SEBERKAS CAHAYA

1 0 0
                                    


SEBERKAS CAHAYA

oleh : Karina Insawati

Dua puluh tahun sudah waktuku di dunia. Menapaki setiap jengkal mimpi yang bersemayam di ujung mata. Waktuku semakin sempit. Tapi mimpi masih saja berkelit. Tak tahu harus menuju ke arah mana. Jalan lurus yang membosankan atau tikungan tajam yang menguras tenaga?

Satu tahun sejak terakhir kali aku menekuni bidang ini. Menjadi seorang Sekretaris bukan hal yang sulit, hanya saja dibutuhkan mental baja dan muka tembok. Tak jarak aku menerima kritik perihal surat-surat dan laporan yang kubuat. Ribuan revisi menjadi makanan sehari-hari. Notulensi rapat adalah asupan gizi setiap minggu. Standar Operasional Prosedur menjadi buku suci pedoman hidup sehat. Oh bukan, maksudku organisasi yang sehat.

Aku tidak membenci pekerjaan ini. Tapi aku juga tidak yakin, apakah aku benar-benar menyukai bidang ini. Semua ini sangat menguras waktu dan pikiran. Rasanya, tidak ada waktu yang tersisa untuk mengerjakan hal lain. Sepulang kuliah aku harus rapat hingga larut malam. Laporan demi laporan terus mengejar. Belum lagi tugas kuliah yang beranak pinang banyak sekali. Pergi gelap, pulang gelap menjadi semboyan baru dalam hidupku.

Segalanya semakin tak terkendali. Ketika kusadari bahwa mimpi yang sebenarnya mulai jatuh terlelap. Aku mulai berpikir untuk berhenti. Untuk apa aku berjuang sekeras itu? Mengejar sesuatu yang sebenarnya tidak benar-benar aku inginkan. Aku tidak pernah bermimpi untuk menjadi seorang Sekretaris ataupun bergelut di bidang Administrasi lainnya. Satu-satunya mimpiku hanya menjadi seorang penulis. Dan mimpi itu mulai habis dimakan waktu.

Ini tidak benar. Bukan ini yang kuinginkan. Aku harus mulai memikirkan apa yang benar-benar kuimpikan. Satu-satunya hal yang terpikirkan olehku adalah berhenti. Ya, aku akan berhenti. Saatnya melepas hal yang tidak kubutuhkan dan mulai menjajaki mimpi yang sebenarnya.

Semester baru mulai menyapa. Kumasukan satu persatu tumpukan kertas yang kubawa itu ke dalam lemari. Ruangan putih itu sepi peminat. Tak ada seorang pun yang menyambut kedatanganku pagi ini. Tapi gelas kosong di meja menandakan kehadiran seseorang sebelumnya. Entah dimana sosok itu sekarang, tugasku hanyalah mengembalikan semua dokumen ini kembali ke tempatnya. Aku hendak keluar ketika manusia pemilik gelas kosong itu datang.

"Asa.." mataku bertabrakan dengan Arai, teman sekelasku sekaligus partner kerjaku setahun belakangan.

"Hei.. aku hanya ingin mengembalikan semua dokumen itu"

Ia hanya mengangguk kecil kemudian menatapku sendu, seperti kehilangan salah satu mainannya. Aku tahu ini menyedihkan. Keputusanku untuk mengakhiri semua itu cukup membuatnya kaget. Aku sangat berterima kasih karena ia mempercayakanku sebagai Sekretarisnya selama setahun belakangan. Itu membuatku belajar banyak hal.

Arai menatapku dalam, "Apapun pilihanmu, itulah keputusan terbaik yang kamu buat. Dan apapun yang kamu lakukan, tidak ada satupun hal yang sia-sia."

Aku tersenyum puas. Manusia yang satu ini memang pintar sekali memberi motivasi. Tak heran bila banyak orang yang menghormati perangainya. Dan meski kata 'terima kasih' tak cukup, tapi ia tetap tersenyum senang.

Halaman baru dimulai. Mimpi yang terlelap sekian lama kini terbangun. Aku mulai menggoreskan tinta. Mencari kata yang tepat untuk merefleksikan perasaan. Tapi nyatanya menulis tidak semudah menyalin tugas. Aku kerap duduk berjam-jam di depan komputer tanpa menulis satu kata pun. Bermain dengan kata-kata nyatanya lebih sulit dari menentukan ingin makan mie goreng atau mie kuah. Aku memang tidak berbakat.

Sayangnya, kata 'menyerah' bukan nama tengahku. Aku menulis lagi dan lagi. Memperbanyak bacaan, memperbaiki kesalahan, mencari tahu kelebihan dan melakukan berbagai macam ritual untuk membuatku menulis dengan lebih baik. Puluhan naskah kukirim ke penerbit. Aku menunggu dan menunggu. Tapi tak ada satu pun jawaban, hingga aku melupakannya. Aku.. tak ingin bermimpi lagi.

Langit sore ini begitu murung. Awan hitam memenuhi angkasa. Sebentar lagi dunia akan menangis, mencurahkan segala beban yang dipikulnya sekian lama. Di balik jeruji kamar, kutantang semesta untuk bersitatap. Menuntut jawaban yang mulai membunuh akal. Kenapa tak ada satu pun hal yang berjalan lancar? Aku berhenti dari tanggung jawabku sebagai pengurus organisasi. Berharap memiliki lebih banyak waktu untuk mulai mencicipi mimpi yang sebenarnya. Aku menulis dan menulis. Tapi tak ada satu pun yang berhasil. Aku membuang satu-satunya hal yang bisa kulakukan demi mengejar mimpi yang tak kunjung tersampaikan. Terlalu banyak waktu yang terbuang. Terlalu banyak hal yang sia-sia dikerjakan. Aku.. benar-benar tidak berguna.

Sekian bulan berlalu sejak aku membohongi diri sendiri. Mengunci diri di kamar tanpa melakukan apapun. Sepulang kuliah kuhempaskan diri di pulau kapuk, menonton film dan makan sepuasnya. Otakku semakin tumpul. Pekerjaanku hanya membuang waktu. Aku semakin tidak berguna.

Di saat drama 'rebahan' telah menguasai jiwa ragaku, di situlah manusia super bijak itu kembali. Sekali lagi, Arai memintaku menjadi bagian dari timnya. Kami akan mengerjakan proyek bersama dan aku akan mengepalai seluruh bagian administrasi proyek ini. Terdengar keren, tapi tentu saja aku juga harus membayar mahal. Setengah otakku terkuras habis. Kali ini justru lebih menyita waktu dan pikiran. Aku harus mengerjakan ratusan surat dan diburu laporan. Benar-benar melelahkan.

Di saat semangatku mulai redup, aku kembali teringat ucapan Arai, "Apapun pilihanmu, itulah keputusan terbaik yang kamu buat. Dan apapun yang kamu lakukan, tidak ada satupun hal yang sia-sia."

Benar, inilah keputusanku. Pilihan untuk keluar dari zona 'rebahan' yang perlahan membunuhku. Satu-satunya hal yang perlu kulakukan adalah berjuang sekeras mungkin, membuktikan bahwa pilihan ini tidaklah salah. Dan untuk semua yang telah kulakukan, tidak ada satu pun hal yang sia-sia.

Aku menyadari satu hal, aku tidak membenci pekerjaan ini. Aku jatuh cinta pada setiap proses yang kukerjakan. Rasa sakit yang membuatku semakin kuat. Langkah demi langkah yang membuatku mampu berlari. Aku mencintai segalanya, tentangku.

Hujan telah pergi. Tetesan air masih menyelimuti semesta. Matahari belum terbangun ketika aku membuka mata. Hawa dingin membelai wajahku lewat jendela yang terbuka. Aku memandang langit. Semesta menyuguhkan pemandangan terbaik pagi itu.

Bulan yang setia pada malam mulai tergantikan cahaya jingga yang memenuhi cakrawala. Aku meraih handphone, hendak mengabadikan momen terbaik pagi itu. Tapi hal pertama yang kudapat pada layar handphoneku adalah notifikasi bertuliskan :

"SELAMAT NASKAHMU BERHASIL LOLOS DAN AKAN SEGERA DITERBITKAN"

Di bawah warna jingga yang memenuhi semesta, matahari terbangun dari tidur panjangnya. Cahaya keemasan berpendar terang, menerobos celah jendela pagi itu. Seberkas cahaya yang masuk, menerangi masa depan yang masih samar. Aku tidak ingin berharap pada bulan. Apalagi bermimpi menjadi matahari. Satu-satunya hal yang kupercaya adalah bahwa tidak ada satupun hal yang sia-sia di dunia ini.

Korpus EidetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang