05. Mantan itu Kaya Setan

21 5 0
                                    

"Udah, Ra bilang Arin! Ra, nggak suka dijodohin."

Entah sudah berapa kali Rania bilang, tetapi Arin semakin memaksa.

"Gue itu cuma bantu, katanya lo udah mau lupain mantan. Tapi, masih aja stalk dia."

"Ya, udahlah namanya juga penyakit kepo."

"Hati-hati lho Ra, mantan itu kaya setan. Selalu ada dan selalu menggoda isi hati biar bergetar."

Rania memutar bola matanya, malas. Tingkat lebas sekaligus bucin Arin berkembang pesat.

"Arin, lebay."

"Ini fakta tahu, no hoax club gue mah."

Rania tetap saja pada mendirianya. Dia ingin melupakan, dengan waktu yang berjalan.

"Ekhm ...."

Terdengar suara cowok, Rania tatap dan matanya seketika melebar.

"Mau, ngapain lo kesini?" Arin berdiri dari tempat duduknya.

"Udah sana pergi! Hus ... Hus."

Arfa terlihat santai, dengan tangan yang dimasukan kedalam saku celananya.

Berbeda dengan Rania, yang menunduk sambil memainkan kuku.

"Gue, cuma mau bilang. Ra, lo dipanggil Dinda

Rania, mendengar namanya disebut sedikit terkejut. Terlebih, gaya bicara Arfa kedirinya yang sudah berubah.

"Oh i--iya, makasih."

Arfa langsung pergi dari hadapan mereka berdua.

"Tuh, 'kan. Mantan itu emang kaya setan!" Arin duduk dengan wajah yang tak bisa slow.

Rania mengerucutkan bibirnya, mengapa ia masih tak berani menatap wajagnya? Sedangkan dulu ia selalu candu ingin melihat wajahnya. Apa karna keadaan yang telah berbeda?

"Mau ikut nemenin? Ra mau ke kelas Dinda."

"Nggak, males."

***

"Ada apa, Din?"

Cewek berambut pendek sebahu itu, mengeluarkan sebuah pita dari saku seragam.

"Pita punya lo, 'kan?"

Rania menatap pita kupu-kupu, berwarna biru.

"Wah ... Iya, Dinda kok bisa nemu pita punya Ra?"

"Kemarin, ketinggalan diruang UKS. Gue nanya sama petugas lain. Katanya nggak ada yang punya pita kaya gini."

"Ouh gitu, makasih ya Din!" Rania mengambil pita itu, dari tangan Dinda.

"Udah gede, masih aja pake pita," ujar, seorang gadis berperawakan tinggi disebelah Dinda.

Rania baru menyadari akan keberadaannya. Sepertinya, ia pernah melihat sosok dihadapan dirinya.

"Gue, bercanda kok. Btw, bagus kok itu pita."

"Ra, kaya pernah lihat kamu deh!"

Dinda menatap mereka berdua, bergantian.

"Wah ... Jelas, gue, 'kan udah mirip Lisa BlackPink."

Dinda menepuk kepala Ersya. Rania hanya tersenyum.

"Maafin, dia emang suka kaya gini. Btw, dia emang anak PMR juga. Jadi, sering lihat lah."

Rania kembali berfikir, sepertinya berbeda bukan di ruangan UKS.

"Owh, iya. Gue Ersya." Rania menyambut jabatan tangan itu dengan hangat.

"Rania."

"Ya, udah. Ra, mau ke kelas. Bye!"

Diperjalanan, ia berfikir lagi. Nama, itu. Juga seperti pernah ia dengar. Tak, asing ditelinga.

Hingga, ia tak melihat. Ada seseorang dihadapan. Membuat dia menubruk dada bidang seorang cowok.

"Eh ... Maaf."

"Kerjaan, lo mah. Kalau nggak nubruk ya jatuh." Kekehan itu, membuat Rania tersadar.

"Ih ... Aldo!"

"Hati-hati makanya, Dut!"

Rania terheran. Dut? Apa maksudnya? Ia gendut?

"Dat dut dat dut. Nama Ra itu Rania! Rania Afiska," geram Rania.

"Lo, 'kan. Mirip badut, hahaha." Tawanya pecah, membuat wajah Rania kembali nampak usang.

"Garing! Nggak lucu!"

Rania meninggalkan Aldo yang tengah tertawa puas melihat ekspresi dirinya.

"Heh! Jangan tinggalin gue badut!"

Rania mempercepat langkahnya, hingga Aldo tak melihat sosok Rania.

"Ada-ada aja, kalau jatuh lagi. Emang, kerjaannya jatuh bangun kali ya."

***

Bunyi bel pertanda pulang, sudah terdengar nyaring sejak setengah jam lalu.

Namun, Rania masih duduk di halte menunggu ada angkutan umum yang lewat.

"Nggak ada angkot apa ya?"

Rania menatap jalanan dengan sendu. Dulu, ia selalu diantar pulang oleh Arfa.

"Argghh ... Jadi keinget lagi 'kan!" Rania mengacak rambut frustasi.

Hingga rintik-rintik hujan jatuh ke bumi. Rania menatap gumpalan awan hitam di langit.

"Hujan lagi."

Ia ambil ponselnya, diteleponnya sopir jemputan biasa. Namun, tak kunjung diangkat.

"Lupa! Pak Agus 'kan pulang kampung."

Entah apa yang harus ia perbuat, selain menunggu seseorang berbaik hati yang rela mengantarnya pulang.

Celingak-celinguk ia lihat, ternyata masih ada anak ekskul basket.

Hujan kian deras, membuat tubuhnya menggigil. Ia gosok kedua telapak tangannya, berharap rasa dingin pergi.

Tampak, samar-samar sesosok berjaket hitam yang datang membawa motor dengan helm juga helm satunya yang dulu pernah ia pakai.

"Halusinasi mulu, Ra mah!"

Sosok itu berhenti dihadapannya.
"Mau, ikut?"

Rania ternganga, lalu menepuk-nepuk kepalanya.

"Bahkan, halu suara dia! Jangan-jangan benar kata Arin, udah kaya setan!"

"WOI, HUJAN MAKIN DERAS. MAU IKUT NGGAK?"

Eh, tunggu. Kok, ini kaya nyata?

"Ini Arfa?" Pertanyaan bodoh terlontarkan dari mulit mungil itu.

"Serigala ganteng! Udah, mau ikut nggak?"

Ia segera memakai helm yang Arfa kasih. Rezeki nggak boleh ditolak, 'kan?

Samar-samar dalam hujan, Rania merindukan lelaki ini, juga bau tubuhnya.

"Ra, boleh peluk nggak?"

Arfa tak menjawab, tetap fokus dalam laju kendaraan bermotor.

Walaupun tak ada balasan, Rania akan tetap melakukan.

***
Kenangan tak semuanya harus dilupakan
Kenangan, bisa saja untuk dikenang walaupun terkadang itu menyakitkan.
***

Holla selamat membaca
Maaf atas segala typo dan kesalahan dalam menempatkan tanda baca.
Budayakan vote sebelum membaca.

Salam manis dari author ❤️❤️

Mantan KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang