04. Aku Pergi

24 6 0
                                    

Nafas Rania memburu, menatap Arfa nanar. Tangan Arfa ia cegat dengan erat.

"Kamu, nggak boleh pergi!"
Arfa melepaskan tangan Rania.

"Ini takdir Ra, maaf."

Arfa pergi, menjauh. Sekeras ia mengejar, seolah ada yang menghempaskan.

"Tidakkkkkk ...." Rania terbangun dari tidurnya, mata ia kucek dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur.

"Mimpi, Ra. Kok aneh?"

Karna, sudah tak bisa tidur lagi. Rania memutuskan memainkan media sosial.

Dari mulai cari aktor Korea favoritnya, hingga stalk teman-temannya.

"Arfa apa kabar ya?" Ia gigit bibir bawahnya, gengsi tapi kepo itu yang sedang ia rasakan.

"Nggak apa-apa, 'kan kalau stak akun IG dia sesekali?"

Jari Rania menari, menelusuri postingan demi postingan.

"Untung, di postingan belum ada cewek lain."

Walaupun sudah Unfollow, tetap saja. Ia stalk dengan akun satunya.

Lama berselancar di dunia maya, ia lihat jam dinding di kamar.

"Hah! Bentar lagi subuh." Terbangun dengan segera, lalu berlari ke kamar mandi.

***

"Ra, kamu udah bangun?" Sapa, seorang lelaki.

Gayanya, seperti seorang yang tegas sekaligus sayang kepada putri satu-satunya.

"Udah, dong Pah. Masa Ra, masih ngelindur?" Lelaki itu hanya terkekeh.

Rania duduk di meja makan. Sekarang, sudah lumayan jarang berkomunikasi dengan sosok Papahnya, Rahendra.

"Hari ini kamu ada acara?"

Rania menggeleng, "Nggak, Pah. Hari ini, Ra cuma di rumah. Emang ada apa?"

"Mumpung hari Minggu, Papah mau ngajak kamu jalan-jalan. Sekaligus, Papah kenalin sama teman Papah. Kamu mau?"

Rania mengangguk antusias, pipinya menggembung dengan remahan roti disekitar mulut.

"Kapan?"

"Nanti, habis dhuhur."

***

Senyum terbit dibibir Rania, memamerkan gigi gingsulnya.

Ia tatap, Papahnya yang sedang menyetir mobil disebelah.

"Pah, teman Papah laki-laki?"

Hendra tidak menjawab, hanya mengacak rambut Rania dengan tangan satu.

"Jawab dong, Pah!" Rania bertingkah manja, dengan menarik lengan baju Hendra.

"Lihat aja nanti, sayang. Emang kenapa?"

"Kalau laki-laki aman, kalau wanita ...." Rania sengaja menggantung kalimatnya.

"Kenapa kalau wanita?"

"Nggak, hehehe."

Perjalanan lima belas menit berlalu, Rania turun dari mobil, memasuki sebuah tempat yang lumayan mewah.

Restoran, besar yang belum pernah Rania masuki. Ada acara penting, 'kah? Tanyanya.

Selepas duduk, seorang pelayan datang membawa menu makanan.

"Kamu mau pesan apa?"

"Sama kaya Papah."

Selesai, memesan menu makanan. Hendra mengajak mengobrol santai, sekaligus melepas rasa rindu.

"Ra, gimana sekolah kamu?"

"Alhamdulillah, lancar kaya jalan tol."

"Ra, Papah mau nanya."

Pesanan datang, membawa makanan dan minuman. Membuat, perkataan Papah terhenti sejenak.

"Nanya apa?"

"Dimakan aja dulu."

Bukan Rania namanya, kalau tidak kepo.

"Nanya apa? Ra, udah terlanjur penasaran Papah!" Desak Rania.

"Seandainya kalau kamu punya Mamah lagi. Kamu mau?"

"Uhuk-uhuk."

Dia tidak salah dengar? Biasanya kata 'seandainya' itu adalah kode, dari kenyataan yang diinginkan.

"Kamu, nggak kenapa-kenapa?" Papah kasih sebuah minuman, membuat tenggorokan Rania sedikit membaik.

Rania menggeleng "Pah, pertanyaan tadi. Bukan sebuah kode, 'kan?"

"Kalau, Ra. Nggak kenapa-napa, cuma yang pasti ... hati Ra nggak bisa sesayang mamah kandung."

Papah Rania, terdiam. Keheningan menyelimuti keduanya, mereka bergelut dengan isi fikiran masing-masing.

Hingga, seseorang wanita bergamis putih dengan hijab lebarnya datang.

"Assalamualaikum."

"Wa'alaikumusalam," ujar mereka, kompak.

Rania menatap dari atas hingga bawah, ia pandangan lekat.

"Ini, Rania? Putri kamu?" Tanyanya, lembut.

"Iya, kenalin Ra. Ini tante Renata."

"Ha--hallo, Tante." Sedikit kikuk rasanya, tetapi ia masih mencoba bersikap sopan.

"Hallo, wah manis ya."

Rania tersenyum sambil saling berjabat tangan dengan Renata.

"Siapa dulu Papahnya!" Ujar, Hendra bangga.

"Narsis banget. Oh, iya kamu umur berapa?"

"17 tahun," jawab Rania, singkat.

"Pesan makanan dulu Ren." Renata memanggil pelayan dan memesan.

"Owh, iya. Tente juga punya anak yang seumuran kamu, lho." Renata tampak antusias.

Sekarang, Rania tahu arah pembicaraan kali ini. Setiap Renata bertanya ia jawab seadanya.

Bukan, karena Rania tidak suka ataupun membenci. Hanya saja, ia tidak ingin ada seorang yang menempati hati Papahnya selain dirinya juga Mamahnya.

"Kamu sekolah di SMA Merah Putih?"

Rania menjawab seperti biasa, hanya mengangguk.

"Kok, bisa pas."

"Apanya yang pas Ren?" Tanya Hendra.

"Anak aku yang satunya juga sekolah disitu. Pindah, waktu kelas XI, udah setahun lebih."

"Owh, gitu."

Renata menatap Rania, rasanya ada yang mengganjal di hatinya. Sebuah rasa 'tidak nyaman' seperti ada di wajah Rania.

Renata, 'pun mengurangi basa-basi juga pertanyaan.

Mau bagaimana, Renata juga mengerti perasaan Rania sekarang. Seorang wanita, akan lebih faham perasaan dalam hati seseorang.

***

Terkadang, seseorang tidak dapat menyampaikan perasaan lewat ucapan.
Dia diam. Namun, hati seolah berkata  lewat tatapan.

***
Makasih yang udah mau baca cerita gaje bin garing punya saya.

Maaf atas segala typo, dan tulisan yang bikin sakit mata.

Uwu ... Salam manis dari author❤️❤️

Mantan KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang