Jika Saya Mati Hari Ini

2 0 0
                                    


Jika Saya Mati Hari Ini

Oleh : Restu Hidayat

Jika takdir kehidupan bisa aku beli maka aku ingin membeli takdir itu berapan pun harganya. Takdir ku yang sangat begitu hina ini, aku tak menginginkan takdir seperti ini, tetapi keadaan yang memaksakan ku seperti ini. Aku tidak pernah menyesali takdir ku ini, namun terkadang ingin rasanya mati saja dibandingkan harus terus menjalankan takdir ini. Kepedihan itu bermula ketika...

Tujuh belas tahun yang lalu tepatnya kehidupan remaja ku yang sangat menyenangkan masa sekolah SMA yang akan selalu dikenang. Aku hidup dengan disuguhkan kebahagian-kebahagian yang terus menerus hadir di setiap hari ku, memiliki teman banyak, kedua orang tua yang harmonis, hingga kebutuhan yang selalu terpenuhi. Kehidupan suram pun bermula ketika ibu ku terkena sakit parah ketika aku baru saja beranjak naik kelas tigs SMA ketika itu umurku delapan belas tahun. Satu bulan kemudian ibu ku termakan oleh penyakitnya yang sudah sangat parah sehingga dengan tega harus meninggalkan ku untuk selama-lamanya.

Semua kebahagian yang kumiliki telah hilang semua, kehidupan ku berubah. Tuhan telah menetapkan takdirnya untuk ku. Ayah ku depresi berat selepas meninggalnya ibu, ia tidak makan dan tidak minum selama tiga hari lamanya yang hanya terus menangis, meraung-raung sambil memegangi bingkai foto ibu ku, hingga ia tergolek lemas pingsan pada hari ketiga. Aku merasakan begitu besarnya rasa cinta yang dimiliki ayah ku itu. Berita buruk kembali menerpa diri ku, setelah ayah ku mendapat surat pemecatan setalah hampir satu minggu tidak masuk kerja tanpa keterangan karena sibuk menangisi kepergian ibu ku. Kini aku tidak lagi mengenal sosok ayah yang aku bangga-banggakan dahulu.

Di sekolah aku lebih banyak murung, melamun, terdiam sendiri memikirkan entah apa yang harus kulakan ke depannya, entah kemanakah arah yang harus aku ambil untuk ku melangkah. Teman-teman ku tiba-tiba pergi meninggalkan ku yang tak semenyenangkan dahulu, yang tak semenarik dahulu, tak ada lagi peduli dengan ku sebab aku yang sekarang tak sekaya dahulu. Ayah ku yang tak berkerja lagi, sekarang hanya berdiam diri saja di rumah mengurus diri ku ini. Kondisi keuangan ku yang melonjak turun yang membuat ku harus merubah gaya hidup ku. Tuhan, jika saya mati hari ini apakah itu lebih baik untuk, untuk kehidpan ku?

Oh, tidak. Aku tidak boleh mati hari ini masih banyak cita-cita yang harus ku kejar, seperti menjadi istri yang sholehah seperti ibu ku, mempunyai suami yang kucintai dan membahagiakannya, hingga mendirikan yayasan panti asuhan yatim dan piatu. Aku harus tetap hidup, aku harus tetap hidup, maju, dan tetap bernapas hingga semua yang aku inginkan dapat ku gapai. Ya, hidup. Kembali aku berbicara sendiri di depan kaca dengan tatapan kosong ku ini.

Hari-hari ku jalani, semakin hari semakin buruk rasanya. Hingga pada saat malam yang sangat kelam itu, aku menangis sejadi-jadinya, aku menangis hingga air mata ku kering, dadak ku sesak, hati ku perih. Malam itu menjadi malam yang sangat kelam untuk diriku, ayah yang selama ini aku banggakan dan idolakan telah sangat tega merenggut keperwananku, merobek, mengoyak dengan buas dan bernafsu kemaluan ku, tanpa belas kasihan dan tidak lagi memandang ku sebagai anak melainkan memandang ku layaknya seorang kekasih. Sungguh bejat, sungguh biadab.

Selepas malam yang keji itu, aku sama sekali tak melihat lagi sosok ayah yang sangat ku kagumi. Ayah ku tak lagi menyayangi ku, ia hanya menyayangi hawa nafsu besar yang ia miliki itu, hampir setiap saat ia terus menyetubuhi ku. Sungguh gila, sungguh bejat ayah ku ini, aku benci ayah ku! Perlakuan ayah ku yang gila itu telah mengubah diri ku, kini aku menanggalkan kerudung yang selalu aku kenakan itu, kini aku lebih suka mengenakan pakaian yang serba ketat dan terbuka. Cita-cita ku menjadi istri sholehah telah sirna. Masikah aku layak untuk hidup?

Di sekolah aku kembali menjadi pusat perhatian, khususnya bagi lelaki hidung belang, karena seragam ketat ku yang selalu menonjolkan pinggul dan buah dada yang aku miliki. Hingga suatu hari, selepas pulang sekolah aku ditarik paksa oleh teman laki-laki ku ke ruang kamar mandi, yang ternyata sudah banyak tujuh sampai delapan lelaki yang menatap ku bernafsu dengan senyum menyeringai itu. Habis sudah, aku disetubuhi oleh teman-teman ku. Hati ku kembali terasa sesak.

Lemas terkulai lemas aku di atas sofa di rumah ku, selepas aku pulang sekolah, dan terpaksa melayani nafsu bejat teman-teman ku. Di rumah ayah ku yang gila sudah menunggu (ingin rasanya aku mati saja). Aku terkaget melihat tiga lelaki berperawakan tinggi dan kekar tiba-tiba ada dihadapan ku, dan seketika langsung menyergapku dan mencumbui sekujur tubuh ku yang masih terkulai lemas di atas sofa. Aku berusah meronta, melepaskan, memberontak, tapi aku tak lagi punya tenaga. Hingga aku melihat ayah aku, yang tersenyum puas dan bahagia, dengan puluhan juta uang digenggamannya. Aku telah dijual oleh ayah ku sendiri.

Puluhan lelaki hidung belang aku telah layani setiap harinya. Aku sudah putus sekolah, karena aku malu dengan teman-teman ku. Ingin rasanya aku mati, tetapi cita-cita mendirikan yayasan panti asuhan yatim piatu masih bisa aku raih Aku kuras habis uang yang dimiliki setiap lelaki hidung belang yang bermain dengan ku. Aku menabung uang tersebut, hingga kini sudah terkumpul cukup untuk mendirikan yayasan yang aku inginkan itu.

Aku membangun yayasan itu, agar tak ada lagi yang bernasib sama dengan kehidupan ku yang hina ini. Kini yayasan itu telah berdiri dengan kokoh, dan ayah ku yang gila itu sudah dijebloskan ke dalam penjara. Tinggalah aku yang tergolek lemas tak berdaya dengan virus mematikan yang tidak ada satu pun yang dapat menyebuhkan. Memang benar aku hidup dengan cara yang salah karena aku tidak lagi punya pilihan untuk hidup, tetapi aku masih ingin hidup, aku masih ingin bernapas, untuk meraih cita-cita, untuk meraih apa yang aku inginkan.

Tuhan jika saya mati hari ini maka ambilah sajanyawa dari raga ku ini, kehidupan ku memang sungguh hina dan keji, tetapi akubahagia dengan apa yang telah aku raih diakhir hidup ku ini. Aku akan tersenyumkapan pun Engkau mengambil nyawa dari raga ku yang hina ini.

Korpus EidetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang