Saru

9 1 0
                                    

Memasuki Warung Kopi, sebuah cafe sederhana yang aku dan Angga buat di sebuah rumah yang kami kontrak bersama, aku disambut Angga dengan senyum beserta panggilan sayangnya untukku "Hey, Cok!"
Panggilan yang sering dia lontarkan sejak awal dibukanya kafe kami ini di awal desember lalu itu untuk menghiburku karena ucapan 'cok' yang keluar dari mulutnya tidak terdengar seperti semestinya, 'cok'-nya Angga lebih seperti cok pada kata Ucok dan stakato. Entahlah sudah hampir 5 tahun di Surabaya tapi kok bilang cok saja belum fasih. Mungkin itu sebab dari keluarganya yang sebagian besar di luar pulau, dia SMP di Jakarta dan saat SMA di Bandung. Baru saat kuliah saja dia belajar bahasa Jawa, apalagi teman-teman kampusnya juga lebih banyak berbahasa Indonesia daripada berbahasa jawa atau bahkan Surabaya. Sungguh sayang sekali meskipun dia bukan satu-satunya anak perantau yang seperti itu. Buktinya aku punya teman seangkatan asli Bojonegoro yang sampai pulang ke Bojonegoro lagi juga tidak bersuara 'Surabaya' padahal Lani yang asli magelang saja bisa berganti aksen dengan cepat dari Suroboyoan ke Magelangan ketika mengangkat telepon dari Ibunya saat tengah mengobrol dengan teman-temanya.

Beruntungnya dia bertemu aku dan anak-anak band JIASA empat tahun lalu di sebuah cafe langganan kami di mana Angga adalah barista di sana. Dia yang memang supel mengenali kami yang merupakan satu fakultas namun beda jurusan langsung saja mengajak ngobrol sambil membuatkan kami kopi. Dan sejak saat itu dia mulai belajar berbahasa jawa dan mulai paham walaupun selalu menanggapi dengan bahasa Indonesia.
Masalah 'bahasa' ini yang selalu menjadi hal yang sukai karena Surabaya menjadi salah satu kota yang banyak menampung anak rantau. Sebenarnya aku juga tidak berpikiran bahwa siapapun yang di Surabaya harus bercakap seperti orang Surabaya. Justru aku senang melihat temanku yang tidak kehilangan identitasnya sebagai orang Bojonegor tulen. Tapi, melihat Lani dan beberapa temanku yang juga mengalami culture shock di Surabaya -yang masih banyak orang berpikiran kami terlalu kasar- akhirnya bisa membaur dan tak kehilangan identitas saat mudik itu adalah suatu yang unik.

"Sinau neh ta, Ngga. Kurang mantep iku cok e" (Belajar lagi dong, Ngga. Kurang mantap itu cok-nya)

"Iyaa iyaaaa. Nanti tak belajar lebih giat lagi" katanya sambil mengulas senyum dan mempersiapkan.

Adanya cafe ini sebenarnya ide Angga. Dia yang ingin sekali membuka coffee shop karena dia sendiri sangat suka dengan kopi. Aku sendiri tidak terlalu minum kopi, kalau benar-benar ingin saja baru minum. Tapi, aku dari dulu ingin sekali membuat ruang yang bisa dibuat diskusi, rapat, atau sekedar hang out dengan budget yang sangat terjangkau. Sebenarnya tempat seperti itu sudah banyak di Surabaya, tapi yang benar-benar terjangkau dan nyaman itu tidak banyak. Beruntung ada rumah salah satu saudara yang akan dikontrakkan karena akan pindah ke Jakarta. Bukan rumah yang besar sebenarnya. Hanya rumah standar lantai satu dengan dua kamar. Tapi setelah usaha berpikir bersama Angga, rumah ini bisa menjadi cafe yg lumayan bagus.

Teras kami buat lesehan, begitupun ruang tamu, bar Angga diletakkan di dapur yang langsung berhadapan dengan ruang tamu. Dua kamar kami kosongkan isinya agar bisa dijadikan lesehan atau ada keperluan untuk rapat bisa dijadikan tempat rapat. Beruntungnya lagi kami punya teman banyak, jadi tidak susah untuk mengenalkan kafe ini.

Menu di kafe kami ini memang tidak spesial spesial amat. Menunya hanya hal-hal yang kebanyakan aku dan Angga sukai. Seperti segala macam kopi panas atau dingin, seblak, indomie, baso aci, nasi gila, ayam geprek.
Angga sendiri yang membuat resep seblak dan baso aci, alhamdulillahnya seblak menjadi favorit sejak dibuka meski baso aci-nya kurang mantap. Untuk nasi gila sendiri, Mamaku yang membantu membuatkan resep, sampai saat ini proses pembuatan lauknya masih di rumahku, setelah jadi baru aku bawa ke kafe. Untuk ayam geprek, resep ayam krispi kakak perempuanku yang pertama sangat membantu lakukanya ayam geprek di sini.

"Kemarin pas malam tahun baru jadi ke mana aja, Mas?" Tanya Angga padaku yang sedang membersihkan dapue setelah meletakkan lauk nasi gila.

"Ke kamar mandi dua jam sekali. Kayaknya sih" jawabku.

"Oalah jomblo sih ya"

"La emang kamu makhluk apa kalau nggak jomblo?" Serangku balik.

"Aku itu single mas, karena single itu pilihan dan jomblo itu nasib" jawabnya dengan angkuh.

"Iya iya nasibmu nggak dipilih, kan?" aku mengejeknya.

"Ah kalau ngomong suka bener ya kamu, Cok" jawabnya sambil agak kemayu.

Menghabiskan hari hari dengan Angga itu tidak akan pernah ada diamnya. Dia akan selalu bercerita apa saja. Dari enaknya kopi bali yang beraroma jahe, dan yang selalu dia tawarkan padaku untuk kucoba, atau bagaimana cerewetnya Ibunya kalau melihat siapapun dari anak-anaknya sedang mencuci piring yang biasa membuat lantai basah, atau bahkan kakaknya yang nomor tiga semangat sekali kuliah sedangkan dia mau kuliah saja sudah diluar ekspektasi. Tapi, Angga selalu membawa aura positif di sekelilingnya. Karena tak pernah aku mendengar dia mengeluh -ecuali masalah tugas kuliah- selama aku mengenalnya.

Angga juga anak yang sangat aktif di kegiatan selain perkuliahan, kegiatan yang katanya sih bisa membuatnya lupa akan beban tugas kuliah. Karena dia suka jualan sejak SMA, dia paling suka kalau ditempatkan di bagian-bagian yang menjual sesuatu dan bertemu orang banyak. Mulutnya itu, ketika menawarkan barang bisa membuat kegaduhan atau kelucuan, bergantung ide yang melintas di kepalanya.

Membuka kafe ini setelah resmi keluar dari tempat bekerjaku bulan September lalu mungkin tidak aku lakukan kalau bukan bersama Angga. Dia anak yang selalu punya ide, selalu berani mengambil resiko untuk mencoba hal baru dan selalu percaya bahwa ketika keputusan sudah dibuat, sudah pasti akan ada jalan jika pun akan ada rintangannya. Determinasinya memang sangat tinggi.

Berbicara determinasi, Angga dan Lani ini dua orang yang bertipe sama. Keduanya sama-sama yakin bahwa keputusan yang diambil tidak akan berakhir buruk, tapi akan menunjukkan plot twist yang baik. Contohnya kalau kata Angga 'Jika kafe ini tidak berhasil, pasti kami berdua akan belajar banyak dibanding kami tidak pernah membuka sama sekali' yang aku harapkan ini akan berhasil dan kami juga akan belajar banyak.

Siapapun yang mendengar kata-kata Angga pasti akan berbikir bahwa Angga ini nekat dan terlalu optimis, padahal sebenarnya dia adalah orang yang selalu berinovasi, selalu mengajak berpikir setiap akhir minggu tentang bagaimana minggu kedepannya kafe ini dijalankan. Dia yang selalu mengajakku untuk berpikir dan berevaluasi.

Sama halnya dengan Lani, dia tidak pernah merasa salah jurusan. Dia yakin di Surabaya mendapat sesuatu yang besar dan dia merasa beruntung dipertemukan dengan teman-temannya. Dan entah dia beruntung atau tidak pernah bertemu dan bahkan pacaran denganku.

"Mas!" Panggil Angga lagi membuyarkan ingatan sebentarku tentang Lani.

"Gimana? Udah apply?"

"Apanya?" tanyaku bingung.

"Yang dulu sama Mbak Lani itu loh!"

'Jancik!' pisuhan itu keluar di dalam hati.

"Udah ta?" Tanya Angga lagi.

"Udah pas pertengahan desember kok" jawabku.

"Ya udah alhamdulillah kalau gitu"

Sejak putus dengan Lani, Angga sepertu mengambil alih pekerjaan Lani yang selalu mengecek tentang progres rencanaku yang dulu Lani dengan semangatnya membantu meyakinkanku -lebih pada memarahiku- hingga rencana itu bukan hanya sebagai rencana.

Dan bukannya cepat move on, aku justru lebih sering mengingat Lani. Bisa-bisa sendok garpu nanti juga bisa mengingatkan pada mantan. Aku harus punya determinasi untuk move on dari ingatan romantisasiku dengan Lani. Mungkin saatnya aku belajar lebih giat lagi tentang determinasi pada Angga atau Lani? (LAGI?)

Interval [COMPLETED||LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang