epilog

2.1K 63 4
                                    

Pagi itu, banyak orang berpakaian hitam yang duduk berjongkok di depan salah satu makam bertabur bunga yang ada di tempat pemakaman umum. Itu adalah rumah peristirahatan terakhir seorang wanita.

Nurman yang berjongkok paling dekat dengan batu nisan, mengusap lembut nisan itu penuh kasih. Matanya menatap lekat tulisan yang terukir di sana. Dia menghembuskan nafas panjang begitu memorinya mengingat semua yang pernah terjadi antara dirinya dan wanita yang sudah berbaring tak berdaya di bawah gundukan tanah.

Di samping Nurman, ada Marina yang menunduk menahan tangis. Walau yang dulu pernah terjadi tidak seindah apa yang diharapkannya, tapi dia juga memiliki memori bersama wanita itu.

Nayla dan Cakra juga ada di sana, berderet di samping Marina. Seperti biasa, Cakra bertugas menenangkan Nayla agar gadis itu tidak mengeluarkan tangisannya. Sudah menjadi rahasia umum orang-orang terdekat Cakra, bahwa tangisan Nayla adalah hal yang paling dibenci oleh lelaki itu.

Juga ada Yersa bersama Azam. Rencananya, pasangan kekasih itu akan bertunangan setelah Yersa lulus sekolah untuk bukti hubungan mereka karena setelah lulus, gadis itu akan dikirim ke Korea oleh kedua orang tuanya dan untuk sementara akan berpisah dengan Azam.

Sementara Riko duduk berjongkok berhadapan dengan Nurman.

Bahkan sampai Vera dan Fathan, sepasang ibu-anak yang masih ada ikatan saudara dengan wanita itu juga datang pagi ini.

"Maaf," gumam Marina pada akhirnya, memecahkan keheningan yang sempat tercipta dalam beberapa waktu lalu.

"Maaf karena aku telah menyembunyikan semuanya selama ini. Seandainya aku memberitahu, pasti ini tidak akan terjadi. Pasti kita masih bisa berkumpul bersama. Kita masih bisa hidup bahagia."

"Caka," rengek Nayla, meremas jaket yang Cakra gunakan guna menahan air matanya.

"Ssttt, gak papa," kata Cakra menenangkan, sudah seperti menenangkan anak kecil.

"Kak, aku pusing," adu Yersa. Matanya sudah sembab. Terlalu lama menangis, membuat gadis itu mulai merasa pusing.

"Mau pulang sekarang?" Tawar Azam. Yersa menggeleng. Dia tidak bisa pulang begitu saja meninggalkan makam wanita itu.


"Kak Fathan!"

Teriakan itu membuat semua orang menoleh. Melihat seorang gadis cantik berambut coklat tersenyum manis di paras pucatnya, di belakangnya ada seorang lelaki yang mengekor seakan menjaga.

Fathan yang namanya dipanggil, berdiri dan menghapiri gadis itu. Tangannya terulur, meraih jemari kecilnya dan menggenggamnya memberikan kehangatan.

"Kamu ngapain ke sini?" Desis Fathan. "Lo kenapa biarin dia keluar dari rumah sakit?!" Tanyanya kini melotot pada lelaki di belakang gadis itu.

"Raya kangen," rengeknya, langsung menghamburkan diri pada pelukan Fathan. Dia tahu, kelemahan Fathan adalah pelukan darinya.

"Nanti pulang dari makam, kami mau langsung ke rumah sakit untuk jengkuk Raya. Gak sabaran banget sih," omel Fathan, mengusap surai coklat Raya.

"Raya juga pengen ketemu sama Mama Vanya."

Fathan menghembuskan nafas panjang, mengurai pelukan Raya dan menuntun gadis itu untuk mendekat ke makam Vanya. Mengingat kondisi Raya yang masih sangat lemah.

Ya, kini mereka berada di makam Vanya. Mereka memang sudah merencanakannya. Raya yang kondisinya masih belum pulih, tidak diberitahu dan ditinggalkan di rumah sakit hanya dengan Raka.

Tempo lalu, Raya kembali pingsan di pelukan Nurman. Kondisinya sangat lemah. Bertahan hanya dengan satu ginjal tanpa melakukan pemeriksaan yang intensif memang membuat Raya seakan menyerahkan diri pada Tuhan. Untunglah, Tuhan masih memberikan kesempatan untuk Raya bahagia bersama keluarganya. Walau dengan kondisi yang lemah, setidaknya beberapa hari terakhir ini Raya sudah bisa kembali tersenyum.

Raya memilih duduk di antara Marina dan Nurman, gadis itu menatap nisan Vanya.

"Mama," panggil Raya.

"Terima kasih telah menjadi Mama yang hebat untuk Raya. Merawat Raya penuh sayang dan selalu menganggap Raya sebagai anak kandung Mama sendiri. Terima kasih telah menjadi bagian penting dalam hidup Raya."

"Raya minta maaf, selama ini Raya sudah membuat Mama malu."

"Raya." Nurman mengusap bahu Raya, menarik putrinya untuk bersandar padanya. "Raya jangan ngomong gitu, Raya pasti sudah sangat membuat Mama Vanya bangga. Semuanya yang terjadi hanyalah kesalahan. Sekarang adalah waktu untuk kita memperbaiki semuanya."

Marina ikut menjulurkan tangannya, mengusap bahu Raya. "Kak Vanya, maaf aku tidak bisa menolongmu dulu."

"Dan sekarang, terima kasih. Terima kasih banyak karena kamu telah merawat Raya dengan baik. Aku bersyukur kamu hadir dalam hidup Raya, menjadi Mama paling hebat untuk Raya."

"Mama, Nayla gak tahu mau bilang apa, tapi Nayla juga sayang sama Mama Vanya."

Semua orang yang ada di sana, menghembuskan nafas panjang. Terutama Raya.

"Ma, Raya sayang sama Mama Vanya. Sekarang, Raya mau mulai hidup baru dan keluar dari lingkaran kebencian tanpa dasar itu."

"Bagaimanapun, Mama Vanya tetaplah Mama terhebat untuk Raya, dan sekarang Raya akan hidup dengan Mama Marina, Mama yang sangat sabar menghadapi tingkah Raya."

"Sekarang kami semua ada di sini. Kami tahu, di sana Mama pasti bahagia. Kami semua sayang sama Mama Vanya. Raya janji, Raya juga akan bahagia di sini."

Raya tersenyum simpul, merapalkan doa-doa untuk Mama terhebatnya, kemudian berdiri lebih dulu membuat yang lain mengikutinya.

Semuanya beranjak meninggalkan rumah tempat peristirahatan Vanya.

















***

Tuhan, tolong sampaikan.

Ma, ternyata berdamai dengan rasa sakit itu sulit, ya?
Namun yang lebih sakit bukan masa lalu yang pernah terjadi, melainkan fakta yang selama ini tersembunyi. Tapi ternyata, memaafkan dan diamaafkan oleh orang yang terlibat dengan masa lalu itu, bisa berakibat sebahagia ini.

Ma, mama baik-baik aja, kan, di sana?
Raya harap, iya!
Karena di sini, Raya pun akan dan sudah bahagia

Ma, untuk semuanya, Terima kasih banyak.
Terima kasih telah hadir dalam hidup Raya dan terima kasih telah menjadi Mama terhebat untuk Raya

Ma, I Love You!"

Tertanda, gadis muda Farandya.
-02042020
















a/n:

Ini endnya beneran.

Btw, itu surat Raya versi lalu tapi ada beberapa yang diganti, sih.

RAYA GAK JADI MATI AKU JUGA KASIHAN EMAK MACAM APA AKU YANG BUNUH ANAKNYA SENDIRI :(

Raya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang