Hari minggu kali ini rumah semakin ramai, kedua kakak perempuanku pulang ditambah kakak sepupuku dan keponakanku yang masih on the way. Karena ini adalah hari kumpul-kumpul sudah bisa dipastikan kalau Mama semangat untuk ngomel ke sana-sini dan berikan tips buat kakakku yang pertama.
"Jangan belanja perlengkapan bayi dulu, nanti aja kalau udah delapan bulan. Mama bisa temenin. Soalnya katanya temen Mama nggak baik beli keperluan bayi kalau belum tujuh bulan" nasehat Mama untuk kakakku yang pertama saat kami sedang menonton TV.
"Iya Mama cantik" jawab kakakku dengan senyum bahagia.
"Mulai sekarang jangan naik motor sendiri, minta anter, kalau kerja minta anter jemput juga"
"Santai Mama, sejak trimester pertama udah antar jemput kok" jawab kakak dengan memandang dan mengelus rahang suaminya yang sedang asik main ponsel di sampingnya.
"Kamu kapan ngenalin pacar ke Mama smaa Ayah?" Tanya Mama pada kakakku nomor dua yang baru saja duduk.
"Baru dari WC udah ditanyain nikah" jawab kakaku nomor dua dengan jutek, seperti biasanya.
"Mama udah sering tanya loh" Mama mulai kesal.
"Ya aku loh udah sering jawab juga" Kakakku tak mau kalah kesalnya.
"Masih belum ada?"
"He'em" jawab kakakku masih dengan nada masih kesal.
"Kembaranmu aja sudah mau mbrojol gini, masa kamu belum ngenalin pacar sih. Kerja udah mapan, udah mulai nyicil rumah juga. Nunggu apa lagi"
Kedua kakak perempuanku memang kembar tapi tidak identik. Kakak pertama lebih mirip Ayah dan yang kedua mirip Mama. Mungkin itu sebabnya Mama dan kakakku yang kedua hobi sekali ribut, bahkan hal-hal kecil.
"Ya nunggu jodohnya lah, Ma"
"Nunggu terus nggak dicari ya gimana mau ketemu. Mbokyo jangan terlalu milih-milih lah"
Suasana semakin memanas.
"Daripada asal milih.."
"Ayo gofood pizza! Ayah pengen pizza dari kemarin" ucap Ayah yang muncul dari kamar sambil memainkan jarinya pada layar ponsel, yang sebenarnya adalah cara untuk menghentikan perang Mama dan kakakku yang kedua sebelum benar-benar dimulai.
"Sini aku aja yang pilih!" Ucap kakakku yang kedua lantas mengajak Ayah untuk keluar dan duduk di teras.
Kakakku yang kedua memang cukup emosional dan mudah sekali dibuat marah atau diajak ribut tapi sebenarnya dia orang yang baik dan paling perhatian diantara siapapun di rumah ini. Dia yang selalu ingat ulang tahun Mama dan Ayah. Yang sering pulang setiap weekend meskipun sudah punya rumah sendiri. Yang bakal terus di rumah kalau Mama atau Ayah sakit.
Pada dasarnya kami, tiga bersaudara, memiliki respon yang berbeda terhadap antusiasme Mama dalam segala hal. Kakak pertama lebih kalem, seperti ayah tapi cukup responsif. Dia selalu merespon apapun yang dikatakan Mama dan jarang sekali membuat Mama marah. Paling bisa untuk minta maaf kalau salah dan bisa menjelaskan dan memberi pengertian kalau Mama yang salah.
Kakakku yang kedua, paling tidak bisa tidak ikut emosi kalau terpancing. Anti mengalah kalau Mama jelas salahnya dan dia jelas menangnya. Responnya selalu membuat Mama semakin marah dan Ayah harus meredakan suasana karena kakakku lebih dekat dengan Ayah.
Sedangkan aku sendiri, lebih memilih pergi kalau Mama mulai mengomel dan aku sedang capek, kecuali kalau Mama mengomeli kakak keduaku, seperti tadi, karena sebenarnya mereka berdua itu lucu kalau sedang marah-marah.
Pertanyaan seputar pernikahan memang sangat sensitif, aku belum pernah merasakan bagaimana menyebalkannya pertanyaan seperti itu. Karena, kalau ada keluarga atau teman Mama iseng tanya tentang pacar atau kapan mau menikahkan anaknya yang paling ganteng ini, Mama selalu bilang "Laki-laki mah nggak papa nanti nanti lah"
Sayangnya kakakku adalah perempuan, bukan laki-laki yang punya waktu lebih panjang untuk melajang. Apalagi sekarang umurnya sudah 29 tahun dan beberapa keluarga sudah mulai menanyakan kapan dia menikah karena seperti yang Mama bilang tadi dia sudah punya rumah sendiri, sudah kerja mapan juga.
Sebenarnya kakak keduaku sempat berpacaran dua tahun, tapi hanya aku dan kakak pertamaku yang tahu karena alasan perbedaan rumah ibadah. Dua tahun itu waktu yang cukup untuk membangun motivasi menuju pernikahan, apalagi saat itu kakakku sudah dewasa secara psikologis. Tapi, karena memang perbedaan rumah ibadah adalah hal yang kompleks, kakakku dan pacarnya menyerah lalu memutuskan untuk berpisah, hanya beberapa bulan sebelum aku dan Lani putus.
**
"Wifi e lemot a?" Kakak keduaku tiba-tiba membuka pintu kamarku, bukan sesuatu yang baru kalau dia suka asal nyelong masuk kamarku. Katanya kalau belum nikah mah nggak masalah.
"Lancar kok" jawabku masih asik main game cacing yang ternyata sangat adiktif.
"Yaopo warkopmu?" (Bagaimana workopmy) Tanya kakakku setelah ikut berbaring di sampingku.
"Alhamdulillah lancar kok, udah bisa pesen seblak di gofood kalau temen-temenmu mau pesen"
Kakakku diam, tidak ada respon atau pertanyaan lain. Kuperhatikan dari ekor mataku, dia memandang langit-langit kamar dan terlihat sedang berpikir. Kuputuskan menghentikan permainan dan mengikhlaskan cacingku yang sudah sepanjang 3 juta sekian itu mati.
"Galau a?" Tanyaku karena aku sendiri tidak tahu harus tanya apa selain itu.
"Tak kira kamu loh yang bakal nikah duluan eh la kok tiga bulan setelah aku putus kamu juga putus. Padahal kamu sama Lani itu cocok banget loh, kelihatan kompak"
Kurang ajar! Situ yang galau, malah ngajak orang lain galau.
"Kalau kenalanmu ada yg jomblo, boleh lah kenalin, Met"
Aku tahu kakakku ini setengah desperate karena merasa tidak pernah bisa cari pacar yang 'bener' sejak SMA. Itu yang selalu dia ucapkan setiap kali galau.
"Angga jomblo, gelem a?" (Angga jomblo, mau?)
"Jancik! Yo gak Angga sisan lah" (Jancik! Ya nggak Angga juga kali"
"Kapan hari itu katanya kamu ditanyain mau nggak dikenalin sama temennya mas...."
Belum juga selesai kalimatku sudah diputus
"Yo lak ditanya gitu ya aku jawab nggak lah. Takut aku kalau ditawari untuk dikenalkan sama orang. Mending dikasih surprise apa gimana gitu, dikenalkan tapi nggak kelihatan kalau mau dicomblangin. Kan ngga takut"
"Kayaknya emang nggak bisa milih pacar yang bener aku tuh. Pas SMA sama pas kuliah dapet pacar psyco, pas dapet yang baik eh LDR rumah ibadah. Perlu dicomblangin aja deh kayaknya. Kamu boleh nyomblangin, tapi jangan sampe Mama atau Ayah atau tetua keluarga yang nyombaling, salah pilih nanti"
Segera mungkin aku harus diskusi dengan kakak pertamaku.

KAMU SEDANG MEMBACA
Interval [COMPLETED||LENGKAP]
ChickLitSEMUA PART MASIH LENGKAP PERJALANAN MENUJU MOVE-ON Paska putus, Lani dan Memet tinggal di kota masing-masing. Lani di Magelang sedang Memet di Surabaya -Sebenarnya sebelum putus pun mereka sudah tinggal di kota masing², hanya saya waktu itu mereka m...