Eunoia

1 0 0
                                    


Eunoia

oleh : R. Arum Gandasari NK

Seorang wanita mengehela nafas panjang, meredakan emosi yang sedang ia rasa. Setelah yakin, ia menghampiri anaknya yang sedang asyik menyimak tayangan di televisi.

"Kaka?"

"Iya mah?"

"Kakak, mamah bosan nih. Kakak mau temani mamah?"

Anak yang dipanggil kakak itu terlihat menimbang permintaan ibunya, lalu mengangguk.

"Mamah punya cerita nih. Mau dengar?"

Anak itu mengangguk kembali, kali ini antusias.

"Dahulu kala, di sebuah istana sedang diadakan pesta untuk menyambut putri yang baru saja lahir ke dunia. Putri itu diberi nama Putri Sasa, ia adalah putri pertama Raja Rondo, raja yang memimpin kerajaan itu. Raja merasa sangat bahagia, karena putrinya itu lahir dengan sehat."

"Kebahagiaan itu pudar ketika raja mengetahui bahwa anaknya tidak bisa melihat, namun memiliki keistimewaan lain, apapun yang dikatakan Putri Sasa, semua itu akan terwujud."

"Semuanya?" Anak itu memotong cerita, mulai tertarik dengan cerita sang ibu.

"Iya semuanya."

"Lalu... lalu?"

"Lalu, saat sudah besar, Putri Sasa merasa tidak percaya diri karena banyak sekali orang yang membicarakan kekurangannya dan menjauhinya, juga tidah ada orang yang ingin berteman dengannya, selain ratu dan raja."

"Wah kasian ya mah."

Ibu itu mengangguk, "Kalau itu kamu bagaimana?"

"Sedih."

Ibunya tersenyum lalu melanjutkan cerita.

"Semakin lama, Putri Sasa semakin kesal, ia tidak bisa menahan amarah yang bergejolak di hati. Putri Sasa mengutuk rakyatnya dengan musibah yang besar, seluruh rakyat akan kesusahan dengan kemarau panjang dan kelaparan. Akibat ucapannya yang akan selalu terjadi, kerajaan itu mengalami kemarau panjang dan rakyatnya menderita kelaparan dan kehausan yang menyiksa."

"Wah berarti putri itu jahat dong ya mah?"

"Kenapa Kakak berpikir seperti itu?"

"Karena... dia mendoakan keburukan, kitakan harus mendoakan kebaikan."

Ibu itu mengelus rambut anaknya sayang, "Kamu belum mendengar ceritanya sampai akhir, karena itu kamu berpikir seperti itu."

"Lanjut dong makanya." Anak itu cemberut, lalu ibunya tersenyum sambil kembali mengelus sayang anaknya.

"Raja Rondo yang mengetahui musibah yang datang ulah putri semata wayangnya, ia mengajak Putri Sasa untuk bekeliling istana. Di sepanjang jalan, sang putri mendengar banyak jeritan kesakitan, jeritan yang menyiksa telingganya. "tolong, tolong..." hanya kata itu yang terus memenuhi pendengaran, ia merasa sangat kegerahan berada di luar istana, semakin jauh ia melangkah, semakin kering tenggorokannya, tiba-tiba Putri Sasa berhenti dan meminta ayahnya untuk menceritakan bagaimana keadaan sekutar."

"Raja Rondo menceritakan bagaimana keadaan rakyatnya di sini, lalu ia memohon kepada anaknya itu untuk mencabut kembali perkataannya. Putri Sasa enggan, ia masih merasa rakyatnya itulah yang memulai terlebih dahulu dengan mengolok-oloknya. Hingga teriakan minta tolong saling bersahutan, Putri Sasa pun menyerah ia tersentuh mendengar teriakan itu, tetes demi tetes air mata jatuh ke tanah, ia memang tidak mempunyai mata seperti kebanyakan manusia tapi ia punya hati untuk melihat, iapun bukan seseorang yang jahat. Akhirnya Putri Sasa menarik kembali perkataanya dan kerajaan itupun kembali damai."

Ibu itu menyelesaikan ceritanya dengan menatap anaknya yang sudah bergelinangan air mata.

"Kakak nangis?" Sang ibu berkata.

"Enggak mah, aku jadi teringat temanku."

Ibunya tersenyum untuk kesekian kali, "Teman kakak namanya Gio?" Anak itu mengangguk ragu.

"Kakak meledeknya sampai Gio tidak mau sekolah ya?"

Anak yang dipanggil kakak itu membulatkan mata, tidak tahu jika ibunya sudah mengetahui hal itu.

"Mamah tahu?" anak itu bertanya hati-hati.

"Mamah diberitahu oleh Bu Aisyah, guru kakak, kata Bu Aisyah kakak mengejek Gio yang tidak bisa melihat."

Sang ibu yang melihat anaknya semakin deras mengeluarkan air mata menempelkan badan ke badan anaknya itu, memeluk sambil mengelus punggung anaknya halus.

"Gio itu sama seperti Putri Sasa, mereka tidak bisa memilih seperti apa mereka dilahirkan, kalau bisa, mereka pun akan memilih terlahir seperti kamu."

"Ak..ku.. enggak a..kan ledek Gio la.giii, aku janji, maaf mah."

"Besok kakak minta maaf ya ke Gio." Pertanyaan yang dijawab oleh anggukan.

Ibu itu merasa senang sekaligus lega, jujur saja saat mendengar anaknya yang berperilaku kurang baik, ia sempat akan memarahi dan mungkin tidak akan segan untuk memukul. Namun dari dahulu ia tahu bahwa kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah, maka alih-alih memakai kekerasan dan memarahinya, jalan yang ia pilih adalah dengan bercerita seperti ini.

Kita sering sekali melihat orang lain yang berbeda dengan kita, menganggapnya buruk, tapi apakah dengan membicarakan dan mengejek, membuat kita menjadi manusia yang lebih baik lagi? Eunoia, kita harus menjadi pemikir yang indah. Berpikiran indah dan menjadi orang yang lebih baik lagi, saling membantu dan menyebarkan kebaikan. Begitupula saat menghadapi masalah, kita harus melihat masalah itu dengan pikiran yang indah sehingga kita akan mendapatkan jalan keluar yang indah pula.

Tamat

Korpus EidetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang