11. Lelah

20 5 0
                                    

Diusianya yang sebentar lagi menginjak 17 tahun, masalah demi masalah datang bergantian.

Tatapan mata Rania seketika kosong, melihat Papahnya dengan seorang gadis yang ia benci sedari satu tahun lalu.

Ia memang kemarin mengijinkan hubungan antara Papahnya dengan Tante Renata. Ia juga tahu bagaimana kehampaan dalam hati Papahnya.

Tapi ...

"Ra, ini anaknya Tante Renata."

Rania terpaku, begitupun Monik yang sama terkejutnya.

"Monik?"

"Lho, kalian berdua sudah saling mengenal?" Tante Renata berbinar melihat keduanya sudah saling mengenal, begitupun Hendra.

Rania melepaskan tangan Renata yang ada dipundaknya dengan kasar.

"Ra, nggak suka sama Monik. Pah, kenapa harus orang yang Ra benci?"

Rania berlari keluar dari Restoran. Meninggalkan tatapan aneh pengunjung.

"Ren, maafin Rania." Hendra mengejar Rania.

Menengok kanan-kiri jalanan.

***
Rania menangis sesenggukan, dadanya merasakan ada titik perih di relung hatinya.

"Nggak kaya gini, harusnya!"

Kakinya menghentak-hentakan tanah, ia tutupi wajah ayunya yang sudah basah dengan telapak tangan.

Awan menghitam, sama dengan cuaca hati Rania. Bunyi petir bersahut-sahutan, membuat Rania meringkuk ketakutan.

Seperkian detik rintik-rintik hujan saling berjatuhan. Tapi, tidak ada yang mengenai tubuhnya?

Ia tadahkan wajahnya, melihat tatapan datar dari seorang yang dulu selalu ia rindukan.

"Arfa?"

Arfa memayunginya, sedangkan Rania menatap tak percaya.

"Arfa ngapain disini hujan-hujanan?"

Rania berdiri mendongakkan kepalanya, menatap wajah Arfa.

"Seharusnya gue yang nanya kaya gitu, nih payung. Gue pegel megangnya."

"Terus Arfa pakai apa?"

"Gue mah, pakai apa aja."

"Tapi ...."

Belum selesai Rania berbicara, Arfa langsung pergi. Rania baru menyadari jika Arfa menenteng sesuatu didalam plastik.

"Gue ada urusan," ujar Arfa singkat.

Rania menghela nafas, setidaknya Arfa masih ada rasa perhatian ke dirinya. Atau dia terlalu percaya diri?

Belum lama, berbunyi suara mobil berhenti didepan. Rania tahu siapa yang mengendarai mobil itu.

"Masuk!"

Rania hanya menurut, sambil menutup payung.

Di dalam hanya keheningan yang ada.

"Papah nggak suka, kalau Rania nggak sopan," ujar Hendra mengawali pembicaraan.

"Emang apa yang Ra, lakukan? Apa pantas, Ra bersikap sopan sama seorang yang pernah mengfitnah Ra?"

Hendra tak faham apa yang Rania ucapkan.

"Apa maksud kamu?"

"Rania benci pokoknya! Rania nggak suk-"

"RANIA!"

Tatapannya kembali mengembun, baru kali ini ia dibentak oleh Papahnya. Mengapa menjadi banyak orang yang tak mempercayainya?

"Pa-pah ben-tak Ra." Bibirnya bergetar.

Mobil berhenti di garasi rumahnya, segera Rania keluar dan berlari menuju kamarnya.

"RANIA!"

Hendra mencoba knop pintu, tapi sudah terlanjur terkunci oleh Rania. Sial! Ia raup wajahnya, frustasi.

Lalu menarik nafas, berusaha bersabar. Bagaimanapun ia juga yang salah karena telah membentak Rania.

Yang harus ia fikirkan sekarang adalah cara meminta maaf dan membujuk Rania agar tidak marah.
Saat ini, Rania sangat merindukan sosok ibunya.

Rania, berpura-pura tidak mendengar gedoran dan juga panggilan dari Papahnya.

Beberapa menit kemudian, sudah tak ada suara selain nafas Rania yang sesak menahan tangis.

"Mamah, Papah jahat hiks ...."

Ia peluk boneka teddy bear kenangan dari ibunya.

"Ra, pengin ketemu Mamah!"

Ia usap ingus dengan lengan baju. Dia jadi sosok yang cengeng sekarang. Lama menangis membuat Rania sesekali menguap.

Hingga matanya menutup, menjelajahi alam mimpi. Setidaknya ia tenang sekarang.

HP-nya bergetar disebelah tak bisa menggangu tidur Rania. Ia lelah sekarang, tidur setelah menangis setidaknya membuatnya ia lega sekarang bukan?

***

Sedangkan, di tempat yang berbeda. Ada seorang yang sama lelahnya dari Rania. Lelah dengan kepura-puraan tidak rapuh.

Juga, lelah berpura-pura tidak rindu pada seseorang. Ia sakit, tapi tak ada sandaran siapapun selain Tuhan dan doa.

Ia muak dengan kepahitan, tatapannya melihat bangunan rumah bernuansa putih dengan getir.

Harus kesini lagi? Ujarnya dalam hati lalu melihat tentengan plastik berisi sesuatu yang ia benci.

Dalam hati hanya doa, lalu kaki ia langkahkan dengan mantap. Tak ada pilihan, 'kan sekarang? Selain hanya ini.

Ketukan pintu beberapa kali, membuat seseorang keluar dan tersenyum lembut menatapnya.

"Silahkan masuk," ujarnya sopan mempersilahkan. Ini bukan pertemuan pertama. Ini pertemuan kesekian kalinya dari pasien yang sudah ia anggap sahabat.

"Terimakasih."

***
Menginginkan menangis sendirian, itu bukan suatu hal aneh. Hanya itu yang bisa melegakan suatu hati yang rapuh.
***

Hayo siapakah gerangan?

Maaf cuma dikit, yang penting dah berusaha update 'kan?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 12, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Mantan KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang