Jahitan di Bajumu

1 0 0
                                    


Jahitan di Bajumu

oleh : Reni Maharani

Setiap orang mempunyai masa lalu, dibiarkan berlalu, lantas dijadikan pelajaran tanpa malu-malu. Begitu pula aku. Seorang gadis dengan usia yang sudah tidak pantas lagi disebut anak ingusan yang suka makan permen gula setoples. Tapi, sekarang ini aku gadis yang sudah beranjak dewasa, dengan keyakinan memiliki mimpi tinggi dan bisa tercapai suatu saat nanti.

Senang rasanya dapat duduk dan santai sejenak di kursi ruang keluarga. Terpampang banyak foto kenangan di dinding rumah. Pandanganku tertuju pada satu foto. Foto yang menunjukan wajah tersenyum seorang anak kecil bersama teman-temannya. Ah, melihat foto anak kecil itu membuatku malu, namun hati tersenyum juga haru. Ada sebuah pesan yang tak terlupakan.

Malam itu sedikit berbeda dari malam sebelumnya. Bukan karena langit tak bertabur bintang, bukan pula karena tak bisa menonton acara televisi kesayangan, karena tersabotase oleh sepak bola kesukaan bapak. Sungguh, malam yang membuat sedih.

Tak lama terdengar suara dari balik pintu kamarku.

"Rei..!"

Terdengar panggilan seorang wanita paling berharga dalam hidupku.

"Iya, bu." Kataku dengan nada datar.

" Ayo keluar, ibu udah selesai masak makanan kesukaanmu. Kita makan bersama " Kata ibuku yang pandai memasak itu.

" Ibu sama bapak duluan saja. Aku sudah ngantuk, bu. Mau bobo " kataku dengan nada sedikit ditinggikan.

" Reina, ibu masuk kamar ya " kata ibuku

Ah , dia tau saja apa yang sedang dirasakan anaknya. Dia pasti merasa ada sesuatu pada anaknya, tak seperti biasa. Kebiasaan seorang anak yang masih melek dan berkeliaran di ruang keluarga sebelum jam 21.30, lalu baru akan tertidur.

Ibu yang melihatku tertunduk dengan wajah cemberut, menghampiriku.

" kok, mukanya cemberut? imutnya hilang loh.. Cerita dong sama ibu" katanya penuh rayu

Aku hanya diam. Melihat ku seperti itu, ibu langsung memeluk ku dan mengusap ubun-ubun kepalaku dengan lembut.

" Katanya, Rei udah janji mau cerita apapun sama ibu." Kata ibu.

"Bu, Reina bingung. Besok izin sekolah bolehkan, bu?" kataku

Ibu melepas pelukannya, lalu menatap wajahku yang hampir kusut karena cemberut.

" Kenapa? Rei diganggu sama teman-teman ya? tapi setahu ibu, Rei anak yang ceria dan punya banyak teman di sekolah" Kata ibu.

"Bukan itu, bu" jawabku dengan lirih sedih.

" Terus kenapa dong?" tanya ibu.

Terpaksa aku jujur padanya. Ku ambil sepotong baju seragam berwarna putih di dalam tas sekolah. Lalu aku perlihatkan pada ibu. Ibu pun melihatnya, dia tersenyum sambil memegang bajuku itu. Ya , baju seragam putih yang biasa aku pakai ke sekolah, robek di bagian lengannya karena ulahku sendiri yang tak hati-hati. Bermain kucing-kucingan bersama teman-teman ketika jam istirahat. Berlari lalu menabrak pagar dan kain baju bagian lengan terkena paku. Alhasil, lengan bajuku robek.

"Kok ibu senyum sih?" tanyaku dengan sedikit heran.

"Oh, jadi ini yang membuat anak ibu terus cemberut?. Kamu lucu, Rei. Pasti kamu takut dimarahi ibu dan malu besok pergi ke sekolah karena bajumu robek ya? hehe " kata ibu sambil tertawa.

"Ibu gak marahkan? " tanyaku dengan sedikit penasaran.

"hmm, kamu ini. Masa ibu marah. Sudah, sekarang tolong ambilkan kotak berisi jarum dan benang didekat televisi." suruh ibu padaku.

Aku pun langsung mengambil kotak itu dan memberikannya pada ibu. Ibu pun dengan cepat langsung memasang benang pada jarum. Lalu menjahit bajuku yang robek terkena paku itu.

"Tapi, Bu. Reina lupa, besok itu ada pemotretan kelas. Ada lomba pemotretan kelas terkompak di sekolah. Reina malu, bu. Masa pakai baju robek sih !" kataku tidak percaya diri.

" Percaya sama ibu. Ibu ini jago menjahit, pasti jahitannya rapi " jawab ibu sambil menjahit.

Ada rasa sedikit terhibur, tapi tetap saja rasa malu berkecamuk dan lebih mendominasi. Tak lama, datang seseorang dari balik pintu kamarku. Sudah ku duga. Ya, itu bapak. Melihat wajahku yang cemberut, bapak pun menghampiri lalu duduk di sampingku. Ibu pun menceritakan apa penyebab ku bisa cemberut dan telihat sedih.

" Bapak mau cerita sama Rei" kata bapak.

"Wah, cerita apa apak?" jawabku penasaran.

"Begini ceritanya. Dulu, bapak tinggal di desa yang jauh sekali dari perkotaan. Bapak jarang sekali beli baju baru. Mungkin beli baju setahun sekali. Kadang tidak beli. Dulu, kakek seorang buruh petani. Jadi tidak mampu membelikan ayah baju. Suatu hari, tiba hari Lebaran. Bersyukur tahun itu kakek bisa membelikan bapak baju lebaran. Kemeja putih tapi ada gambar mobil berwana merah agak besar dibagian depan kanannya. Saking sukanya sama baju itu, kemanapun bapak pakai. Suatu hari, nenek pergi mencuci pakaian ke kali bersama tetangganya. Nenek terjatuh di kali. Baju-bajunya tejatuh dan hanyut di kali. Saat itu, arus kalinya cukup kuat. Nenek pun mengejar baju yang hanyut itu, sebagian terselamatkan, tapi tidak dengan seragam putih sekolah bapak. Nenek pun cerita. Bapak sedih, dan bingung bagaimana besok pergi sekolah. Tapi, bapak ingat. Ada kemeja putih yang dibelikan kakek waktu lebaran, bapak berniat memakai baju itu saja"

"Tapi, baju itu kan ada gambar mobilnya pak?" kataku memotong cerita bapak

"Iya, tapi bapak punya ide. Bapak ambil kain putih yang sudah tidak terpakai, lalu bapak jahit ke bagian gambar mobil agar tertutupi kain. Meskipun ada rasa sedih, tapi dari pada bapak tidak sekolah, pasti kakek dan nenek akan lebih sedih lagi. Besoknya, bapak pun pergi ke sekolah. Bapak tidak malu meskipun terlihat ada tambalan kain yang menutupi gambar dan terlihat jelas jahitannya. Bapak senang karena bisa sekolah. Pokonya, Rei jangan sedih dan malu ya, ibu pandai menjahit. Pasti bajunya lebih baik dibanding baju bapak dulu" kata bapak.

Aku termenung dengan cerita bapak yang lebih sedih dari nasibku yang tidak ada apa-apanya. Ibu pun selesai menjahit. Benar saja, jahitannya begitu rapi. Hampir tidak terlihat bekas jahitan. Hatiku cerah kembali setelah sempat suram. Bersemangat untuk pergi ke sekolah untuk lomba pemotretan kelas.

"Hei..!" seseorang menepuk pundakku

"Bapak. Ayo duduk sini" kataku

Laki-laki paruh baya itu duduk di sampingku

"Pak, terima kasih ya atas semua nasihat bapak selama ini , telah menguatkan Reina. Melihat foto itu, Reina jadi ingat pesan bapak. Dalam hidup jangan sedih karena suatu permasalahan, selagi masih ada solusi jangan malu untuk bangkit" kataku

Bapak hanya tersenyum, dan merangkul pundakku. Duduk bersama di kursi ruang keluarga sambil menatap fotoku waktu kecil yang tersenyum, meski ada jahitan di lengan seragam putihnya.

Tamat



Korpus EidetikTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang