"Makasih."
Rania tersenyum hangat, menatap Arfa.
Arfa melanjutkan laju motornya, tanpa menjawab ucapan terimakasih. Bahkan, menatap pun enggan.
Entah bahagia atau justru sedih yang harus Rania rasakan sekarang.
"Assalamualaikum, Ra pulang!" Rania melepas sepatu dan tas.
"Waalaikumusalam, Non. Siapa yang ngantar?" Bik Siti segera berlari kearah Rania.
"Teman Bik."
"Ya sudah, mandi terus ganti baju. Udah basah kuyup. Mau dibuatin coklat hangat?"
Rania terdiam, kemudian mengangguk.
***
Berbaring sambil menatap langit-langit kamar membuat khayalannya menerobos begitu saja.Ia teringat kejadian tadi, kehangatan yang tercipta juga rasa nyaman. Masih terasa lekat ditubuh cowok yang selalu mengisi hari-harinya dulu.
"Ra, harus gimana?"
Melupakan itu tak semudah yang ia pikirkan. Memblokir semua akun media sosial tak membuatnya bisa lupa kenangan begitu saja.
Ia teringat mimpinya, itu pertanda? Tiada yang tahu.
Memikirkan hal itu membuatnya sedikit lelah. Rasa kantuk membuat ia terlelap.
***
Rania melihat kearah kaca, menatap garasi yang sudah terparkir mobil berwarna hitam.
Senyuman mengembang disudut bibirnya. "Papah!" Lari kearah Hendra.
"Hallo sayang."
Hendra memeluk putri satu-satunya itu.
"Ini buat kamu." Rania melepaskan pelukannya. Lalu mengambil bungkusan berwarna merah muda dari tangan Hendra.
"Apa ini, Pah?" Rania melihat isi barang dengan ekspresi senang.
"Itu, pita sama hijab."
Rania senang, walaupun sekarang ia tidak berhijab. Namun, pemberian dari Papahnya selalu ia suka.
"Wah ... Bagus, Pah!" Rania kegirangan, lalu membawa barang tersebut ke kamarnya.
Ia coba beberapa hijab dengan motif berbeda-beda.
"Wah ... Pilihan kamu memang bagus." Samar-samar terdengar suara Hendra tengah berbicara dengan seseorang.
Rania keluar dari kamarnya, menatap Hendra yang tengah menelfon seseorang.
"Iya, Ren. Rania Alhamdulillah suka."
Ren? Jangan bilang, itu dari Tante Renata? Batinnya.
Ia terdiam menatap kain-kain yang tadi ia coba. Pandangannya berkabut, entah mengapa rasanya ia ingin menangis. Pedahal, tidak ada yang salah.
"Ra, nggak suka!" Ucapnya, lirih. Bibir mungil berwarna merah muda itu bergetar.
Ia masuk lagi ke kamar, menaruh hijab ketempat asalnya. Lalu ia taruh asal dibawah tempat tidurnya.
"Maaf."
Rania memejam mata, saat ini ia ingin ada seseorang yang menjadi tempat curahan isi hatinya.
Ia cari HP-nya, lalu menelpon kontak yang bertuliskan 'Arina Galak'
Hingga seseorang berbicara diseberang sana.
"Hallo?"
"Hallo, Rin."
"Ada, apa Ra?" Dari suaranya terdengar ada nada khawatir, mendengar suara serak Rania.
"A--aku ...."
Rania menceritakan semua, mengalir saja. Sedangkan Arin mencoba mendengarkan dengan seksama.
Ketika seseorang sedang bersedih, pasti ia akan mencari seseorang yang dapat dipercaya mendengar segala keluh kesah.
"Sabar ya Ra, lo mau gue kesitu? Nemenin lo?"
"I--iya," ucap Arin, sesenggukan sambil menatap layar HP-nya.
Lalu, panggilan berakhir.***
Arin mengusap-usap punggung Rania, sedikit terkejut ketika ia datang ke kamar, Rania langsung menghambur ke pelukannya.
"Papah, lo. kemana?
Rania mengangkat bahunya, masih dengan kedua mata sembab.
"Arin, malam-malam kesini. Diizinin sama Bundanya Arin?"
"Bunda lagi ke rumah tante, lagian ini belum ada jam sepuluh. Masih bolehlah, lagian gue kesini dianterin sopir kok."
Rania mengangguk, lalu mengganti posisi duduknya menjadi bersila.
"Eh ... Besok nonton yuk!"
Rania melebarkan matanya mendengar ajakan Arin.
"Dengan senang hati, tapi udah ada tiketnya? Arin, 'kan yang beli?"
Arin memutarkan bola matanya, malas.
"Tenang, udah gue siapin. Iye, udah gue beli dua. Tadinya saat lo nelpon mau ngomongin ini. Tapi, lo malah nangis tadi."
Rania hanya menyengir kuda, menampilkan deretan gigi gingsul.
"Hehehe, ya maaf."
"Santai, aja kali. Udah biasa gue mah, di siapa lagi coba? Curhat gratis, juga gratis ongkir. Cuma di Arina seorang."
Arina memasang wajah bangga pada dirinya, membuat Rania bergidik melihat tampang narsis yang tak pernah hilang.
"Iya, Arin memang terbaik."
Rania menatap Arin kemudian mereka saling berpelukan erat.
Saat ini, Rania tak membutuhkan ratusan teman dalam hidupnya. Cukup, satu sahabat yang selalu ada dan siap untuk menyenderkan bahu untuk Rania.
Setidaknya masih ada seorang yang peduli perasaannya sekarang, selain dia yang pergi tanpa alasan.
"Eh ... Tunggu! Gue kok tadi, nggak lihat lo pulang?" Arin melepaskan pelukannya, melihat Rania dengan tatapan penasaran.
"Tadi, dianter pulang."
"Sama siapa?"
"Cie ... Arin kepo, cie ...."
Rania menjulurkan lidahnya, meledek. Membuat bantal tidur kesayangan mengenai wajahnya.
"Rasain lo!" Arin tertawa terbahak-bahak, lemparan terkena sasarannya.
"Aduh, sakit Arin!!!"
Rania membalas lemparan Arin, membuat mereka saling lempar-lemparan bantal.
Arin dan Rania terlihat ngos-ngosan, kamar Rania sudah terlihat seperti kapal pecah, tapi menurut mereka kegiatan konyol membuat bahagia.
"Serius tadi siapa yang nganterin lo pulang? Gue kepo, tadi gue takut lo kena culik om-om."
"Sembarang! Arin. Tadi ...."
Ucapan Rania terhenti sejenak, melihat pintu kamar terbuka."Maaf Non, ini minuman buat kalian berdua." Bik Siti datang, membawa minuman.
"Makasih, Bik."
Bik Siti pergi, Arin kembali menatap Rania yang tengah menyerupai coklat hangat.
"Siapa?"
Rania menaruh gelas coklatnya.
"Arfa," ujarnya lirih. Sedangkan Arin menatapnya tidak percaya
***
Cukup aku saja yang merasakan sakit hati.
Kamu jangan sampai tersakiti, karna tersakiti itu nggak enak.***
Horee selesai juga part kali ini
Maaf atas segala typo dan penempatan tanda baca yang tidak sesuai.
Jangan lupa tinggalkan jejak.Salam hangat dari author ❤️❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Mantan Kakak
Teen FictionKisah Rania yang berharap bisa move on dari mantan pacarnya yang meninggalkan tanpa sebuah alasan. Baca aja dulu😝 Biasakanlah tinggalin jejak dengan vote okay -_-