuinya, dan Bayangan mimpi yang tak sempat dia raih seakan mengejek dan menyalahkannya.

Jennie menutup mulutnya, menahan isakan yang sebenarnya tak bisa dia tahan, hatinya hancur melihat anaknya yang tengah menangis di hadapannya. Dia kecewa pada dirinya, yang tak bisa menjaga anaknya dulu. Dia terlalu sibuk bekerja, hingga Can mungkin merasa kesepian dan melakukan hal yang menurutnya menghilangkan rasa sepinya.  Merasa bersalah telah menghancurkan mimpi anaknya.

"Jangan begitu, itu semua bukan salah Can, na.. Ibu yang salah. Sudah berhenti menangis na.. Tee pasti khawatir padamu. Pulanglah." Ucap Jennie beralasan. Dia harus membuat anaknya pergi dari hadapannya, jika tidak dia akan terus menangis seperti ini dan merasa bersalah.

Dengan sigap Can memeluk tubuh ibunya, lalu menangis di sana sekencang-kencangnya. Melepas semua emosi dan kesedihannya di sana. Memeluk ibunya adalah tindakan yang ampuh untuk menenangkan dirinya.

...

Can masuk ke dalam rumahnya, langsung menyapu pandangannya ke seluruh ruangan, tapi tak menemukan orang yang dia cari di manapun. Kakinya langsung melangkah menuju kamar putranya yang berada di samping kamarnya. Meraih kenop pintu lalu mendorongnya. Hati Can langsung merasa tenang saat mendapati putranya yang tengah tertidur di atas tempat tidurnya dengan alat-alat gambarnya di mana-mana. 

Stuck In The Darkness (Tin&Can story)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang