10. Teka-teki

22 5 0
                                    

Ada fajar, pasti ada senja.
Ada prolog pasti ada epilog.
Ada awal, pasti ada akhir.

Seperti sekarang, ujian sekolah sudah didepan mata. Seperti baru kemarin ia melihat gedung ini pertama kalinya dan memiliki kawan baru.

Dulu, pasti malu-malu untuk berteman. Sekarang, sudah tidak tahu malu.

"Ran, ujian berapa minggu lagi?" Arin menatap sekumpulan buku dengan jengah.

"Kenapa sih Rin? Udah tinggal belajar aja kok."

Arin menutup buku paket, memilih memainkan HP-nya.

"Otak juga butuh refreshing."

"Tapi, nggak main HP juga. Refreshing itu jalan-jalan kek."

"Ssttt ...." Arin menutup telinganya. Sudah berapa kali Rania mengasih nasehat yang sama sekali tak digubris.

Ibaratnya masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Arin katanya main kerumah Ra buat belajar. Tapi kok main HP?"

Arin masih menutup telinga, Rania menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan sahabatnya ini.

"Ya udah kalau nggak mau belajar, nanti nyesel baru tahu rasa."

Rania lanjutkan aktivitas membacanya, halaman demi halaman ia baca berulang kali.

"OMG!!!" Arin menutup mulut dengan mata membulat.

"Apaan sih Rin?"

Karna merasa terganggu, Rania beranjak ingin pergi. Tapi tangannya Arin tarik.

"Lo lihat ini dulu!"

Rania kembali terduduk, menengok kearah benda pipih di tangan Arin.

Sekejap ekspresinya berubah. Meneguk ludah beberapa kali.

"Si Monik emang bang--"

"Ya, udah sih."

"Lo nggak kenapa-napa?"

"Emang, Ra harus gimana?"

Arin tak habis fikir, baru kemarin Rania sakit hati dengan Arfa sampai menangis-nangis.

Sekarang melihat Arfa dengan Monik, ia sama sekali tak ada rasa marah.

"Lo, nggak marah gitu?"

"Ra, harus gimana? Ra harus sadar diri kali. Arfa berhak kok, foto sama siapa aja. Masa Ra mau larang?"

Arin mengedipkan mata. Memegang kedua pundak Rania.
"Tapi, ini gandengan tangan lho!"

"Ya, masa Ra harus nglarang. Dia bukan siapa-siapa Ra kok. Kadang bukan sabar yang harus Ra lakukan, tapi sadar sama kenyataan."

Rania melepaskan tangan Arin dipundaknya. Lalu beranjak pergi ke dapur.

"Dia serius udah ikhlas? Au ah." Arin menggaruk tengkuknya.

Di dapur, Rania menatap cemilan dengan tatapan kosong.

Serius, Ra nggak sedih kok. Jadi hati nggak usah repot-repot buat sakit. Ujarnya dalam hati.

Ia ambil cemilan tersebut lalu ia bawa.

"Lama, banget ngambil cemilan kek gini."

"Langkahin kaki juga butuh tenaga."

Rania terkekeh, membuat Arin menatap Rania.

"Ngapain Arin natap Ra kaya gitu? Hati-hati nanti terpesona."

"Amit-amit."

***
"Ran!" Aldo melambaikan tangan.

Rania membalas lambaian tangan tersebut dengan senyum manis.

Aldo merangkul dua cowok disebelahnya. Membuat senyuman Rania surut.

"Apa kabar Dut? Udah seabad aja nggak ketemu."

"Kalian kok bisa bareng?" Rania tak menjawab pertanyaan Aldo, tatapannya tak beralih.

"Owh, Adit? Gue sama dia sekelas kali masa lo nggak kenal?"

"Hm ... Bukan!" Rania menundukkan kepala, tangannya tak berhenti memainkan kuncir rambutnya.

"Kenapa?" Suara itu, suara yang dulu humoris ah ... Iya dulu.

"Eh ... Ngg--ak." Sedikit kelu rasanya. Ingin bertatap muka tapi gugup yang ada.

"Ran, biasanya lo bareng Arin. Tumben sendiri."

"Eh ... Adit, Arin lagi ...."

Ucapan Rania berhenti, ketika suara semacam toa datang membawa kesengsaraan bagi yang mendengarnya.

"HALLO GAES! ngapain tadi bawa-bawa nama Arin? Lagi ghibah gue ya?"

Rania mencubit lengan Arin, ingin rasanya ia sumpal mulut Arin.

"Eh ... Ada babang Arfa, gimana Bang? Sukses kemarin kencannya?"

Arin tersenyum sinis, seketika semua menatap ke arah Arfa.

"Maksud lo Rin?"

"Lo, nggak tahu Dit? Masa sih? Nggak saling follow IG? Atau dia nggak pernah kasih tahu soal asmaranya?"

Aldo yang tak tahu apa-apa hanya terdiam mengamati.

"Eh ... Arin, udah ya kita pergi aja." Rania menarik tangan Arin, namun ditepis.

"Kemarin-kemarin jalan sama adik kelas, sekarang sama seangkatan. Besok apa lagi?"

Arfa hanya menatap datar dengan santai ia masukkan tangan ke saku celananya.

"Owh lupa, kerjaan lo sekarang jadi tukang main cewek?"

"Adik kelas siapa? Ersya?" Aldo yang diam kini bersuara.

"Dia sepupunya Arfa."

Arin dan Rania tersentak mendengar penuturan Aldo. Sedikit salah tingkah karna mengira mereka yang tidak-tidak.

"Terus? Yang itu gimana?" Arin menaikan sebelah alisnya.

Rania kembali menarik tangan Arin, kini mereka sudah menjadi bahan tontonan siswa-siswi.

"Siapa?"

"Monik!"

Hening ...
Aldo menatap lengkat Arfa, sedangkan Arfa meneguk ludah beberapa kali.

Keringat muncul di dahi Arfa.

"Monik? Monika Laureen?" Adit mencoba memastikan. Cowok berambut cokelat itu bingung.

"Siapa lagi?"

Dikerumunan yang menyaksikan perdebatan, datang cewek berambut pendek dengan tatapan dinginnya.

Langkah sepatutnya membuat jalan diantara kerumunan itu.

Tatapan Arin teralihkan, lalu bertepuk tangan.

"Datang, nih satu."

Monik menatap Rania, mereka saling bertatapan.

"Dia!" Monik menunjuk kearah Rania.

"Karangan cerita apa lagi yang kamu buat? Dulu kamu memfitnah aku."

Rania terkejut dengan penuturan Monik. Dusta!

"Heh! Maksud lo apa?" Arin tak terima begitu saja.

"Jangan berbohong!" Arfa berteriak, sosok yang Rania lihat bukan yang dulu.

"Gue, udah turutin kemauan lo. Dan Aldo! Gue kasihan sama lo. Mau aja pacaran sama cewek kaya gini."

Arfa pergi, jengah rasanya diposisi dia sekarang.

Sedangkan Aldo? Menarik Monik ikut menjauh.

"Ada apa ini? Bentar lagi ujian malah pada ngumpul. Bubar!" Seorang guru datang membuat kerumunan pergi menjauh.

"Heh! Tunggu!" Adit berlari mengejar Arfa.

Banyak sekali teka-teki rumit yang Rania rasakan. Tapi, gambaran teka-teki tersebut akan muncul satu-satu.

***
Hore, part 10 muncul setelah sekian lama.
Yuk teman-teman tinggalkan jejak. Jangan lupa voment

Salam manis dari author❤️

Mantan KakakTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang