Satu

2.8K 146 0
                                    

"Tertawa adalah pengalihan terbaik dari luka."

×××

"Weeessshhh, santuy, sis, tenang euy tenang!" Teriak Alan heboh. "Iya, iya, 3A1 anaknya kalem semua woe tenang dong asu!" Geram Alan pada anak kelas XII.IPA.1, khusunya para gadis yang bersahutan berebut.

"Iya udah kalian duduk yang anteng gue bagiin anying susah banget sih diaturnya!" Alan mendengkus kesal.

"Gara-gara lo nih!" Tuding Alan kesal pada pemuda yang duduk tenang memejamkan matanya dengan kedua telingan disumpal earphone. Dia sama sekali tidak terusik oleh Alan, hanya menganggapnya angin lalu.

"Yaudah kalo gak mau duduk anteng, anak papa sini semua baris yang rapi!" Teriak Alan lagi, mengomando teman-temannya kemudian melangkah ke depan kelas dan berdiri di atas kursi kayu dekat papan tulis. Tangannya menenteng satu kantong plastik cukup besar berisi coklat.

Alan adalah duta coklat di kelas XII.IPA.1.

Ah iya, ngomong-ngomong soal coklat, walau Alan yang setiap pagi ribut membagikannya pada teman-temannya tapi coklat itu tidak murni dari Alan. Duta coklat kedua adalah Raka Giovano, pemuda yang tadi Alan salahkan. Raka adalah 'gudang coklat' bagi mereka. Jika berpikir Raka yang membelikan coklat itu untuk teman-temannya, maka jawabannya salah! Salah besar! Karena setiap pagi di kolong meja Raka pasti semuanya sudah tersedia. Coklat, secarik kertas berisi surat, bunga, sekotak kue, dan lainnya. Para fans Rakalah yang memberikannya, entah teman satu angkatan atau adik kelas. Mereka memang selebay itu.

Coklat adalah jatah pada gadis, sementara makanan lain adalah jatah para pria.

"Iya iya gue tau gue emang ganteng, jangan berebut buat tanda tangan gue, semuanya tenang dulu," heboh Alan kembali berulah dan membagikan coklat.

"Najis," ketus seorang gadis setelah menerima coklat dari Alan.

"Dini emang gak ada ahlak, udah dikasih bukannya bilang makasih malah ngatain," cibir Alan melengos, sudah biasa menjadi korban kepedasan mulut teman-temannya.

"AAALLLLAAANNNNN!" pemuda itu tersentak, dia menoleh ke arah pintu dan kembali melengos menatap seorang gadis yang baru masuk kelas, kini berlari kecil mendekatinya, menambah keributan kelas 3A1.

"Kenapa sih, yang suka histeris manggil gue itu preman berkedok bidadari." Alan mengumpat lirih.

"IYA SAAYYAAANGGGGGGG!" Balas Alan kemudian, namun tak dihiraukan oleh gadis tinggi itu.

"Jatah gue mana?" Tangan kecilnya terulur, sama seperti yang lain. Dia menyosong senyum manis, menatap Alan penuh harap dengan mata bulat berbinar dan berkedip cepat layaknya anak kecil.

"Ini nih buat Raya." Alan mengeluarkan dua coklat besar dan satu coklat putih dan diberikan pada Raya. Raya memang selalu meminta paling banyak, teman-temannya iya iya saja tanpa protes pada apa yang Raya dapat.

"Anak-anak papa jangan iri, ya, karena mama Raya dapat jatah paling banyak," seru Alan menenangkan yang lain yang hanya mendapat satu coklat, "Ini bonusnya buat Raya!" kemudian Alan menyerahkan setangkai bunga pada Raya yang Raya terima dengan baik.

"Aaaaaa, makasih banyak Alan!" Teriak Raya kegirangan kemudian melenggang dari depan kelas.

Raya mematahkan sebagian tangkai bunga mawar merah di tangannya. Matanya mengedar mencari mangsa, dia tersenyum begitu lebar menatap seorang pemuda yang terlelap di tengah bisingnya kelas. Raya melangkah pada bangku barisan 2, deret 2 dari kanan.

Gadis itu terkikik geli atas hasil kerjanya. Menatap Raka si wajah datar yang telihat menggemaskan dengan bunga mawar yang menyelip di telinga kanannya. Raka melengos, dia melepaskan sebelah earphonenya dan menatap jengah Raya yang selalu mengganggu ketenangannya setiap pagi.

"Ih Raka jangan dilepas," rengek Raya saat Raka melepaskan bunga dari telinganya.

Raka bangkit dari duduknya, menarik Raya agar duduk di meja dan dia hadapannya. Dia menatap lekat gadis berambut warna-warni ini dengan tatapan horor, namun tidak membuat Raya takut sama sekali. Raya justru nyengir lebar membuat Raka lelah sendiri.

"Jangan ganggu gue mulu." Akhirnya Raka bersuara. Pemuda itu mendekatkan dirinya, menyingkirkan rambut Raya yang digerai, kemudian menyelipkan bunga di tangannya pada telinga Raya. Melakukan hal yang tadi gadis itu lakukan.

"Makanya, Ka, kata gue juga kalo ada es batu tuh jangan dijadiin camilan, gini kan jadinya," sahut Raya setengah kesal dan melenggang dari hadapan Raka. Raya melangkah pada bangkunya yang ada di baris 4 deret 1 dari kanan.

"Pagi Yersa sayang." Raya mencuri kecupan di pipi kiri gadis berdarah Korea itu, gadis cantik yang tempat duduknya tepat di depan Raya. Gadis yang sedang memakan makanan sarapannya.

"Kebiasaan," cibir Yersa mengerucutkan bibir kesal, membuat Raya kembali terkikik. Mengganggu orang-orang 3A1 adalah kesenangan tersendiri bagi Raya.

"Biarin, suka-suka gue," sahut Raya cuek, kemudian mengambil kursi dan ditarik untuk duduk berdampingan dengan Yersa.

Raya dengan cuek mulai membuka kertas pembungkus coklat, matanya begitu berbinar menatap makanan kesukaannya. Ya walau, hampir setiap makanan pasti Raya suka, apalagi jika gratis.

"Yersa mau gak? Berdua sama gue," tawar Raya ditengah kunyahannya.

"Gue udah dapet." Yersa mengangkat coklat jatahnya, dia menoleh pada Raya dan menatap geli bunga yang terselip di telinga kanan Raya. Warna merah bunga mawar itu berpadu sempurna dengan warna merah-blue ocean- hitam- dan abu-abu rambut Raya yang diombre.

"Yersa pengen disuapin dong," pinta Raya menatap kotak bekal makanan berisi nasi goreng milik Yersa.

"Bayi gede!"

Raya membuka mulutnya, dia menyimpan coklat di tangannya kemudian menerima suapan dari sahabatnya yang begitu telaten. Raya ikut menikmati nasi goreng itu sampai tandas. Yersa tidak banyak protes. Dia kenal betul Raya si gadis periang yang begitu manja dan selalu bertingkah seperti anak kecil, tapi di balik itu semua, ada jiwa rapuh yang bisa hancur kapan saja.

***

Raya memudarkan senyum penuh kebahagiaannya dengan pedih. Gadis itu menatap sendu pagar rumah yang 3× lipat lebih tinggi dari tubuhnya dengan sendu. Raya turun dari skateboard yang selalu menjadi teman baiknya dan melangkah dengan berat hati, menenteng sebilah papan berodanya.

"Back to realita," gumam Raya pada dirinya sendiri. Gadis itu melangkah lebih dalam memasuki pekarangan rumah yang luas, hingga berdiri di depan pintu yang tertutup rapat.

Realita seorang Raya di balik segala kelakuannya. Saat satu langkah kakinya memasuki rumah, artinya Raya sudah melepas topeng kepalsuannya. Topeng penuh keceriaan, kebahagiaan, dan kesenangan yang sebenarnya hanya sebagai pengalihan. Di rumah ini, Raya menjadi dirinya sendiri. Raya yang dingin dan membenci semua yang berkaitan dengan dirinya sendiri. Raya membenci tuan rumah luas ini.

"Non Raya baru pulang?" Raya tersentak kecil, gadis itu tersenyum dan mengangguk pada wanita paruh baya yang menyapanya dengan hangat.

"Raya ke atas dulu, ya, bi," pamit Raya pada Bi Ati, asisten rumah tangga keluarganya.

Bi Ati mengangguk mengiyakan. Sudah menjadi hal biasa Raya pulang malam-malam begini. Pukul 9 malam baru tiba di rumah dengan masih menggunakan seragam SMAnya. Hampir 15 tahun mengabdi pada keluarga Raya, Bi Ati mengenal betul gadis cantik yang dulu begitu lugu. Juga tahu betul alasan perginya Raya yang dulu dan berganti dengan Raya yang sekarang.

"Raya darimana saja kamu?" Belum tiba di kamar, langkah gadis itu sudah harus terhenti karena pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang pria yang kini menatap Raya horor.

"Raya capek, Pa, Raya mau istirahat," kata Raya menghindar.

"Jawab dulu pertanyaan Papa, Raya."

Raya mendelik tak suka, dia menatap datar. "Bukan urusan Papa."

Raya melenggangg begitu saja, meninggalkan Nurman yang kini menatapnya kecewa. Raya tidak peduli. Jangan salahkan Raya atas ketidak peduliannya dan juga segala sifat mengecewakannya. Raya hanya sedang menuai bibit yang Nurman tanam 9 tahun lalu.

Raya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang