03 || treason

130 69 140
                                    

 "To heal the broken heart, break the hate. The more you get mad, the more you get sad."

🖤🖤🖤

" Good bye," lirih sang ibunda, untuk terakhir kalinya. Wanita yang biasa dipanggil Mom oleh Axel dan Cloe telah berpulang, bersamaan dengan terlepasnya tautan lengan dalam dekapan Axel beberapa menit lalu. 

Rasa kesedihan yang kelewat dalam benar benar merajai Axel untuk saat ini. Benar benar sakit, ditinggalkan dalam sebuah dekapan; sesuatu hal sederhana yang membahagiakan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan, hati kecil Axel benar benar kehilangan arah tatkala melihat langsung kepergian sang Ibunda dan Ayahnya secara bersamaan, sudah seperti lompatan tupai saja di serial kartun pagi hari. Tangisan nya untuk kepergian kali ini, tidak kalah kencang seperti beberapa waktu lalu dirumah. Ditonton oleh dua pasang orang dewasa yang tertunduk, mengekskresikan bulir bulir kepedihan itu bersamaan dengan semilir angin dari air conditioner yang menerpa helaian surai halus. Menyisakan sepasang sorot mata lagi, dari Cloe yang tidak mengerti kemana arah peristiwa sebenarnya berlangsung.  Masih asik dengan kunyahan makanan fermentasi gula rupanya.

" Axel, mari kembali kerumah bersama paman. Biar paman Dion pulang duluan. Mungkin, pekerjaannya akan selesai dari sekarang," 

-----

Mobil Porsche kepemilikan Paman Aric telah berhenti sempurna di pelataran rumah duka Axel dan Cloe. Rupanya, beberapa orang penting dan rekan kerja Dad dan Mom Axel sudah memenuhi hunian mewah berlantai marmer ini dengan ramai, turut bersedih atas meninggalnya dua orang yang mereka anggap hebat atau panutan dalam hidup, sepertinya.

Paman Aric berdeham pelan, kemudian mengulurkan tangan untuk mengajak anak dari pemilik rumah, keluar dari dalam kendaraan roda empat ini. Bukan perkara mudah jika mengingat kejadian beberapa menit sebelumnya, ketika sang paman harus melerai dekapan Axel di atas tubuh mom nya yang mungkin, sudah tenang di alam sana. Sampai sampai, ia harus menunggu sekitar tiga puluh menit, sampai sang empu benar benar lelah untuk menangis di atas sang Ibu. 

" Axel, bisa jadi besok dad dan mom akan dikuburkan. Dan malam ini, bisa dikatakan adalah malam terakhir untuk menatap muka mereka. Apa Axel yang tampan ini tidak ingin pergi melihat mereka ? " ucap Paman Aric dengan penuh kelembutan di dalamnya. Keponakan lelakinya ini memang susah diajak kerja sama jika sudah berhubungan rajuk merajuk seperti ini. Butuh jaminan lain agar Axel menuruti apa yang diucapkan sang paman, dan pamannya sangat tahu apa yang harus ia lakukan. 

Tentu saja, permainan game di dalam plasma pintar dengan tiga mata kamera dibelakangnya ;yang pasti keluaran terbaru, kepunyaan sang paman siap menjadi jaminan untuk Axel bermain hingga puas setelah semua acara ini selesai. Tentu saja , game  sudah diatas segala galanya jika sang pemain sudah terjun dalam dunia permainan tersebut.

Axel masih duduk terdiam di kursi depan seraya meliukkan kepalanya ke kanan dan kiri, masih menimbang nimbang kembali uluran tangan yang disebelahnya juga ada plasma pintar yang berisi banyak game favoritnya. 

" Baiklah, paman. Ayo, kita kedalam," jawab Axel akhirnya, sembari meraih tangan kekar sang paman keluar dari kendaraan berwarna Jet Black Metallic ini, diikuti dengan Bibi Hellen pun Cloe dalam dekapannya. Sang adik yang menggemaskan tengah terbuai dalam indahnya dunia mimpi sejak perjalanan pulang kerumah, mungkin terlalu lelah untuk sekedar mengunyah beberapa makanan fermentasi gula sedaritadi. 

" Wah, orang ramai sekali, paman. Di rumah tidak pernah datang tamu sebanyak ini,loh," sorot mata Axel terus menelusuri apa yang ia lihat sekarang, mencari satu sosok yang benar benar ingin ia dekap sedari tadi. Tentu, Bibi Liye jawabannya.

where's hope? [ ON GOING ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang