"Bagaaaassss!!"
Teriak seorang gadis berambut panjang dengan senyum lebar khasnya. Gadis yang ada dalam setiap bayangan seseorang. Dialah alasan dibalik wajah si penurut itu. Suara sang gadis bergeming di telinganya, tak perlu menebak ataupun ditebak ia sudah sangat hafal dengan suara itu.
"Hm?" balas Bagas mengernyitkan alisnya.
Kelakuan sederhana yang selalu ia lakukan kala gadis ini memanggil untuk bercerita ataupun sekedar menyapa.
"Tania punya berita baru buat Bagas," ucapnya menebar senyum lagi dan lagi.
"Apa?" tanya Bagas seolah tak ingin tahu kabar apa yang dibawa Tania.
"Tebak dong, Gas!" jawab Tania memberi teka teki.
"Males," ucap Bagas, ia sama sekali tak tertarik dengan berita tersebut.
Senyum manis di wajah Tania perlahan memudar karena hal yang selalu terjadi sama pada orang yang sama. Respond pria itu membuat Tania tak habis fikir. Setidak penting itukah ia di dalam hidup seorang Bagas Prasetya? Tapi Tania tak patah semangat. Ia tak pernah bosan untuk menebar senyum manisnya lagi, manis? Menurut Tania senyumnya manis!
"Lo sakit ya? Senyum senyum sendiri?" tanya Bagas heran.
Seketika pria itu sengaja menaruh telapak tangannya tepat di kening Tania untuk memastikan suhu tubuh gadis itu baik baik saja.
"Nggak Gas!" balasnya menepis tangan Bagas.
"Lalu?"
"Tania jadian sama Aryaaa!!" ucap gadis itu semangat 45, seperti seorang anak kecil yang sedang mendapatkan mainan kesukaannya.
"Ohh."
"Exited dong, Gas!! Sahabat lo jadian sama ketua osis SMA Pelita!!"
"Wow keren," balas Bagas dengan wajah datarnya.
Kesabaran Tania habis, gadis itu benar benar kesal. Moodnya turun drastis. Bagaimana pun pria menyebalkan itu tidak akan menanggapi sesuai keinginannya.
Lebih parahnya lagi pria tersebut tak punya niat untuk sekedar membujuk gadis dihadapannya ini. Walaupun sang gadis sudah menunjukkan wajah kekesalan yang cukup jelas, harusnya pria itu mengerti! Ntah tega atau tidak ia lebih memilih untuk pulang saja.
"Tan, gue pulang deluan," ucap Bagas membalikkan tubuh menuju parkiran sekolah.
Tania diam, ia tak punya niat sama sekali untuk membalas ucapan Bagas. Jelas dari pandangan dimana tempat ia berdiri, punggung pria itu semakin menjauh meninggalkannya begitu saja. Walaupun ia benci dengan kelakuan sahabatnya itu namun Tania sudah terbiasa diperlakukan seperti ini oleh prasasti langka itu.
*Matahari Pagi*
Parkiran sekolah SMA Pelita itu sepi dan sunyi. Hanya ada beberapa motor yang masih terparkir disana. Seharusnya Bagas sudah pulang sejak sejam yang lalu. Namun karena ada latihan untuk olimpiade matematika ia terpaksa pulang larut sore seperti ini.
Pria itu mengeluarkan motornya dari parkiran yang cukup luas. Kemudian dengan cepat melesat jauh, meninggalkan asap kendaraan bermotor.
Jalanan tampak ramai, tidak seperti parkiran tadi. Namun hatinya diam membisu, pikirannya sedang kacau. Ucapan gadis tadi terus terngiang ditelinganya. Mungkin gadis itu memang hobby memenuhi fikiran sang pria. Bagas tak suka dengan berita yang dibawa gadis itu. Baginya sama sekali tidak penting untuk menceritakan hal tersebut. Toh itu juga bukan urusannya.
"Ciihh.. dasar Tania," gumamnya dalam hati.
Ia mencoba fokus pada jalanan sekitar. Membuang Tania dalam fikirannya. Meyakinkan hatinya bahwa gadis itu berhak memilih.
Bagas tiba dirumahnya. Rumah dengan segala kenangan yang tersimpan apik. Dulu selalu ada sang ibu yang menyambutnya, selalu ada sang ibu yang bertanya mengapa ia pulang larut seperti ini. Tapi setelah hari itu, tepat setahun yang lalu semua berubah. Ia harus terbiasa seperti ini.
Treeetttt.
Handphone yang terletak disaku celananya itu berdering ketika ia akan membuka pintu rumah, satu pesan masuk ke dalam whatsapp. Pesan dari sang ayah yang seringkali mengajak putra sulungnya untuk tinggal bersama dengan keluarga baru yang ia miliki sekarang. Namun tawaran itu selalu ditolak oleh putranya. Bagi Bagas rumah yang ia tempati ini penuh dengan kenangan sang ibu yang tak mudah dilupakan begitu saja.
Ayah
|Bagas, ada makanan diatas meja. Dimakan ya nak.Pesan itu hanya dibaca. Ia memang tak punya niat untuk membalas pesan tersebut. Baginya, percuma saja terlahir dari keluarga yang serba berkecukupan namun kekurangan kasih sayang dari kedua orangtua.
Setelah makan malam, Bagas melihat handphone miliknya. Aneh! Gadis itu tidak menghubunginya sama sekali. Padahal jika sudah jam segini Tania akan bercerita panjang kali lebar yang selalu saja mampu mengganggu heningnya kamar dirumah itu. Karena setiap kali Tania menelpon, Bagas me-speaker handphonenya.
Apakah gadis itu marah? Karena sikap acuhnya tadi sore. Tapi Bagas rasa tidak, Tania sudah terbiasa diperlakukan seperti itu olehnya.
Bagas tak ambil pusing. Bukannya bagus jika Tania tak menghubunginya malam ini? Itu artinya ia bisa bermain game dengan tenang tanpa adanya gangguan gadis aneh itu.
*Matahari Pagi*
Hai Guyss, Welcome my first story on wattpad.
Thankyou yang udah mau baca cerita Bagas & Tania ini.
Maaf kalau masih ada kata atau kalimat yang kurang menarik, maklum masih belajar guyss.
Jangan lupa vote ya hehe..
Kalau ada kritik dan saran yang ingin disampaikan silahkan komen...
Sekian dari saya, Terima Kasih.
Salam Kenal
@intaansakinah
KAMU SEDANG MEMBACA
Matahari Pagi
Teen FictionKisah dua anak manusia yang berlindung dibawah kata pertemanan.