tiga

1.6K 125 0
                                    

Nayla yang sedang berkumpul dengan kedua orang tuanya --Nurman dan Marina-- di ruang keluarga, tiada henti-hentinya melirik ke arah pintu utama rumah. Seperti biasa, gadis itu sedang menanti kakaknya pulang cepat untuk bisa ikut berkumpul bersama mereka. Namun sama seperti hari-hari yang sudah berlalu, penantian Nayla berakhir dengan kembali menanti di esok hari. Sekarang sudah pukul 8 lewat 45 menit, namun belum ada tanda-tanda Raya akan pulang.

Nayla, gadis cantik berusia 16 tahun itu pernah merasakan indahnya hubungan persaudaraan yang begitu manis dan bahagia. Nayla pernah begitu disayangi oleh Raya. Pernah juga Nayla menjadi seorang adik paling beruntung di dunia karena memiliki kakak seperti Raya. Nayla pernah merasakannya dan kini gadis itu sangat merindukannya. Jika boleh memilih, Nayla ingin kembali pada masa lalu, pada masa di mana ada Raya yang tersenyum ke arahnya dan tidak akan pernah membiarkan senyumnya pudar begitu saja.

Nayla, gadis itu tidak tahu apa alasan kakaknya menjauhinya, bahkan hingga menjauh dari keluarga. Padahal dulu, seingat Nayla, Raya sangat dekat Nurman dan begitu manja pada sang papa. Namun kini, bahkan Raya seakan sering menghidar dari Nurman. Sengaja berangkat sekolah siang agar tidak bertemu dengan siapapun di meja makan dan pulang malam ketika semua orang sudah tertidur.

Nayla, gadis itu juga tak mengerti dengan topeng-topeng di wajah Raya. Entah mana Raya yang sebenarnya. Raya yang begitu dingin di rumah dan jarang berekpresi kecuali pada Bi Ati, sang asisten rumah tangga, atau Raya yang begitu ceria di luar rumah. Bahkan Nayla kerap melihat Raya tertawa lepas di sekolah.

Nayla Alisya Farandya. Gadis yang begitu malang. Hidup dalam kebencian sang kakak yang tak pernah ia ketahui jelas alasannya.

"Nayla," panggil Nurman membuatnya mengalihkan pandangan, yang semua menatap pintu kini menatap papanya.

"Tidur sana, udah malem, besok sekolah," titah Nurman.

Sesaat Nayla kembali menoleh penuh harap ke arah pintu, 5 detik Nayla diam, kemudian menatap papanya meragu. Nayla mengangguk kecil dan bangkit dari duduknya.

"Nayla ke kamar dulu. Selamat malam, Pa, Ma." Nayla mengecup pipi kedua orang tuanya bergantian. "Dan selamat malam, Kak," lanjut Nayla dalam hati.

***

Jika bertanya apa yang paling Raya suka, gadis berambut warna warni itu dengan lantang akan berkata, "pizza dua box traktiran Yersa, coklat dari Alan setiap pagi, segala makanan gratis dan hari libur." Namun jika yang ditanyakan adalah tentang apa yang paling Raya tidak suka, gadis itu dengan lantang akan berteriak, "kegelapan dan UPACARA!"

Raya sangat benci jika harus menjemur diri di bawah teriknya sinar matahari. Walau upacara bendera adalah salah satu cara menghargai jasa pahlawan dulu yang telah bersusah payah hingga menumpahkan darah demi bisa menaikkan sang Saka merah putih, tapi bagi Raya, menjadi siswi pintar sudah menjadi salah satu cara memperjuangkan kemerdekaan. Bagi Raya si pembuat onar namun penyandang juara umum pararel, percuma selalu ikut upacara di hari senin apabila masih sering bermain games dan fokus pada gadget. Karena menurut si pintar, itu sama artinya dengan tunduk pada jajahan bangsa asing secara tidak langsung. Raya memperjuangkan bangsa dengan caranya sendiri.

Maka dari itu, jangan heran mengapa saat ini Raya sedang berjalan mengendap-endap menyusuri koridor koperasi untuk menghindari upacara. Rebahan di uks adalah upacara paling nyaman versi Raya.

"Kak Raya?"

Raya tersentak, dia menoleh ke belakang dan mendapati Nayla yang sedang menatapnya. Sesaat Nayla tersenyum, namun hanya dibalas dengan delikan mata tajam.

Raya tak ambil peduli, dia melengos dan kembali melangkah menuju ke UKS. Di belakangnya, ada Nayla yang mengekor.

"Kakak mau ke uks?" Tanya Nayla, tak memperdulikan kecuekan Raya.

Raya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang