dua belas

1.1K 87 2
                                    

"Kenapa bawa aku ke sini, sih?" Gerutu Raya, merengut kecil dan bersembunyi di balik bahu Azam, menenggelamkan kepala di dada pemuda itu.

Azam tersenyum tipis, pemuda itu melepaskan jaket boomber yang membalut tubuhnya dan menyampirkannya di kedua pundak Raya. Pemuda itu meraih lengan Raya, memaksa Raya mengenakan jaket miliknya.

"Gue kangen tante Vanya," jawab Azam, mengggenggam erat tangan Raya yang dingin, mencoba menyalurkan kehangatan untuk gadis itu.

"Tapi udah tengah malem, Kak, gelap," cicit Raya, memberanikan diri memeluk lengan Azam. Tapi pemuda itu terlalu peka, merengkuh bahu Raya dan memeluknya.

Tubuh Raya bergetar kecil. Antara dingin dan takut yang menyatu. Raya kira si bar-bar Azam akan membawanya balap liar, ke tongkrongan malamnya, atau minimal minum di tempat tiggal Azam ditemani oleh rokok, tapi nyatanya malah membawanya ke salah satu tempat pemakaman umum Bandung. Tepat tengah malam seperti ini.

Ya gimana Raya gak takut?

Gelap aja gak berani, ini malah diajak datang ke TPU.

"Kak, besok aja, ya? Kita pulang sekarang," rengek Raya. Ingin menangis saja rasanya.

"Gue tau lo kangen banget sama Mama, Raya." Azam mengusap bahu Raya menenangkan. "Gue gak yakin selama gue gak ada lo datang ke Mama, karena gue tau banget lo penakut dan lo gak bakal berani datang sendiri."

Raya menunduk, membalas pelukan Azam. Pemuda itu benar. Selama ini Raya jarang sekali mengunjungi Mamanya. Sekalinya datang pun pasti ditemani oleh Yersa. Raya menangis, menyesal karena telah gagal menjadi anak. Seharusnya walau Mamanya sudah tidak ada, tapi Raya harus selalu ada untuk Mamanya. Harusnya Raya, setidaknya, datang satu kali dalam satu minggu untuk Mamanya.

"Udah dong jangan nangis, Raya kan kuat," bujuk Azam, masih mengusap bahu gadis itu.

Gadis yang sama saat pertemuan pertama mereka.

Gadis yang sama seperti sebelum Azam pergi.

Gadis yang sangat rapuh.

"Udah ayok," ajak Azam, menarik Raya perlahan dan berjalan menyusuri pinggiran gundukan tanah yang berjejer dengan batu nisan di setiap ujungnya dengan bantuan senter ponsel sebagai penerangannya.

Langkah keduanya berhenti di barisan makam yang ada di pinggir. Azam berjongkok di depan makam Vanya diikuti oleh Raya yang masih menangis melawan rasa takutnya.

Hening.

Azam sengaja tak membuka suara, membiarkan Raya bergelut dengan pikirannya. Azam hanya berusaha menenangkan tubuh bergetar Raya, mengusap bahu gadis itu dan tidak melepaskan genggaman tangannya.

Tangan mungil Raya perlahan terulur, mengusap nisan milik Vanya dengan lembut.

"Mama," lirih Raya. Ia semakin bergetar. Bukan karena takut, tapi karena tak kuasa menahan sesak. Sedikit demi sedikit kerinduannya meluap.

"Mama apa kabar di sana?" Tanya Raya. Mengelus lembut nisan itu, dan membayangkan bahwa Mamanya lah yang kini ada di hadapannya.

Raya menarik nafas panjang, menahan isakannya.

"Ma Raya minta maaf." Kalimat Raya terjeda sesaat gadis itu mengambil nafas. "Raya gak bisa jadi gadis yang Mama impikan. Bahkan Raya gak bisa menjaga mahkota Raya sendiri."

Raya tertunduk dalam.

"Sejak Mama pergi, gak ada lagi yang sayang sama Raya, gak ada lagi yang nyiapin peralatan sekolah Raya, gak ada lagi yang ngajarin Raya, gak ada lagi yang nyisirin rambut Raya, gak ada lagi peluk Raya, gak ada lagi yang nyanyiin lagu pengantar tidur buat Raya, gak ada lagi yang ngecup pipi sama kening Raya," adu Raya tersendat-sendat dengan suara bergetarnya itu.

Raya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang