02. Sakit Kembali

47 8 1
                                    

Seminggu berlalu, keadaan Rania lebih baik. Setidaknya, sekarang ia tidak menangis hingga stok tisu habis.

Walaupun, sekarang keceriaannya tidak muncul secepat itu. Apalagi, dengan bertemu sang mantan setiap hari di sekolah.

Seperti sekarang, ditengah kegaduhan kelas yang hampir mirip pasar. Rania hanya terdiam, sambil menatap kosong buku paketnya.

Hingga, seseorang menyenggol lengan Rania.

"Ngelamun aja lo!" Rania sedikit tersentak, hingga dagu yang ia topang menggunakan tangannya bergeser.

"Ih ... Arin! Bikin kaget aja." Rania mengerucutkan bibirnya.

"Salah sendiri, ngelamun. Eh ... Btw lo mau nggak gue jodohin?"

"G." Rania menjawab secepat mungkin, membuat Arin menyentil dahinya.

"Ya udah kalau nggak mau, nyesel baru tahu rasa lo!"

"Ih nggak bakal. Kamu, sok-sokan jadi mak comblang, tapi kamu aja nggak punya pacar." Rania mencoba membantah.

"Nih, gue mah menjauhi zina Ran. Makanya, ogah pacar-pacaran. Dosa, kalau kata Pak Ustadz."

Arin membantah dengan alasan yang cukup tidak masuk akal dipakai seorang Arin, membuat Rania sedikit terkekeh.

"Terserah kamu, bilang aja nggak laku. Ra mah, bodo amat."

"Hidih ... Nih, ye jangan sampai lo nanti gagal move on. Malahan si mantan jadi seneng." Arin mencoba menakut-nakuti.

"Ra, emang nggak bisa move on Arin! Huaaa!"

Teriakan Rania membuat seisi kelas yang gaduh, manatap Rania. Arin membungkam mulut Rania dengan tangannya.

"Diem." Arin melepaskan Rania, membuat nafas Rania sedikit terengah-engah.

"Eh ... Iya, maafin Ra."

"Udah yuk, kantin!" Gadengnya, tapi yang digandeng malah diam.

"Ini, belum istirahat Arin. Nanti, Ra nggak mau dihukum." Arin mendengarnya menepuk dahi.

"Udah, mumpung jamkos. Lagian nggak ada yang bakal ngehukum kalau nggak ketahuan, lo nggak laper apa?"

"Ih ... Arin ngajarinnya sesat. Tapi Rania mau kok."

Rania berjalan mendahului Arin yang ternganga, melihat kelakuan ajaib sahabatnya.

***

"Gila! Baksonya mantab betul." Arin memakan lahab, sambil sesekali mengelap ingus.

"Huh! Hah! Pedes."

Berbeda dengan Arin yang menikmati bakso yang super pedas dengan lahap, Rania memakan pelan sambil sesekali meminum teh manis.

"Awh ...." Rania meringis, sambil memegangi perutnya.

"Lo kenapa?" Segera ia membantu Rania.

"Ka--yaknya maag Ra ka--mbuh." Arin segera menopang berat badan Rania, dan membantunya ke UKS.

Ditengah perjalanan menuju ke UKS, mereka bertemu guru bahasa.

"Kalian kenapa?" Cegat guru yang bernama Pak Herman.

"Si Arin, maag dia kambuh."

"Dia makan apa?" Pak Herman sedikit menatap mereka berdua curiga.

Arin mencari sebuah alasan yang tepat.

"Bukan, dia kelaperan. Makanya maag dia kambuh. Udah ya, ini mau saya bawa ke UKS."

"Mau Bapak bantu?"

"Nggak usah Pak." Arin segera membantu Rania dan segera memapahnya kembali.

Pandangan Rania sedikit berkunang-kunang, rasa sakit diperutnya membuatnya meringis.

***

Rania membuka matanya, sambil memegang kepalanya yang sedikit pening.

"Ra, nih dimakan." Rania melihat petugas PMR yang juga seangkatannya membawa minum juga obat.

"Ra, kok di UKS Din?" Dinda, namanya. Ia mencoba menjelaskan apa yang terjadi.

"Arin kemana? Kalau dia nggak kesini, yang nganterin Ra siapa?"

"Arin ke kelas, ia ada tugas katanya."

Sebelum ia menjelaskan lebih lanjut, ia sodorkan minuman dan obatnya.

"Arfa, tadi yang nganterin."

"Uhuk-uhuk." Dinda menepuk-nepuk punggung Rania.

"Lo nggak kenapa-napa?"

Rania menggeleng, sambil mengembalikan gelas minuman ke Dinda.

"Yang tadi kamu ucapin, nggak salah?"

"Nggak, kok."

Rania terdiam, otaknya lemot seketika saja.

"Eh ... Gue pamit bentar ya." Dinda terlihat buru-buru.

"Iya."

Rania merasa bosan, hingga ia ingin pergi ke kelas.

Langkahnya berhenti, hingga ia menemukan sosok yang sampai sekarang bertahta di hati.

"Arfa." Bibirnya yang pecah-pecah sedikit bergetar. Matanya menemukan tak hanya Arfa, tapi juga ada sesosok lain.

Arfa menengok ke asal suara, lalu kembali berbincang dengan seorang gadis.

Rania berjalan menuju kearah Arfa, hingga beberapa langkah.

"Ar--"

"Eh ... Ar, itu ada cewek dibelakang lo."

"Nggak penting, udah yuk. Ketempat lain," ajaknya.

Rania terdiam, sesakit ini ya?
Ia kini tak bisa menjadi artis sinetron yang dapat berakting, seolah-olah bahagia.

"Ra." Usapan halus di punggungnya tak membuat hatinya akan cerah, Arin sedikit terkejut mendapati Rania. Ia tepuk pundak sahabatnya memberi semangat.

Rania melepas tangan Arin.
"Udah, yuk. Ra, pengin ke kelas."

Rania berjalan lebih cepat, tetapi Arin berusaha mensejajarkan langkah mereka.

"Huft ... Heran gue, kenapa cowok kaya gitu nggak lo tendang aja sih? Belagu amat tuh orang!"

"Udah, lupain Rin, anggap yang tadi bukan Ra. Ra nggak kenapa-napa kok."

"Lo itu--"

"Bisa diam nggak Rin? Ra lagi pusing!"

Arin tersentak mendengar perkataan Rania yang tak seperti biasanya. Membuat Arin terdiam tak berani berkata.

***

Kamu,
Terkadang aku heran, sebanyak apapun kamu menyakiti hati aku.
Kok aku nggak bisa membenci kamu ya?
Bodohnya ... aku yang selalu sayang kepada orang, yang belum tentu rasa sayangnya masih ada.
***
Ya Allah, ditengah kegabutan akhirnya ngetik gaje. Cerita yang dulu? Entah mengapa inspirasi menghilang, begitulah kelakuan saya sering nggak konsisten ke satu cerita.

Dan, maaf atas segala typo juga kepenulisannya yang ambruladul bikin sakit mata.

Muachhh❤️❤️ ... Salam manis dari Author gaje

Mantan KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang