Diterima

13 0 0
                                    

Semalam, setelah seharian kemarin aku menenangkan pikiran di kamar karena tak percaya bahwa lamaran beasiswa S2-ku diterima -yang sebenarnya aku juga masih belum sepenuhnya percaya- aku mengajak Mama dan Ayah untuk mengobrol sambil menonton TV.

"Ma! Yah! Aku dapet beasiswa S2" ucapku setelah bingung mau memulai bagaimana, karena Mama adalah Ibu yang protektif, nggak tegaan dan gampang kangen.

"Alhamdulillah!" Mama memelukku erat setelah diam sebentar. Sedangkan Ayah tersenyum bangga.

"Yang mana yang diterima?" Ayah, salah satu orang yang tahu tentang lamaran-lamaran beasiswaku selain Lani dan dua kakakku bertanya.

"Yang Eropa" jawabku sambil memperhatikan Mama yang kepalanya mendongak masih memelukku erat.

"Alhamdulillah!" Kali ini tahmid Mama lebih keras dan pelukannya semakin erat. Beberapa detik kemudian terdengar suara isakan dari mama.

Ayah mengelus punggung Mama dan matanya juga mulai berkaca. Sedangkan aku, mulai menangis karena melihat kedua orangtuaku menangis bahagia.

Satu jam kemudian, setelah menenangkan diri, Mama menelpon kedua kakak perempuanku dan dengan isakannya memberi tahu kalau adik mereka mendapat beasiswa ke Eropa.

"Kamu kok nggak bilang ke Mama dulu sih, Met! Kan satu rumah.." Mama kembali beringas.

Kedua kakak perempuanku memang sudah kuberi tahu lebih awal untuk memastikan bahwa aku tidak salah baca email.

"Mas Met! Kapan kita buka di gofood? Banyak yang tanya nih! Banyak yang pengen delivery seblak spesial" tanya Angga yang sedang merapikan peralatan kopinya.

"Besok tak urusnya, Ngga. Makanan pedes memang menjanjikan. Apalagi kalau rasanya enak, tambah menjanjikan. Bakal terus dicari"

"Iya mas! Kayaknya bakal bagus kalau fokus ke makanan pedes gitu deh"

"Fokus kopi juga Ngga. Kopi susu gula arenmu kemarin pas dicoba enak gitu. Coba deh minta tolong kakakmu yang di sulawesi buat carikan supplier"

"Udah dicariin sih, mas. Tapi, beneran nih masukan ke menu? Aku sih nggak ragu buat kopi kekinian tapi ya itu aku kan dalam misi mengenalkan kopi nusantara, mas"

"Nggak papa masukkan aja, kan nggak semua suka kopi hitam yang macemnya buanyak itu. Lagian budaya minum kopi Indonesia kan nggak ada bentuk pasti. Tapi, yang pasti itu budaya konsumsi Indonesia itu mengikuti tren. Kita ikuti tren minum kopi sekarang aja, kan nanti kamu juga bisa bikin kopi buat orang banyak"

"Asiyaaaapp!" Ucap Angga dengan senyum yang tidak mempesona.

"Eh, Ngga! Beasiswaku lolos"

Angga seketika berhenti bergerak, memandangku dengan mulut terbuka dan mata berbinar yang kupastikan tidak ada yang menyebutnya bagus.

"Selamet yaaaa masku!" Entah kapan larinya, Angga sudah memelukku dan bukannya aku terharu seperti semalam saat dipeluk Mama, justru pelukan Angga membuatku jijik.

"Nggak usah bilang-bilang Lani!" Peringatku pada Angga yang sudah membuka ponselnya dengan senyum 'aku-punya-kabar-bagus' dan membuat Angga memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku celana.

"Nanti bakal tak kasih tahu sendiri"

Iya??

Lagian ngapain ngasih tahu Lani?

Lani kan yang bantu siapin dokumen-dokumen ente dulu!

Tapi kan udah putus. Ente juga kalau balas stori dicuekin gitu.

Tapi kan nggak papa ngasih tahu temen.

Kalian nggak temen, kalian itu mantan pacar.

Aku pusing sendiri karena di kepalaku debat batin semakin brisik. Oke, saatnya pengambilan keputusan dilakukan secara sistematis.

Pertama, kenapa Lani perlu tahu? Jawabannya karena Lani berjasa dalam mempersiapkan keperluan dokumen dan yang utama sebagai tim marah-marah. Kedua, kenapa Lani tidak perlu tahu? Jawabannya, karena Lani mantan? Ketiga, apa yang akan terjadi jika kamu memberitahu Lani? Jawabannya, dikasih ucapan selamat dan mungkin bisa memperbaiki komunikasi lalu hubungan kami semakin baik -bukan balikan-. Keempat, apa yang akan terjadi kalau kamu tidak memberi tahu Lani? Jawabannya, aku akan kepikiran dan galau.

Oke, jadi, kapan mau ngasih tahu??

Nggak tahu.

Omongo dewe, cuk!

Aku bisa menyapanya lewat komen stori di instagram atau whatsapp. Tapi sudah beberapa minggu ini aku berhenti komentar di storinya.

"Mas, nanti malam festival musik sekolahnya Lani loh"

"Oh ya ta?"

Angga mengangguk, "Tuh di stori instagramnya ada posternya"

Pasti Lani sedang pusing saat ini, tidak doyan makan, tidak nafsu ke mana-mana. Tahun lalu, saat kami masih berpacaran dan aku membantu Lani mengaransemen lagu untuk penampilan dan grand opening, Lani bahkan sudah nervous sejak lima bulan sebelum acara. Siangnya sebelum acara, Lani semakin grogi karena dia sebagai divisi acara serta penanggung jawab penampilan, tak punya waktu istirahat banyak, terlalu banyak berpikir, belum percaya pada rekan kerjanya, dan merasa acara tidak akan baik-baik saja. Tapi nyatanya acara berjalan dengan lancar, teratur dan sempurna. 99% yang ditakutkannya tidak terjadi. Tipikal Lani.

Aku tak tahu bagaimana nasibnya di festival tahun ini. Siapa yang membantunya mengaransemen lagu? Apa dia masih diberi tanggung jawab dobel-dobel? Apa anak-anak bisa diajak kerjasama dan tidak banyak bercanda? Karena Lani akan marah kalau ada yang bercanda saat dia sedang bad mood. Semoga 99% apa yang ku khawatirkan tidak terjadi.

Tak biasanya Lani membuat stori di whatsapp. Bahkan kukira aku sudah diblok dari update stori whatsappnya. Mau langsung kubuka tapi kok kesannya semangat banget. Tapi memang nyatanya aku semangat dan gatal ingin membalas storinya.

Setelah menunggu 3 jam dan waktu sudah menunjukkan ba'da isya, aku buka stori Lani. Sebuah foto persiapan sound check tadi sore.

Waaah sukses ya acaranya!
Enjoy the show!

Kutekan tap tanda kirim pesan dan tempo jantungku naik dari normal menjadi 120 dengan birama 2/2.

Damn! Sudah dibaca dan aku langsung keluar dari aplikasi. Satu menit, dua menit, tiga menit, Lani tidak membalas.

Trus gimana mau ngobrol bahas beasiswa dan bilang terima kasih?

Interval [COMPLETED||LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang