Tertampar oleh Cambukan Kesalahan

15 1 2
                                    


Aku menangis dalam ruang hitam, ia tak melihat namun merasakan bagaimana kata demi kata kutuangkan dalam sebuah kalimat, hampir selalan membuang waktu di tempat empuk yang membuatku terus terpupuk, diri dikalahkan oleh energi buruk dari dalam atau luar tubuh, lunglai tak terkapar, dosa menggunung, semakin jauh, sendiri.

Kemudian, Tuhan datang, dalam getaran yang tak ada di pusat bumi ini.

Membisik tanpa suara,

membisik tanpa kata,

membisik tanpa bunyi, dan

membisik tanpa isyarat,

namun, ia membisik melalui rasa, hingga mataku berlinang penuh sesal lara.

Mata tandus kembali dibasahi, setelah sekian lama kering oleh noda, hati kembali bergetar, setelah sekian lama keras akan perihnya kehidupan, jiwa ini tersadar, ketika semuanya terasa menyakitkan.

Aku bergelut dengan diri, meskipun kekalahan memegang kendali, ku keluarkan kendati lalu memulainya penuh percaya diri.

Tuhan, memberi candu Rindu agar kita selalu bercakap meskipun hanya melalu ayat.

#Sekelumit Kisah Penghafal AlQur'an.

***

Libur kuliah membuatku menikmati suasana Rumah, tawa canda, bergembira,, sesekali ada tawa yang mengerat luka, ada kenyaataan yang menggores jiwa namun semua terselesaikan karna eratan keluarga, Allhamdulillah, semua jauh lebih bageur, dulu keluargaku tak sehangat ini. (penuh bayang dan kembali pada bayangan)

Dalam gemuruh yang sunyi, aku berlari dalam puruk. Mereka tak tahu bagaimana perjalan ini terdampar pada tujuan. Ada, namun terasa tiada, waktu itu aku masih sangat kecil, tak tahu apa yang mereka pertengkarkan, tak tahu apa arti dari air mata ibu, aku tersudut di pojok kamar dengan sedu menyaksikan hal yang tak pernah ku lihat sebelumnya.

"Itu hanya masalah kecil a kenapa di besar-besarkan?"

"Udahlah, aku muak dengan sikapmu! kita cerai saja, aku talak kamu! nanti ku urus ke pengadilan!". Aku berdiri menatap linang di dekat bak biru kura-kura berenang, di atas kepalaku banyak bintang pagar yang berputar, mengenai apa yang mereka bicarakan? Apa itu cerai? Bagaimana wujud talak? Di mana itu pengadilan, kenapa Ayah akan berkunjung kesana? Seseram itukah yang tak ku ketahui hingga air mata ibu begitu deras di antara arus.

Ku susuri jalan di atas jembatan, terbayang wajah marahnya dan kesedihannya Apa yang harus ku perbuat hari itu? kenapa aku hanya diam mematung dengan rasa takut yang menggayat? Lorong gumpal merasa kosong, aku merasa kehilangan yang aku sendiri tak tahu apa yang hilang, semuanya begitu buram hingga tak dapat ku lihat bagaimana kacamata mereka berfungsi.

Tahun berlalu, hari itu aku melempar sepatu, mendarat tepat di atas kepala umi dan pamanku yang telah usai mengajak berbincang, "Khadijah, umi nikah lagi ya sama Pak Somad bos Perikanan", kata yang mengerikan jika aku punya Ayah baru, dengan tiada ayah saja aku merasa duka merungrung kalbu, apalagi hadirnya ayah tiri di hidupku.

"Anjing! Aku gamau punya ayah baru!"

Begitulah kata kasar yang pertama kali ku ucap di ruang sedang yang terdapat kursi kenangan keluarga nenek moyang.

Sejak saat itu, aku merasa asing dengan sosok Ayah, rasanya sudah terbiasa tanpa hadirnya, ku nikmati secangkir teh tanpa gula di dalamnya, tak peduli seberapa keras mereka memamerkan hak milik ayah yang menyayangi dan selau menemaninya, aku hanya punya umi yang selalu memarahi kala ku salah dan merawatku ketika sakit merurungrung tubuh.

Tubuhku lemah lunglai kala teriknya menyayat kepalaku, hingga mengalir tetesan merah di lubang saluran pernafasan, panasnya suhu mentari selalu melekat di gelapnya malam pada getaran gigil lelapku. Hingga akhirnya ayah dan umiku memutuskan kembali bersatu untuk kesembuhanku, hingga lahirlah adik kecilku bernama Sasya. Tahun berganti tahun, ketunggalanku sebagai anak menjadi pemicu kecemburuan. Berbeda dengan sekarang, kehidupan di perkuliahan dan pesantren membangun jiwa dan cerita baru, hubunganku dengan ayah jauh lebih baik.

Korpus EidetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang