Kondangan

22 0 0
                                    

Disinilah aku, berdiri bersama Arin -yang sama-sama merasa 'this is a little bit too much'- diantara keramaian gedung terbaik di Surabaya timur, sebuah pernikahan yang cukup megah dihelat. Pernikahan Mbak Nita dan Mas Ismet.

Sejak di dalam gocar dari rumah Arin tadi, kami sudah membayangkan bagaimana rupawannya anak Mbak Nita dan Mas Ismet itu nanti. Mbak Nita yang setengah Tionghoa dan Mas Ismet yang setengah Arab pasti dapat melahirkan anak-anak yang rupawan tanpa cela.

Sebenarnya aku hampir saja tidak akan datang ke resepsi pernikahannya Mbak Nita kalau saja kemarin lusa malam Arin tidak menanyakan kapan aku akan ke Surabaya.

Dan sebagai adik tingkat semasa kuliah dan partner organisasi dan gibah Mbak Nita, aku dan Arin sudah wajib datang.

Dari tadi aku agak celingukan mengantisipasi kalau saja Mas Memet datang. Dia pasti datang karena dia adalah teman seangkatan Mbak Nita dan juga partner gibah ormawa, tapi setidaknya gedung ini ramai, jadi bisalah menghindar.

Ya sebenarnya nggak pengen nggak ketemu juga sih.

"Grogi banget mau ketemu mantan" Arin menyenggol lenganku.

Aku hanya diam karena sudah bosan sejak dandan di kamarnya dijadikan bahan olokan dia bersama Ibunya.

"Waaah cantik banget, mau ketemu mantan ya" goda Arin.

"Waah pantesan pakai baju bunga-bunga" goda Tante Isti melihat aku memakai baju biru dongker dengan lapisan tille juga biru dongker dengan bordir bunga-bunga yang kainnya susah payah aku buru dengan Dewi.   Dress yang kupadukam dengan pashmina super halus warna krem yang mahalnya naudubillah -145 ribu untuk sebuah pashmina adalah rekor pertamaku membeli kerudung mahal- dam high heel 5 cm warna senada pasminaku. Ditambah tas tangan rajut warna merah aku jadi ikut tersenyum sendiri melihat diriku yang ternyata nggak buruk-buruk amat.

"Yaa tuh senyum, senyum!" goda Tante Isti lagi.

Aku kembali cemberut karena semua orang di rumah Arin tahu kalau aku mau bertemu Mas Memet.

Arin menyeggolku lagi, "Eh ituloh" menunjuk depan kami, tepatnya sebrang kami karena di depan kami ada karpet merah untuk jalan pengantin yang sepertinya sudah datang. Ada Mas Memet. Berdiri diantara tamu undangan yang lain.

Mati aku! ternyata Mas Memet juga melihat keberadaanku, dia tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya, menyapaku. Dan karena aku tidak bisa cuek saja ketika pria berkacamata yang sedang memakai batik warna coklat itu tersenyum yang justru meningkatkan volumen kegantengannya. Dan sebagai hasilnya bibirku tersenyum tanpa direncanakan dan tanganku terangkat tanpa disuruh. Membalas sapaanya. Dan Oke aku suka batiknya.

Untungnya pengantin datang dan alunan saxophone yang mengiringi mereka bisa mengalihkan pandangan semua undangan. Mbak Nita yang sudah cantik dari lahir semakin terlihat cantik dengan gaun putih berlengan, yang indah tapi terlihat sederhana khas ala Kate Middleton, diikuti sekitar tujuh atau sepuluh bridesmaid yg sebagian adalah teman seangkatannya sewaktu di kampus. Untuk pengantin prianya sudah pasti sangat hot, groomsmennya aku tak tahu siapa mereka, sepertinya teman-teman Mas Ismet.

Aku dan Arin tak berhenti tersenyum karena suasanya sangat menyenangkan, apalagi setelah sampai di depan panggung yang kami kira pengantin akan langsung naik ke plaminan mereka justru berhenti dan berbaris membentuk formasi. Karena aku yakin ini akan flashmob aku menarik Arin untuk ke barisan depan dan setengah berteriak ketika formasi pasangan pengantin beserta bridemaid dan groomsman itu mulai menggerakkan tubuh mereka saat intro lagu Everybody milik Backstreetboys berbunyi. Mereka menari sama seperti di musik video aslinya. Aku yang suka musik era 90an dan beberapa kebanyakan anak muda di gedung ini pun berteriak histeris melihatnya.

Aku kira mereka akan menari sampai lagu Everybody selesai, tapi ternyata hanya diambil intronya saja. Dan teriakan gedung kembali meriah ketika Didi Kempot berjalan di red carpet dan mulai menyanyikan lagu Pamer Bojo versi Cendol Dawet.

"Didi Kempot? Demi apaaa Tuhan??" ucapku tak percaya.

"Ancen sugih yooo arek loro iki!" (memang kaya ya dua anak ini)

Semua orang berjoget tanpa peduli padahal liriknya penuh kesedihan. Bodo amat yang penting Cendol Dawet siji loro telu papat limo enem pitu wolu.

Sambil menunggu antrian memberi selamat kepada mempelai aku dan Arin menikmati hidangan sambil ngobrol dengan Mbak Tika dan Mbak Agnes, teman-teman alumni sejurusan.

"Kae, dijak ngobrol toh Mas Memet e" (Tuh diajak ngobrol dong Mas Memetnya) ucap Mbak Tika padaku.

"Halah oposeh, Mbak!" (Halah! Apaansih, Mbak!) aku mengelak.

"Hai!" sapa seseorang dari arah samping kanan. Suaranya masih gurih seperti dulu saat dia mengajar di kelasku sebagai asisten dosen dan saat dia bernyanyi atau menjelaskan apa bedanya TP 5 dan TP 6 padaku dulu.

Aku ikut membalas sapaannya, melihat dia tersenyum basa-basi dengan kami jadi semakin dag dig dug der saja hati ini.

"Eh Tik, Nes!"

Selanjutnya mengobrol dengan Mbak Agnes, Mbak Tika dan Arin karena aku tidak menanggapi apa-apa.

"Yowes! Tak tunggu nang kono yo, Lan" (Yaudah, kita tunggu di sana ya, Lan!) Arin, Mbak Tika dan Mbak Agnes langsung meninggalkanku bersama Mas Memet tanpa bisa aku antisipasi.

"Sehat Lan"

Aku tak tahu itu pertanyaan atau pernyataan.

"Alhamdulillah, Mas! Sampean juga semakin sehat!" Aku tak bisa tidak tersenyum melihat wajahnya yang semakin terlihat segar itu.

Dia terkekeh, "Iya Alhamdulillah"

"Mas, dua minggu lagi berangkat ke Inggris, ya?"

"Eh iya" jawabnya lantas membenarkan kacamata yang aku tahu tidak perlu dibenatkan. Dia sedang tidak nyaman atau grogi.

"Selamat yaa, akhirnya bisa lanjut S2 di Eropa. Bener-bener di Eropa, di tiga negara lagi" tambahku yang memang sangat bangga karena dulu aku juga membantu mencarikan program S2 mana yang cocok untuk Mas Memet.

"Makasih ya, Lan. Udah mau bantuin browsing program, udah mau maksa dan kontrol aku buat ikut ILETS Preparation sampe memastikan kalau aku bener-bener ngurus dokumen-dokumenku"

Ya aku ingat bagaimana susahnya membangkitkan semangat Mas Memet yang sangat malas dalam mengurus dokumen-dokumen bahkan sejah persiapan skripsi pun juga begitu.

"Sebenarnya mau kasih tahu kamu sejak dapet email, tapi yaaa gimana yaa, sungkan aku"

Ya kan, sama yang dibilang Arin kalau dia kemungkinan sungkan.

"Eh, jadi ikut fellowship ke Amerika, kan?" Tanyanya.

Mak lap! Jederrr!

"Eh iya Insya Allah!" Sebenarnya aku lupa tentang rencanaku yang satu itu.

"Harus pokoke, Lan. Eh di Surabaya berapa hari?" Tanya Mas Memet.

"Besok balik, Mas. Senin harus ngajar soal e. Hari ini saja aku ijin pulang duluan" jawabku.

"Wah kalau di sini agak lama mau tak ajak makan nasi babat di Ampel"

Yaa Allah aku kangen makan nasi babat di Ampel.

"Nanti aja toh, mas? Sama yang lain" tawarku yang segera ku sesali. Karena kami tidak ada yang membawa kendaraan sendiri.

"Oh iya boleh. Sekalian aja ikut aku, aku bawa mobil' dia terlihat senang.

Terima kasih pada Arin, Mbak Tika dan Mbak Agnes yang rese menyuruhku duduk di depan dan lalu menjadikan aku dan Mas Memet bullyan membuat Mas Memet mati gaya dan itu sangat lucu untukku.

Terima kasih pada Mbak Tika yang menggiring topik pembicaraan pada rencana keberangkatan Mas Memet ke Glasgow. Jadi, obrolan kami malam ini lumayan berfaedah.

Interval [COMPLETED||LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang