4. Bertengkar?

81 8 2
                                    

Hawa dingin menyambut pagi ini, akibat hujan lebat semalam. Kondisi seperti ini memang cocok jika digunakan untuk tidur dan menutupi diri dengan selimut hangat. Namun suara seseorang dari balik pintu kamarnya sangat menganggu! Hingga gadis itu tidak dapat tertidur pulas lagi.

"Apaaaaa???" teriak Tania kesal

"Bangun udah jam 6! Lo nggak sekolah?" tanya seseorang dari balik pintu.

Suara itu khas, Tania sudah dapat menebak siapa yang membangunkannya pagi ini. Siapa lagi jika bukan sang adik yang super resek itu, Tasya.

"15 menit lagi gue turun..!!" jawabnya.

Seketika gadis itu bergegas menuju kamar mandi. Lalu menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah. Tak lupa menggunakan losyen bengkuang favoritenya. Tepat 15 menit kemudian, ia turun ke bawah. Diatas meja makan sudah tersedia menu sarapan pagi ini, nasi goreng seafood buatan mba Iyem.

"Pagi ma.." Ucapnya, sambil menarik kursi meja makan.

"Pagi sayang.. bangunnya telat terus yaaa."

"Heheh.. mama," balas gadis itu santai.

"Kak, gue dapat ini dikulkas," ucap Tasya, sambil menunjukkan sebuah cokelat batangan panjang berisi kacang yang pastinya manis.

"Cokelat kakak!" jawab Tania, langsung merampas cokelat itu.

"Cokelat dari siapa Tania?" tanya sang mama.

"Eemm.."

"Cowok lo ya!!" tuduh Tasya.

"Tania, dari siapa?" tanya mamanya sekali lagi.

"Dari.. Ar..ya.."

"Cowoknya kakak?" tanya mamanya lagi dan lagi, membuat Tania semakin sulit untuk menjawab.

"I..ya.."

Nuri paham masa remaja anaknya, bagaimana pun ia pernah berada diposisi itu. Baginya jika sang anak sudah mau berkata jujur, itu sudah lebih dari cukup. Jatuh cinta adalah hal biasa. Jika masih berada dibatas wajar, ia tak pernah mempermasalahkan itu.

"Oh iya, papa kemana?" sambung Tania, mengalihkan topik pembicaraan, agar ia tak disudutkan untuk kesekian kalinya.

"Papa udah berangkat dari pagi," balas Tasya ketus, tampaknya ia masih kesal dengan sang kakak.

"Berangkat?" tanyanya bingung.

"Kakak lupa? Hari ini kan papa ada dinas diluar kota," jelas Nuri.

"Dek, ayo kita berangkat, nanti adek telat lagi," sambungnya.

"Ma, aku berangkat sama siapa?" tanya Tania terburu buru dengan mulut penuh nasi.

"Hari ini kakak bawa motor sendiri, siapa suruh bangun telat? Lagian itu motor udah lama nganggur nggak mau dipakai, maunya diantar jemput mulu."

"Hm, iya."

*Matahari Pagi*

Tak kurang 1 menit lagi, Tania tiba di sekolahnya. Lapangan parkir itu penuh, padat merayap. Semua orang tak ada yang mau mengalah. Semua ingin sampai lebih dulu pada tujuannya. SMA Pelita memang sangat menerapkan kedisiplinan, terlambat 1 menit artinya tidak masuk seharian. Peraturan itu berlaku bagi setiap murid maupun guru.

"Semenit lagi! Semenit! Ayo Tania! Lari - lari! Sebelum terlambat!" gumamnya, penuh semangat.

Gadis itu berlari secepat mungkin, dari parkiran menuju kelasnya yang berada dilantai 2. Untung saja, kali ini keberuntungan sedang menghampiri nya. Ia tepat waktu sampai dikelas. Sebelum pak Bandang, guru killer itu masuk ke dalam kelasnya.

*Matahari Pagi*

Tet... Tet...

Akhirnya bel istirahat berbunyi, pelajaran yang membosankan itupun berakhir. Bayangkan saja 3 jam pelajaran, bu Ana hanya menyuruh meringkas 3 bab buku paket bahasa Indonesia. Tentu saja, Bagas tidak akan melakukan itu. Daripada meringkas, ia lebih memilih untuk tidur. Sayang, waktu 3 jam dibuang percuma. Toh, kita sebagai murid juga punya buku kan? Lalu untuk apa lagi meringkas.

Jam istirahat? Pria itu lebih memilih pergi ke perpus daripada kantin.

"Bagas..."

Pria itu tak menghiraukan sapaan Tania. Ia masih kesal dengan ulah gadis itu yang tidak menepati janjinya. Sang gadis pun heran, mengapa pria ini tak menjawab panggilannya. Dengan wajah lugu dan tanpa rasa bersalah ia ikuti pria itu masuk ke dalam perpus yang sunyi. Hanya ada dia dan sang pria, ralat penjaga perpus yang ikut menjadi saksi.

"Bagas," panggilnya lirih.

Pria itu masih diam, tak mau menjawab. Ia lebih memilih mencari buku untuk dibaca. Tentu saja gadis itu tetap mengikutinya dari belakang.

"Bagaass," panggil gadis itu lagi.

Pria itu masih tak menggubris.

"Bagas!" panggil Tania, penuh penekanan!

"Lo tau diperpus nggak boleh berisik?" Akhirnya pria itu mengeluarkan sepatah kalimat.

"Nggak," balas Tania santai.

Bagas tak berniat untuk menanggapi jawaban gadis itu. Ia lebih fokus pada bukunya.

Hampir 5 menit Tania menunggu pria itu berbicara. Menatapnya tajam, ketika ia sedang sibuk dengan bukunya. Namun sayang, Bagas tetap saja dingin, tak ada niat untuk mencairkan suasana.

Tania menyiapkan segala keberanian, ia rampas buku itu dari hadapan Bagas. Tak elak pria itu semakin marah.

"Bagas!"

"Apa?!" Untuk pertama kalinya, ia membentak gadis itu.

Bagas lebih memilih untuk pergi dari perpus, meninggalkan seorang gadis yang tetap saja mengikutinya.

"Tania nggak akan ngerti apa maunya Bagas, kalau dari tadi Bagas cuma diam," ucap gadis itu, mensejajarkan tubuhnya pada pria yang lagi dan lagi memilih jalan lebih dulu darinya.

"Lo nggak punya rasa bersalah?" tanya pria itu.

"Salah?" ucap Tania, seketika ia menghadang jalan pria itu.

"Salah apa?" tanyanya sekali lagi.

"Kemarin kemana?" tanya Bagas balik.

"Kemarin sore? Pulang sekolah?"

Ya! Sekarang gadis itu tahu apa salahnya. Ia lupa menepati janji pada pria ini.

"Kemarin Arya ngajak Tania ke cafe, jadi Tania lupa kalau Bagas minta temenin ke gramedia," jelas sang gadis memberikan alasan.

"Ohh."

"Maaf Bagas," ucap gadis itu sembari mengangkat tangannya membuat simbol maaf.

"Iya."

"Ok, sore ini kita ke Gramedia ya," ajak Tania.

"Nggak perlu!" balas Bagas ketus.

"Kenapa?"

"Kemarin juga bilang gitu, tapi apa? Lo nggak menepati janji Tan."

"Tania nggak ada bilang janji," ucap gadis itu melakukan pembelaan.

"Setiap omongan yang keluar dari mulut kita itu janji!!"

Tania terdiam, pria itu bicara membentak. Jujur, Bagas tak pernah melakukan hal ini sebelumnya. Gadis itu manahan bendungan hangat yang kapan saja dapat jatuh membasahi pipinya. Matanya semakin memanas menatap Bagas. Ia memilih untuk pergi saja dari hadapan pria tak berhati itu.

"Jahat!"

*Matahari Pagi*

Matahari PagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang