Buwuh

8 0 0
                                    

"Udah tahu mau ke kondangan kok nggak dari tadi pagi disetrika. Udah tahu juga Mama nggak ke mana-mana hari ini", dan seterusnya dan seterusnya.

Sudah biasa mendengar Mama mengomel bahkan karena hal-hal kecil tidak akan melunturkan niatku untuk minta tolong pada Mama untuk menyetrikakan baju batik yang baru ku beli tadi siang. Lagian, aku harus bilang apa sama Mama, tidak mungkin juga aku bilang, "Iya, Ma maaf! Niat e nggak mau buwuh soal e Lani pasti datang. tapi setelah dipikir-pikir ya buwuh aja karena siapa tahu Lani datang", sudah pasti mataku akan diculek bolak balik.

Tapi namanya juga Mama, mau sebal bagaimanapun, ketika aku meminjam mobil Ayah yang pasti diberi restu dengan santai, Mama akan tetap cerewet ketika mengantar kepergianku di depan rumah.

"Ati-ati! Ojok ngebut! Gak lali kan kunci e?"

Yaa Allah! Aku sudah enam tahun punya sim, tak pernah benar-benar ngebut, dan aku 26 tahun. Bagaimana nanti ketika Mama mengantar keberangkatanku ke Glasgow di bandara yang tinggal beberapa minggu itu?

Oh iya aku belum memberitahu Lani tentang Glasgow.  Sudah lebih dari satu bulan sejak terakhir aku membalas story whatsapp-nya yang hanya dibalas stiker lucu. Itu adalah komunikasi terakhirku paska putus dengannya. Mau memberi tahu langsung saat setelah email penerimaan beasiswaku, aku maju mundur, dan memutuskan untuk memberitahu Lani face to face setelah konsultasi dengan Arin, sahabatnya. Yang sebenarnya konsultasiku dengan Arin pun tidak sengaja. Itu terjadi ketika Arin mampir ke Warung Kopi sepulang dari kerja hanya untuk ngobrol-ngobrol sambil makan seblak ala Angga dan saat itu embernya Angga sedang kumat.

"Kapan mau kasih tahu Mbak Lani, Mas?" Todong Angga saat menyuguhkan seblak spesial pada Arin.

"Kasih tahu apa?" Tanya Arin

"Loh! Kamu juga belum tahu?"

Ya mau nggak mau aku ceritakan saja dari awal sampai aku maju mundur mau memberi tahu Lani. Kata Arin sih mau kasih tahu atau tidak ya sama saja, nanti kalau Lani tidak dikasih tahu ya pasti Arin yang akan beritahu. Namanya yaa wanita mana bisa jaga rahasia sama sahabatnya sendiri.

"Tapi aku biasanya sih ngasih tahu kalau lagi face to face, kalau udah ketemu dan ngobrol gitu, Mas" kata Arin.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir ya kenapa aku tidak memberi tahu Lani sendiri saja? Tapi kenapa Lani harus diberi tahu juga? Ya begini nih kalau jadi mantan langsung long distance, coba kalau Lani masih di Surabaya pasti gampang lah ngobrol-ngobrol kaya teman lagi.

Sesampainya di gedung paling indah di Surabaya timur, yang aku sudah tidak heran lagi dengan keberadaannya karena hampir setiap hari lewat sekitar sini, pun aku juga tak heran jika Nita dan Ismet menikah di gedung sebagus ini karena keluarga mereka.... Ah sudah lah tidak penting juga membayangkan sekaya apa keluarga Nita dan Ismet, pun ada yang lebih penting untuk dilakukan.

"He, Met!" Diki, teman seangkatanku dan Nita, menyapaku saat setelah keluar dari mobilnya, bersamanya tiga orang yang juga satu angkatan dengan kami, Maya, Gio dan Ridwan.

"He! Yaopo kabare?" (Bagaima kabarnya) tanyaku menyalami mereka satu persatu.

"Eh jare ate S2 nang luar negeri, yo?" (Eh katanya mau S2 ke luar negeri, ya?" Tanya Maya yang sudah pasti ditujukan padaku.

"Hehe iyo, May" (Iya May) jawabku sedikit malu karena banyak yang mulai tahu, lalu diberi selamat oleh Gio,Ridwan, dan Diki.

"Loh ayo, Met!" Ajak Diki saat aku masih berdiri di samping mobilku ketika mereka berempat sudah mulai berjalan meninggalkan parkiran.

"Ndisik o wae! Aku sik onok urusan" (Duluan aja! Aku masih ada urusan) yang tak ditanggapi apa-apa oleh mereka.

Sebenarnya urusanku cuma satu, memastikan tidak terlihat oleh Lani, kalau dia datang.

Interval [COMPLETED||LENGKAP]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang