PESAKITAN YANG MATI KARENA TERPUJI

1 0 0
                                    

PESAKITAN YANG MATI KARENA TERPUJI

oleh : Indriani Suharyan

Duar! Duar!

Suara tembakan terdengar bekali-kali dalam radius beberapa kilometer dari lapas. Aku lantas memejamkan mata, berdoa dalam hati semoga mereka dapat beristirahat dengan tenang.

Pagi ini pelaksanaan eksekusi mati di Lumus Buntu telah dilaksanakan, awan mendung seakan menambah suasana berkabung di dalam lapas. Dari balik sel penjara, samar-samar kudengar beberapa napi yang menangis. Ada pula salah satu dari mereka yang berteriak layaknya orang kesakitan.

Suara tembakan tadi memang bukan yang pertama kali kudengar, aku bahkan sering mendengarnya sejak lima tahun terakhir. Namun, hal yang paling menyesakkan setiap kali mendengar suara tembakan itu adalah ingatanku akan Ibu. Perlahan, pikiranku kembali mengingat bagaimana sikapnya saat pertama kali mengetahui bahwa aku telah ditetapkan sebagai seorang narapidana, harus tinggal di pulau Nusakambangan yang lebih dikenal dengan sebutan pulau hantu, di mana setiap tahunnya terdapat tahanan napi yang mati karena dieksekusi.

"Gin, piye iki? Ibu harus apa?" Begitu kata Ibu dengan mata yang sembab. Berkali-kali ia memelukku, bersamaan dengan air matanya yang kembali terjatuh setiap kali melakukan hal itu.

Aku menggenggam tangannya, lantas menciumnya. "Ibu aja kuwatir. Iki ketetapan sing Allah weneh, Allah kuwi ngerti sapa sing salah."

Saat itu, aku tak bisa berkata apa pun lagi. Kabar akan hukuman eksekusi mati memang bukanlah suatu hal yang mengenakan. Namun, hal utama yang bisa kulakukan sekarang adalah mengatakan padanya bahwa aku bisa melewati semua ini.

***

Nusakambangan bukan lagi suatu pulau yang asing untukku, sebab aku pun lahir di Jawa Tengah. Hal yang tak pernah kupikirkan hanyalah bagaimana bisa aku berada di sini, menjadi bagian dari penghuni Lapas Batu.

Ketahuilah, bahwa sebenarnya aku dibohongi.

Bapak meninggal saat aku masih berusia lima belas tahun, hal itu membuatku akhirnya memutuskan untuk berhenti sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga. Aku ingin membiayai sekolah adik saja, meringankan beban Ibu, terlepas dari posisiku sebagai laki-laki dan anak pertama.

Bertahun-tahun aku bekerja di salah satu toko sembako, atau membantu Ibu membuat besek dari bambu. Namun, ada masa di mana keluargaku mengalami hal tersulit, sementara gaji kami tidak cukup untuk menutupi segala kebutuhan keluarga saat itu.

Entah kenikmatan atau justru malapetaka, teman pemilik toko sembako datang, memintaku untuk membantunya berdagang buah-buahan tropis ke negara-negara di Asia. Ia menjanjikan gaji yang lumayan besar dari penjualan barang ekspor yang mahal. Aku akhirnya menyanggupi, dan mulai bergabung dalam sindikat perdagangan.

Awalnya bisnis kami berjalan lancar, aku bisa merasakan gajiku lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Sampai pada akhirnya pihak berwenang menggeledah rumah teman pemilik toko sembako. Di dalam gudang, ditemukanlah kokain seberat 97 kilogram, temuan narkoba terbanyak di Indonesia pada saat itu. Otoritas Bea Cukai menemukannya saat teman pemilik sembako–yang ternyata merupakan bos pengedar narkoba–hendak mengirimkan paket itu ke Singapura melalui jalur laut. Ternyata kokain tersebut merupakan kiriman dari Liberia, dan mereka meminta Indonesia mendistribusikannya ke negara Asia melalui kami.

Kekesalanku memuncak.

Aku tak pernah tahu bahwa di antara ratusan keranjang buah itu justru terdapat obat terlarang.

Aku tak bisa menyelamatkan diriku sendiri. Tidak adanya bukti dan pengacara membuatku akhirnya harus mendekam dalam sel penjara.

Menempati lapas untuk pertama kali tanpa berniat jahat tentu membuatku tertekan, tapi Ibu jelas lebih terluka karena hal ini. Namun, di sisi lain, berada di sini membuatku banyak belajar. Aku bisa berkenalan dengan narapidana lain; seorang koruptor negara 10 triliyun rupiah, penipu terbesar Indonesia, bandar sabu-sabu 115 kilogram, teroris, atau pembunuh berantai dunia yang menghabiskan 5 nyawa. Berbagi cerita dengan mereka membuatku menyadari satu hal; bahwa napi juga manusia, membutuhkan teman, dan memiliki kekhawatiran.

"Gin," ucap suara dari luar sel.

Aku sontak menengok, sosok laki-laki paruh baya berseragam sudah berdiri di depan sel milikku.

"Pak Kresna?" kataku.

Pak Kresna tersenyum, raut wajahnya seakan hendak mengabarkanku sesuatu. Seperti sebuah kabar gembira.

Laki-laki paruh baya ini namanya Pak Kresna, salah satu sipir Nusakambangan yang berjaga di Lapas Batu. Dia adalah orang pertama yang menghiburku saat aku menginjakkan kaki di tempat ini. Pak Kresna sudah seperti saudara bagiku, dia sering membawakanku roti lapis favorit, juga berbagai macam buku bacaan agar bisa kubaca di waktu luang.

Yang paling penting, Pak Kresna adalah perantara komunikasiku dengan Ibu.

"Ana apa to, Pak?"

"Ada kabar gembira, Gin. Ibumu awal tahun akan berkunjung ke sini," katanya. "Semalam Bapak dapat telepon."

Aku membulatkan mata. Jelas ini adalah kabar gembira. Sudah empat tahun aku tidak bertemu dengan Ibu. Peraturan yang super ketat membuat Ibu tidak bisa berkunjung ke tempat ini sesuka hati.

"Ibu sehat to, Pak?" tanyaku.

Pak Kresna mengangguk dengan senyum yang masih menjungkar. "Alhamdulillah, sehat Gin. Tenang saja."

Aku mengusap wajahku, ikut tersenyum menatap Pak Kresna yang kini tertawa, seolah tengah menyemangatiku.

***

Semenjak kabar gembira dari Pak Kresna, aku lebih bersemangat dalam menjalani hari, sampai dua bulan sebelum kunjungan Ibu ke lapas. Kabar tak mengenakan itu kuterima, sebuah kabar yang membunuh semangatku. Namun, apa yang bisa kulakukan ketika hal ini telah ditetapkan? Satu minggu lagi pelaksanaan eksekusi mati di Limus Buntu dilaksanakan, dan aku menjadi salah satu bagian dari terpidana.

Maka, esok paginya, ketika Pak Kresna kembali mengunjungi selku, aku memberikannya sebuah surat.

"Pak, tolong kasih ini ke Ibu. Matur nuwun."

Pak Kresna lantas menatapku seraya ragu-ragu mengambil surat itu. Ia memperhatikanku begitu kentara, detik berikutnya matanya memerah. Sepertinya, tanpa kujelaskan pun ia sudah tahu apa yang akan terjadi. Air mata itu lantas menetes. Ia menangis, membuat wibawa seorang sipir Nusakambangan yang diyakini keras dan menakutkan pun seakan luntur begitu saja.

"Jangan kasih tahu Ibu ya, Pak. Sebaiknya Ibu tidak berkunjung dan melihat. Sampaikan saja suratnya," kataku.

Pak Kresna hanya diam, matanya sudah terlihat sembab.

"Sing kuwat yo, Gin," katanya kemudian.

Aku mengangguk, tersenyum tipis.

Sekeras apa pun aku memberontak tidak bersalah, aku tetap telah melakukannya. Bukankah hukum tidak berbicara tentang intensi, melainkan tindakan dan bukti. Dua puluh enam tahun aku hidup, aku tak pernah berpikir untuk menjadi seorang terpidana mati. Seperti apa bentuk narkoba? Memegangnya langsung pun aku tak pernah. Namun, aku juga tak bisa mengelak takdir, merancang kematianku sendiri. Aku meyakini hidupku tak sia-sia. Seburuk apa pun penjara, tempat ini menyadarkanku bahwa setiap manusia pasti memiliki alasan dan ceritanya sendiri yang tak bisa orang lain hakimi.

Korpus EidetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang