Hanya tampak satu frekuensi

28 2 0
                                    

Manusia yang masih sama, sama-sama masih dengan ambisinya, egonya, kebohongannya, lukanya, dan segala miliknya. Yang masih berlomba menjadi yang mencolok. Padahal kenapa tidak menjadi diri sendiri. Kenapa? Tampaknya satu frekuensi, nyatanya tidak pernah pada titik itu.

***Temanku***

Ternyata mereka masih sempat-sempatnya mengumpat dariku. Sudahlah, sebaiknya memang kembali kepada awal kita. Hanya sebatas kenal. Dan tidak bisa menjadi satu frekuensi.

Ternyata tidak mudah mencari frekuensi. Mereka yang masih terlalu tidak menyatu bagai air dengan minyak. Tapi selalu memaksakan untuk selalu menyatu. lelahnya berusaha menjadi sefrekuensi dengan mereka.

Jangan paksakan berpura-puranya. Nanti kalian lelah. Begitu juga dengan aku. Jadilah manusia yang apa adanya. Biasa saja lah dalam bersikap sesama. Kita hanya manusia biasa. Tolong jangan buat semakin rumit pikiran yang seharusnya tidak dipikirkan. Sudah, bersikap biasa saja mulai saat ini. Datanglah dan jangan mengumpat jikalau kalian butuh. Terlalu rumit membuat kita menjadi sefrekuensi.

Biasa sajalah mulai saat ini.

Tanpa harus merubah sesuatu yang awal.

Jadilah diri kita apa adanya.

Menegurlah jika salah satunya dari kita terdapat salah.

Jangan malu dan takut untuk menegur dalam kebaikan.

Jangan pura-pura baik-baik saja.

Jika saran diperlukan, maka berikan lah.

Aku tahu kau berusaha menyembunyikan.

Jika menjanggal.

Ceritakan...

meski kita takkan pernah menjadi sefrekuensi.

Namun pada akhirnya, menjadi tempat mengadu dari jahatnya semesta. Terimakasih, meski kadang tak tampak satu frekuensi. Tapi perlahan semua menyatu dan mengukir kisah yang sangat indah. Dan kami, yang hanya tampak satu frekuensi. Kini malah merasa semakin dekat. 

Jangan menyimpulkan hanya karena baru menjadi teman duduk, tapi pahami dan butuh waktu lama sampai akhirnya menjadi tampak dan tanpa ada kata hanya lagi.

kami manusia biasa (END)Where stories live. Discover now