dua puluh sembilan

906 51 4
                                    

Hari demi hari sudah berlalu, semua berjalan seperti biasa.

Raya datang ke sekolah, memalak coklat dari Alan, melakukan pelanggaran dan berhadapan dengan Dino, main skateboard di rooftop, mengganggu ketenangan orang-orang kelas XII.Mipa.1, bolos di UKS, menggoda Pak Nandra dan Mbak Devi, dan bercanda tawa seperti biasanya.

Bahkan Raya tersenyum pada Yersa dan Raka, dan senyuman Raya membuat kedua orang itu merasa sangat terluka sekaligus membuat mereka merasa bersalah. Atau ketika Azam datang ke rumah untuk mengantarkannya berangkat sekolah atau datang ke sekolah untuk mengajak Raya pergi, gadis itu menolaknya dengan cara melontarkan kalimat-kalimat candaan. Pada dasarnya Raya memang murah senyum dan periang, terutama pada orang asing.

Raya benar-benar sudah mengubur semuanya.

Raya selalu menghindar ketika Yersa dan Raka berusaha mendekat dan berinteraksi dengannya. Hanya saja gadis itu tidak melakukannya dengan frontal. Sengaja, Raya tidak mau ada masalah baru. Setidaknya, tidak ada yang sadar bahwa dia sedang berusaha menjauh dari Yersa dan Raka.

Sore itu setelah jam pelajaran berakhir, Raya mengemasi perlengkapan sekolahnya dan langsung beranjak begitu saja melewati Yersa yang menatapnya penuh harap.

Untuk saat ini, Raya sedang membutakan mata, menulikan telinga, dan membisukan bibir. Tapi hanya satu yang pasti, hidup Raya yang bermain dalam dusta.

***

"Benarkah?" Kaget Bi Asih -wanita yang Raya temui di rumah sakit beberapa waktu lalu- saat Raya mengatakan bahwa Mama Vanya sudah tiada.

Raya berkedip cepat, menghalau air matanya agar tidak jatuh. Tapi wanita tua yang baik hati itu menarik Raya ke dalam pelukannya yang akhirnya membuat tangis Raya tidak terhalau.

"Saya minta maaf, saya gak tahu kalo Vanya telah tiada," sesal Bi Asih, merasa bersalah karena telah membuat Raya mengungkit hal yang paling menyakitkan baginya.

Raya menghela nafas panjang, menarik diri menjauh dan mengusap semua jejak tangisnya. Raya tersenyum kecil, menggeleng pelan seolah dia berkata tidak apa-apa.

"Raya," panggil Bi Asih, menatap Raya lekat. Melihat Raya begitu bersedih ketika mengungkit kematian Vanya, membuat Bi Asih ragu untuk memceritakan semuanya.

"Gak papa, kok, Bu. Raya beneran gak papa. Raya pengen tahu apa yang terjadi di masa lalu," kata Raya dengan wajah semeyakinkan mungkin.

Bi Asih menghembuskan nafas panjang, mendongkak menatap langit yang masih biru.

"Dulu, sebelum kamu lahir, saya adalah seorang perawat di rumah sakit tempat kita bertemu," kata Bi Asih mulai menceritakan.

Raya hanya diam menyimak, dengan tatapan mengikuti arah pandang Bi Asih. "Selain bekerja di rumah sakit, saya juga dulu sering bantu-bantu di panti asuhan."

"Di rumah sakit dan di panti asuhan itu, saya sering bertemu dengan Mama dan Papa kamu. Mereka berdua orang baik. Papa kamu, Pak Nurman, sangat sayang sama Vanya. Tapi sayang, Vanya gak bisa ngasih keturunan untuk Nurman. Mereka selalu bermain dengan anak-anak di panti itu."

"Hingga suatu hari, Vanya mengalami kecelakaan, dia dirawat di rumah sakit, dan untuk pertama kalinya Vanya hanya sendirian. Gak ada Pak Nurman di samping Vanya."

"Tapi ternyata, saat itu Pak Nurman berada di rumah sakit yang sama tapi di ruangan berbeda. Ruang bersalin. Dan kamu tahu, siapa yang sedang Papa kamu jaga?"

Raya menggeleng pelan.

"Ternyata, Pak Nurman sedang menjaga istri keduanya."

"I-istri kedua?" Tanya Raya gagap. "Seingat saya, istri kedua Papa ada ketika saya usia 4 tahun."

Raya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang